dc.description.abstract | Dalam 30 tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi asma terutama di negara-negara maju. Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2.1%, yang meningkat tahun 2003 menjadi 5.2%. Kenaikan ini tentu saja perlu upaya pencegahan agar prevalensi asma tetap rendah. Penyebab asma belum diketahui secara pasti sehingga pengobatan asma sampai sejauh ini baru pada tahap mengendalikan gejala. Maka sangat penting untuk lebih fokus pada mencari faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya asma. Penelitian ini menggunakan data hasil survei yang telah dilakukan oleh mahasiswa FK UNDIP RS DR Kariadi Semarang. Mengingat peubah respon (status asma) yang digunakan bersifat biner (dikhotom), maka digunakan regresi logistik untuk menganalisis faktor risiko asma. Dari 1070 anak SD, terdapat 99 (9.25%) anak yang menderita Asma. Berdasarkan penelitian dengan menggunakan analisis regresi logistik didapatkan bahwa faktor risiko yang secara signifikan mempengaruhi status asma pada anak-anak SD usia 6-7 tahun adalah faktor keberadaan serangga utama yang dijumpai di rumah, pemberian asi waktu masih bayi, riwayat alergi pada orang tua, dan status rhinitis. Anak-anak SD usia 6-7 tahun cenderung untuk menderita asma apabila di rumah sering dijumpai kecoa, tidak diberi asi waktu masih bayi, kedua orang tua sama-sama penah mengalami alergi, dan pernah menderita rinithis. Faktor yang paling berpengaruh terhadap asma adalah riwayat alergi orang tua, karena memiliki nilai rasio odds paling besar dan berhubungan dengan penyakit keturunan (genetik). | id |