dc.description.abstract | Perebutan sumberdaya perikanan sebagai objek agraria berupa fishing ground
(wilayah penangkapan ikan) seringkali terjadi antamelayan, baik nelayan besar maupun
nelayan kecil. Nelayan besar yang memiliki modal akan lebih mudah mengeksploitasi
sumberdaya perikanan dibandingkan dengan nelayan kecil karena akses mereka terhadap
teknologi lebih besar. Perebutan tersebut mewujud dalam bentuk pelanggaran wilayah
penangkapan ikan oleh nelayan besar terhadap wilayah pesisir (0-6 mil laut) yang
sejatinya merupakan wilayah penangkapan nelayan kecil sesuai SK Menteri Pertanian
No.607/Kpts/Um/9/ I 976 dan SK Mentan No. 392/Kpts/IK.120/1999 tentang Jalur-Jalur
Penangkapan Ikan, menyebabkan terjadinya konflik. Alat tangkap nelayan besar
memiliki sifat tidak selektif, menguras objek penangkapan nelayan kecil, merusak
sumberdaya hayati laut termasuk jaring dan kapal nelayan kecil. Tindakan pelanggaran
ini menyebabkan nelayan-nelayan kecil kesulitan mendapatkan tangkapan ikan, dan
mengakibatkan terganggunya penghasilan nelayan kecil dan mengancam kelangsungan
hiclupnya (Kusnadi 2002:73).
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu
dan Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Hal
pokok yang dipelajari ialah proses te1jadinya konflik agraria dan struktur konflik agraria
yang terjadi clalam pemanfaatan wilayah penangkapan ikan. Untuk mencapai tujuan
tersebut digunakan strategi penelitian studi kasus.
Kasus-kasus konflik agraria perairan, khususnya dalam kegiatan penangkapan
ikan di perairan teluk Palabuhanratu, mewujud pada pelanggaran wilayah penangkapan
ikan (fishing ground) nelayan kecil oleh nelayan besar (keduanya memainkan peran
sebagai subjek pemanfaat), sedang subjek agraria yang lain yakni pemerintah
(Departemen Kelautan dan Perikanan; Pengawas Perikanan dan Dinas Kelautan dan
Perikanan; pemerintah daerah,) berperan dalam ha] pengaturan, pengawasan dan
penegakkan aturan dalam pemanfaatanfishing groud tersebut.
Pelanggaran terjadi sejak kehadiran jaring arad (sejenis trawl) pada awal 1990-an.
Dikarenakan operasi penangkapan arad sampai ke wilayah pesisir (tidak selektif, 1)1erusak
karang, dan jaring nelayan) memicu terjadinya bentrokan dengan nelayan keci I
tradisional (jaring, pancing). Konflik berujung pada perampasan dan pembakaran alatalat
tangkap arad (puncak konflik pada tahun 2001). Operasi penangkapan ikan nelayan
besar di wilayah pesisir yang menganggu aktivitas nelayan kecil mendapat dukungan
secara teknis dari aparat keamanan laut (Airud) dan aparat pemerintah (Dinas Kelautan)
setempat. Setelah permasalahan arad selesai, maka berlanjut sejak tahun 2002 'gantian'
purse seine yang melanggar wilayah penangkapan pesisir. Hampir terjadi bentrokan
dengan nelayan bagan Jampang Ciwaru, namun berhasil diredam setelah adanya operasi
penyisiran oleh pihak dinas Kelautan clan Perikanan, Airud, TNI AL, clan Pengawas
Perikanan. Purse seine mendapat dukungan teknis dari aparat HNSI, aparat Dinas
Kelautan, aparat Pengawas Perikanan.
Konflik agraria yang terjadi telah mencapai krisis konflik atau konflik terbuka,
selalu didahului dengan konflik-konflik laten. Konflik laten tercipta ketika tidak
dilakukan upaya hukum terhadap para pelanggar baik secara pidana maupun perdata,
justru terdapat hubungan dukungan dari aparat pemerintah maupun aparat keamanan
terhadap nelayan besar (cara kerja kapitalis) yang dapat mempersubur konfrontasi.
Karena pelanggaran terus terjadi, maka yang terjadi kemudian adalah konflik yang
terbuka, seperti perampasan dan pembakaran kapal.
Benturan kepentingan dan klaim terhadap penguasaan fishing ground
menyebabkan hubungan antar berbagai pihak (subjek agraria) dalam pemanfaatan
wilayah tangkap ikan mewujud pada suatu hubungan sosial dissosiatif berupa konflik
agraria. Konflik agraria, yakni pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok nelayan besar
(arad dan purse seine) terhadap wilayah tangkap nelayan kecil tradisional (Jalur l yaitu
0-6 mil Laut, berdasarkan SK Mentan No.607/kpts/Um/9/1976 dan
No.392/Kpts/lK.120/1999 tentang Jalur Penangkapan Ikan). Selain benturan kepentingan
dan pertentangan klaim, ketimpangan teknologi antar kelornpok nelayan Juga
menyebabkan penurunan tingkat pendapatan nelayan keci I sehingga tidak dapat
rnemberikan kecukupan penghasilan yang memadai untuk menopang kelangsungan hidup
mereka. Ketimpangan tersebut memicu terjadinya konflik.
Kasus-kasus tersebut mencerrninkan penetrasi kepentingan ekonomi para pemilik
modal (pemilik arad dan purse seine), pertentangan klaim terhadap penguasaan fishing
ground, toleransi aparat terhadap pelanggaran hukum oleh pernilik arad dan purse seine,
dan aclc1nya persaingan yang tidak seimbang antar nelayan dalam memperebutkan
sumberdaya perikanan karena perbedaan tingkat teknologi penangkapan dengan
kecenderungan bahwa nelayan kecil kalah dalam persaingan tersebut. | id |