Show simple item record

dc.contributor.advisorPutri, Eka Intan Kumala
dc.contributor.advisorRidwan, Wonny Ahmad
dc.contributor.authorBagaskoro, Bagus
dc.date.accessioned2023-08-08T00:13:31Z
dc.date.available2023-08-08T00:13:31Z
dc.date.issued2023
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/123193
dc.description.abstractIndonesia memiliki luas padang lamun sebesar 2.934,64 km2 dengan jumlah jenis lamun sebanyak 16 spesies. Status lamun di Indonesia berkisar antara miskin hingga sehat. Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di wilayah provinsi Kepulauan Riau dan memiliki kawasan padang lamun dengan luas sebesar 20,94 km2 serta 10 jenis lamun. Status padang lamun di pulau Bintan termasuk dalam kategori “Sedang.” Lamun adalah tumbuhan air berbentuk rumput yang hidup di wilayah pesisir pantai. Lamun berfungsi sebagai produsen primer, habitat biota, penangkap sedimen, penahan arus dan gelombang, pendaur ulang hara, penyerap karbon, hingga sumber pakan bagi berbagai organisme akuatik, termasuk dugong. Dugong adalah mamalia laut dari Ordo Sirenia dengan nama latin Dugong dugon dan merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia. Di Bintan, keberadaan dugong diketahui dari dokumentasi kemunculan yang tercatat oleh pemerintah setempat. Ekosistem lamun di wilayah pesisir timur pulau Bintan merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Wisata Perairan Timur Pulau Bintan (TWP-TPB). Kawasan konservasi ini memiliki luas sebesar 1.385,61 km2. Permasalahan yang mendorong dilakukannya penelitian ini adalah terjadinya degradasi lamun dengan penurunan luasan lamun hingga mencapai 12,2% per tahun. Degradasi lamun juga menjadi ancaman terhadap dugong karena dugong sangat selektif dalam memilih jenis lamun tertentu sebagai sumber pakan. Selain itu, pengelolaan konservasi lamun dan dugong di kawasan ini belum berjalan dengan optimal karena adanya perubahan kewenangan pengelolaan kawasan konservasi. Implikasinya, kawasan konservasi ini harus dibentuk kembali dan baru ditetapkan pada bulan April 2022. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas dan keberlanjutan dari upaya konservasi lamun dan dugong di kawasan Taman Wisata Perairan Timur Pulau Bintan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menilai kondisi ekosistem lamun dan populasi dugong di kawasan TWP-TPB, menilai efektivitas pengelolaan konservasi lamun dan dugong di kawasan TWP-TPB, dan menyusun strategi pengelolaan konservasi lamun dan dugong di kawasan TWP-TPB yang efektif. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan saran dalam pengelolaan konservasi lamun dan dugong di kawasan TWP-TPB agar mencapai tujuan konservasi yang telah ditetapkan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2021 hingga November 2022 di kawasan Taman Wisata Perairan Timur Pulau Bintan. Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas kondisi biofisik lamun di desa Berakit, kondisi pengelolaan kawasan konservasi terkini, kondisi biofisik lamun di desa Malangrapat dan pulau Sumpat oleh Yayasan Ecology, dokumen-dokumen pengelolaan kawasan konservasi, laporan monitoring ekosistem padang lamun COREMAP-CTI tahun 2019, dan laporan kasus stranding dugong. Penentuan informan dilakukan dengan metode purposeful sampling untuk informan dari SUOP, perangkat desa, dan LSM dan snowball sampling untuk informan dari masyarakat setempat. Pengumpulan data biofisik lamun dilakukan dengan monitoring menggunakan transek kuadrat dan mengutip informasi dari laporan COREMAP-CTI Tahun 2019. Pengumpulan data populasi dilakukan dengan mengutip informasi dari database BPSPL Padang dan laporan BNPB. Pengumpulan data efektivitas pengelolaan dilakukan adalah wawancara informan, verifikasi dokumen, dan studi literatur. Analisis data yang dilakukan adalah analisis kesehatan padang lamun, analisis Evika, dan analisis strategi pengelolaan. Kawasan TWP-TPB terbagi atas 3 area, yaitu perairan di sekitar kecamatan Teluk Sebong, perairan di sekitar kecamatan Gunung Kijang, dan perairan di sekitar kecamatan Bintan Pesisir. Kawasan ini memiliki iklim tropis dengan cuaca yang dipengaruhi angin monsoon. Pesisir pantai secara umum memiliki topografi kemiringan landai dengan hamparan pasir putih dan perairan pesisir yang jernih. Pola pasang-surut cenderung semi-diurnal (mixed tide prevailing semi-diurnal), yaitu 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam sehari. Penilaian kondisi ekosistem lamun dilakukan di zona inti Desa Malang Rapat, Desa Berakit, dan Pulau Sumpat. Ekosistem lamun di zona inti Desa Malang Rapat memiliki persentase tutupan lamun sebesar 24,62%, dengan 4 jenis lamun yang ditemukan dan didominasi oleh jenis Enhalus acoroides. Ekosistem lamun di zona inti Desa Berakit memiliki persentase tutupan lamun sebesar 37,58%, dengan 2 jenis lamun yang ditemukan dan didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii. Ekosistem lamun di zona inti Pulau Sumpat memiliki persentase tutupan lamun sebesar 32,52%, dengan 6 jenis lamun yang ditemukan dan didominasi oleh jenis yang beragam. Secara keseluruhan, persentase tutupan lamun dari ketiga lokasi ini adalah sebesar 31,57%, sehingga status kesehatan lamun yang diperoleh adalah “Kurang Sehat”. Kondisi populasi dugong berdasarkan hasil wawancara dengan suku laut menunjukkan bahwa dugong dapat ditemukan pada kedalaman rata-rata 30 m dan berkelompok sebanyak 5-7 ekor. Sementara itu, keberadaan dugong berdasarkan laporan kasus stranding menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2008-2022, 17 kasus telah dilaporkan dengan kondisi dugong yaitu masih hidup sebanyak 5 kasus, sudah mati sebanyak 8 kasus, dan tidak terdokumentasikan sebanyak 4 kasus. Jumlah kasus yang terjadi berkisar antara 1 hingga 3 kasus per tahun. Penilaian Evika dilakukan pada kriteria input, proses, output, dan outcome. Persentasae capaian masing-masing kriteria yaitu sebesar 79,53% untuk kriteria input, 34,88% untuk kriteria proses, 21,54% untuk kriteria output, dan 27,20% untuk kriteria outcome. Nilai akhir Evika kawasan TWP-TPB adalah sebesar 41,56% dengan status efektivitas “Dikelola Minimum” dan peringkat “Perunggu”. Status efektivitas ini menunjukkan bahwa kawasan konservasi ini belum dikelola secara berkelanjutan, sehingga ekosistem lamun dan populasi dugong di kawasan ini masih mengalami ancaman antropogenik. Berdasarkan kondisi pengelolaan tersebut, strategi pengelolaan yang perlu dilakukan adalah rehabilitasi lamun, pemberdayaan masyarakat untuk budidaya lamun, pengembangkan eduwisata konserasi lamun, dan sosialisasi serta penegakan aturan kawasan konservasi.id
dc.description.abstractIndonesia has a seagrass area of 2,934.64 km2 with 16 species of seagrass found. The overall status of seagrass in Indonesia ranges from “Poor” to “Healthy.” Bintan Island is one of the islands in the Riau Islands province with a seagrass area of 20.94 km2 and 10 seagrass species found. The status of the seagrass in Bintan Island is classified as "Moderate." Seagrass is a grass-like aquatic plant that thrives in coastal areas. It serves as a primary producer, provides habitat for various organisms, traps sediments, mitigates currents and waves, recycles nutrients, absorbs carbon, and acts as a food source for aquatic organisms, including dugongs. Dugongs are marine mammals from the order Sirenia, scientifically known as Dugong dugon, and are protected species in Indonesia. In Bintan, the presence of dugongs is documented by local government records. The seagrass ecosystem in the eastern coastal area of Bintan Island is part of the conservation area called Marine Tourism Park in the Eastern Region of Bintan Island (Bintan MPA), which spans an area of 1,385.61 km2. The main problem that drives this research is the degradation of seagrass, with a decline in its area by 12.2% annually. Seagrass degradation also poses a threat to dugongs, as they are highly selective in choosing specific seagrass species as their food source. Moreover, the conservation management of seagrass and dugongs in this area is not optimized due to changes in conservation area management authority. Consequently, this conservation area had to be reestablished and was officially established in April 2022. Based on these issues, the objectives of this study are to assess the effectiveness and sustainability of seagrass and dugong conservation efforts in the Marine Tourism Park in the Eastern Region of Bintan Island area. The steps taken to achieve these objectives include evaluating the condition of the seagrass ecosystem and dugong population in the Bintan MPA, assessing the effectiveness of seagrass and dugong conservation management in the Bintan MPA, and formulating effective conservation management strategies for seagrass and dugongs in the Bintan MPA. The research is expected to provide recommendations for the management of seagrass and dugong conservation in the Bintan MPA to achieve the established conservation goals. The study was conducted from October 2021 to November 2022 in the Marine Tourism Park in the Eastern Region of Bintan Island area. Data used in this study consisted of the biophysical condition of seagrass in Berakit Village, the current conservation area management condition, the biophysical condition of seagrass in Malangrapat Village and Sumpat Island by the Ecology Foundation, conservation area management documents, the COREMAP-CTI seagrass ecosystem monitoring report for the year 2019, and dugong stranding case reports. Informants were selected through purposeful sampling for informants from SUOP, village officials, and NGOs, and snowball sampling for informants from the local community. Biophysical data of seagrass were collected using transect quadrat monitoring and information from the COREMAP-CTI 2019 report. Population data were collected by citing information from the BPSPL Padang database and the BNPB report. Data on the management effectiveness were obtained through informant interviews, document verification, and literature study. Data analysis involved seagrass health analysis, Evika analysis, and management strategy analysis. The Bintan MPA is divided into three zones: the waters around Teluk Sebong subdistrict, Gunung Kijang subdistrict, and Bintan Pesisir subdistrict. This area has a tropical climate influenced by monsoon winds. The coastal areas generally have gentle sloping topography with white sandy beaches and clear coastal waters. The tidal pattern tends to be semi-diurnal, with two high tides and two low tides in a day. The assessment of the seagrass ecosystem condition was conducted in the no-take zones of Malang Rapat Village, Berakit Village, and Sumpat Island. The seagrass ecosystem in the no-take zone of Malang Rapat Village has a seagrass cover percentage of 24.62%, with four seagrass species found, dominated by Enhalus acoroides. The seagrass ecosystem in the no-take zone of Berakit Village has a seagrass cover percentage of 37.58%, with two seagrass species found, dominated by Thalassia hemprichii. The seagrass ecosystem in the no-take zone of Sumpat Island has a seagrass cover percentage of 32.52%, with six seagrass species found, showing a diverse distribution. Overall, the seagrass cover percentage in these three locations is 31.57%, indicating a "Less Healthy" seagrass health status. The assessment of the dugong population in the Bintan MPA based on interviews with sea tribe communities indicates that dugongs can be found at an average depth of 30 m and are usually seen in groups of 5-7 individuals. Meanwhile, the presence of dugongs based on stranding case reports shows that between 2008 and 2022, 17 cases have been reported, with 5 cases involving live dugongs, 8 cases involving dead dugongs, and 4 cases with undocumented status. The number of cases ranges from 1 to 3 per year. The Evika assessment was conducted for input, process, output, and outcome criteria. The achievement percentages for each criterion are 79.53% for input, 34.88% for process, 21.54% for output, and 27.20% for outcome. The final Evika score for the Bintan MPA was 41.56%, with an effectiveness status of "Minimally Managed" and a "Bronze" ranking. This indicates that the conservation area is not yet managed sustainably, leading to anthropogenic threats to the seagrass ecosystem and dugong population. Based on these management conditions, recommended strategies include implementing seagrass rehabilitation programs, empowering communities for seagrass cultivation, developing educational tourism for seagrass conservation, and conducting socialization and enforcement of conservation area regulations.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleAnalisis Efektivitas dan Keberlanjutan Konservasi Lamun dan Dugong di Taman Wisata Perairan Timur Pulau Bintanid
dc.title.alternativeEffectiveness and Sustainability Analysis of Seagrass and Dugong Conservation in Marine Tourism Park in the Eastern Region of Bintan Islandid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordDugongid
dc.subject.keywordEffectivenessid
dc.subject.keywordMarine Tourism Park in the Eastern Region of Bintan Islandid
dc.subject.keywordSeagrassid
dc.subject.keywordSustainabilityid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record