Show simple item record

dc.contributor.advisorSarwoprasodjo, sarwititi
dc.contributor.authorKusti'ah, Kusti'ah
dc.date.accessioned2023-01-20T07:19:39Z
dc.date.available2023-01-20T07:19:39Z
dc.date.issued2023-01-06
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/116197
dc.description.abstractPerkawinan anak di Indonesia masih menjadi masalah yang cukup pelik (UNICEF 2020). Berdasarkan data UNICEF, angka prevalensi perkawinan anak, 1 dari 9 atau sekitar 11,21 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Artinya, angka absolut nasional perkawinan anak di Indonesia mencapai 1.220.900 orang. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia menjadi negara dengan angka perkawinan anak tertinggi kedelapan di dunia dan berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Indonesia menjadi negara dengan angka perkawinan anak tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja. Jumlah anak sekitar 79,55 juta atau sekitar 30,1% dari total penduduk Indonesia (KPPA 2019). Data tersebut menunjukkan bahwa perkawinan anak di Indonesia menjadi ancaman serius bagi masa depan dan kehidupan anak dan keluarganya. Komitmen melindungi anak telah diatur dan disepakati bersama oleh negara-negara dunia dengan menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Hak-hak Anak (Convention on The Right of The Child). Konvensi tentang Hak-hak Anak mengatur di antaranya kewajiban negara dalam memastikan anak hidup sehat, bersekolah, mendapatkan perlindungan, dan anak mendapat perlakuan adil (Cornwall 2014). Di Indonesia, perlindungan anak diatur secara spesifik dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Perlindungan Anak mengamanatkan negara dan orang tua untuk memenuhi hak-hak anak, seperti hak mendapatkan hidup sehat, pengasuhan yang layak, juga perlindungan dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merugikan (UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak). Kebijakan perlindungan terhadap anak dari praktik perkawinan anak juga diatur dalam perubahan Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat 1 yang mengatur batas usia minimal menikah anak perempuan yang semula berusia 16 tahun menjadi 19 tahun (UNICEF 2020). Begitu juga dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs yang memiliki agenda pembangunan berkelanjutan (Bappenas 2019). Sebagaimana tercantum dalam tujuan kelima SDGs yakni tercapainya kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan dengan target terhapusnya segala praktik yang membahayakan anak termasuk perkawinan anak. Sejumlah penelitian tentang perkawinan menyebutkan, tingginya angka perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya faktor ekonomi, tradisi, budaya, persepsi masyarakat, sosial, hukum, dan agama (Grijns, Horii 2018; Djamilah 2014; Putri 2018; Kemsos 2021; Wulandari, Sarwoprasodjo 2015; (Kalamar et al. 2016). Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah pihak yang fokus terhadap isu perempuan dan anak telah melakukan sejumlah upaya pencegahan perkawinan anak. Menurut penelitian Rumah KitaB (2019), kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat menjadi salah satu pemicu praktik perkawinan anak. Untuk itu pencegahan perkawinan anak memerlukan pendekatan yang mengedepankan inovasi kreativitas dengan menggunakan pendekatan sosial keagamaan, pendekatan perspektif gender, pelibatan para pihak yakni di sektor hukum, ranah sosial keagamaan mulai di tingkat masyarakat hingga tingkat nasional, dan dengan para pengambil kebijakan di tingkat kota, pemerintah pusat, dan tingkat komunitas di masyarakat, orang tua, dan keluarga. Berkaitan dengan hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis pendekatan Program ‘Yes I Do’ Rutger WPF Indonesia dalam pembangkitkan kesadaran dan penyadaran kritis untuk mencegah perkawinan anak di pedesaan Sukabumi, Jawa Barat. 2) Menganalisis peran tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah desa, komunitas dalam melakukan komunikasi mobilisasi untuk mencegah perkawinan anak di pedesaan di Sukabumi. 3) Menganalisis komunikasi program Yes I Do menghadapi hambatan dalam mencegah perkawinan anak di pedesaan di Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan pendekatan kualitatif dan dengan desain studi kasus. Lokasi penelitian dilakukan di dua desa, Desa Limbangan Kecamatan Sukaraja dan Desa Cisolok, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan pada November 2020 hingga 2021. Kedua desa tersebut berada di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Unit analisis penelitian ini adalah individu yaitu tokoh agama, tokoh masyarakat, pegawai pemerintah desa, orang tua, pendamping program, dan individu yang tergabung dalam komunitas yang menjadi agen gerakan penyadaran kritis yaitu Posyandu Remaja (Posrem), Remaja Masjid, dan Forum Anak Desa. Hasil penelitian menunjukkan bentuk komunikasi penyadaran kritis yang dilakukan secara kolektif oleh berbagai pihak baik pendamping program, tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis remaja, juga pihak sekolah. Partisipasi aktif para pihak dan pemahaman terhadap pencegahan perkawinan anak memberikan pengaruh positif dan memberikan dampak yang signifikan, yakni munculnya kesadaran baik secara individu maupun kolektif terhadap pentingnya mencegah praktik perkawinan anak.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleStrategi Komunikasi Pencegahan Perkawinan Anak: Studi Kasus Program “Yes I Do” di Pedesaan Sukabumi, Jawa Baratid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordchild marriageid
dc.subject.keywordcommunication strategyid
dc.subject.keywordconsciousness risingid
dc.subject.keyword“Yes I do” programid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record