dc.description.abstract | Dalam pengusahaan hutan tropis di Indonesia hingga saat ini, nilai pungutan kehutanan (forest rent) yang di terima Pemerintah dari sumberdaya hutan masih sangat kecil dan belum optimal. Repetto dan Gillis (1988) telah mencoba merangkum berbagai studi tentang besarnya nilai rente ekonomi yang diterima Pemerintah selama periode 1979 - 1982 yaitu sebesar 37.3% Di Indonesia. Studi lain untuk Indonesia sebesar 33,2% (Gillis, 1988) dan sebesar 49,1% selama 1979 - 1982 (Repetto, 1988), studi Walhi (1991) Pemerintah hanya memerima
16,2% dari rente ekonomis hutan.
Mengacu pada berbagai hasil studi di atas, maka Pemerintah perlu meningkatkan pungutan kehutanan (forest rent) tersebut dengan tujuan untuk menurunkan tingkat ke- cepatan degradasi hutan dan meningkatkan pendapatan negara.
Perhitungan pungutan kehutanan (forest rent) yang saat ini berlaku didasarkan pada nilai hutan (forest value) yang
mempunyai banyak kelemahan seperti undervaluation dari forest value, karena terlalu menekankan kepada benefit hutan yang terlalu sempit, yaitu hanya memperhitungkan kayunya saja.
Dalam penelitian ini, perhitungan pungutan kehutanan (forest rent) didasarkan pada forest value yang lebih luas, tidak hanya memperhitungkan kayu saja, tetapi juga sifat hutan yang multiuse. Oleh karenanya, besarnya pungutan kehutanan (forest value) yang ditetapkan dalam penelitian ini memperhitungkan dampak dan gangguan kerusakan yang terjadi akibat eksploitasi hutan itu sendiri (option Value). Dalam perhitungan option value dibatasi pada perhitungan kerusakan vegetasi hutan akibat eksploitasi hutan, penurunan kesuburan tanah dan pendapatan masyarakat yang hilang akibat pengusahaan hutan tersebut. ... | id |