Mitigasi Risiko Rantai Pasok Tempe Kedelai di Wilayah Bogor Provinsi Jawa Barat
Abstract
Tempe merupakan produk pangan asli Indonesia yang dikenal sebagai low
cost nutritious food. Potensi konsumsi dan permintaan tempe diperkirakan akan
terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya
tren hidup sehat. Namun demikian, rantai pasok tempe masih menghadapi cukup
banyak permasalahan baik yang berasal dari faktor internal dan eksternal
khususnya di wilayah Bogor. Indonesia sebagai negara produsen tempe terbesar di
dunia masih mengandalkan 86,39% pasokan bahan baku kedelai impor. Jauhnya
jarak negara produsen kedelai dapat menimbulkan risiko penurunan kandungan
gizi kedelai akibat lamanya proses penyimpanan dan perjalanan, serta dapat
menjadi permasalahan yang serius ketika harga kedelai dunia naik dan stok
menurun atau terhambatnya pasokan. Hal ini berimbas pada kenaikan harga bahan
baku dan/atau ketidakpastian pasokan sehingga menimbulkan risiko penurunan
kualitas, harga, ketersediaan produk dan penghentian usaha yang juga dapat
berpengaruh pada seluruh anggota rantai pasok. Penelitian ini bertujuan untuk
memetakan mekanisme rantai pasok tempe kedelai di wilayah Bogor,
mengidentifikasi risiko yang dihadapi, menganalisis risiko tersebut serta
merumuskan tindakan mitigasi untuk menghindari atau mengurangi dampaknya.
Penelitian ini melibatkan anggota rantai pasok tempe kedelai dari 21
kecamatan di wilayah Bogor dalam melakukan analisis mekanisme rantai pasok,
identifikasi risiko dan analisis risiko rantai pasok. Responden dipilih berdasarkan
metode purposive sampling berdasarkan lingkup wilayah pelayanan KOPTI dan
PRIMKOPTI Bogor dan keterwakilan skala produksi. Analisis mekanisme rantai
pasok digambarkan secara deskriptif berdasarkan kerangka rantai pasok Van Der
Vorst (2006), dilanjutkan dengan analisis risiko dengan menggunakan metode
Weighted Failure Mode Effect Analysis (WFMEA) dan prinsip diagram pareto.
Dalam menentukan alternatif mitigasi risiko, metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) digunakan berdasarkan pendapat dari 5 responden pakar.
Hasil analisis risiko menunjukkan bahwa risiko pasokan yaitu kenaikan
harga kedelai dan risiko penawaran yaitu tempe yang tidak terjual serta tingginya
persaingan antar pengrajin tempe menjadi risiko kritis yang harus dilakukan
mitigasi. Sementara itu, hasil analisis AHP menunjukkan bahwa mitigasi risiko
rantai pasok tempe kedelai di wilayah Bogor diprioritaskan untuk menjamin
ketersediaan pasokan kedelai dan kestabilan harga kedelai, di mana pemerintah
merupakan aktor kunci yang berperan paling penting dalam mitigasi risiko.
Penambahan sumber pasokan kedelai dari negara selain Amerika Serikat, seperti
Brazil, Argentina, China dan India, serta penggunaan kedelai lokal dan kebijakan
pengaturan harga kedelai melalui mekanisme subsidi menjadi mitigasi risiko
dalam jangka pendek. Sedangkan, dorongan pemerintah dalam peningkatan
produksi kedelai dalam negeri serta pengaturan harga kedelai menjadi mitigasi
risiko jangka menengah dan panjang. Tempeh is an Indonesian authentic food that is known as a low-cost
nutritious product. The consumption and demand for tempeh are potentially
continuing to grow in line with the increasing population and healthy lifestyle.
However, the tempeh supply chain is still facing some problems from both
internal and external factors, especially in the Bogor area. Indonesia as the
largest tempeh producer in the world still relies on 86,39% imported soybean raw
materials supply from the USA. The length distance poses a risk of decreasing
some nutritional content of soybeans due to the long storage and transportation
process. The imported raw material also potentially becomes a serious problem
when the world soybean prices increase due to declining stock or supply
constraints. It could threaten the domestic tempeh production business and the
tempeh quality, price and availability that are very needed by the Indonesian
community. The uncertainty in quality, price and demand in one part of the supply
chain could lead to the supply chain risks that could affect the entire supply chain.
This study aims to analyze the mechanism of the tempeh supply chain in Bogor
area, to identify and analyze the potential risk, and to formulate mitigation
actions to minimize the impact of risks.
This study involved the tempeh supply chain members from 21 districts in
the Bogor region in conducting supply chain mechanism analysis, risk
identification, and supply chain risk analysis. Respondents were selected using the
purposive sampling method based on the service areas of KOPTI and
PRIMKOPTI Bogor and the representation of the production scale type. The
supply chain mechanism analysis is described descriptively based on the supply
chain framework of Van Der Vorst (2006), followed by risk analysis using the
Weighted Failure Mode Effect Analysis (WFMEA) method and Pareto Diagram.
In determining risk mitigation alternatives, the Analytical Hierarchy Process
(AHP) method is used based on the opinions of 5 expert respondents.
The risk analysis results show that supply risk, namely the increase in
soybean prices, and demand risk, namely unsold tempeh and high competition
among tempeh producers, are critical risks that must be mitigated. Meanwhile,
the results of the AHP analysis show that the mitigation of tempeh supply chain
risk in the Bogor area is mainly aimed at ensuring the availability of soybean
supply and the stability of soybean prices. The government and suppliers are the
key actors who play the most crucial role in risk mitigation. The addition of
soybean supply sources from other countries, the use of local soybeans, and
soybean price regulation policies through a subsidy mechanism are risk
mitigation in the short term. Meanwhile, the government's support to increase
domestic soybean production and regulate soybean prices mitigate medium and
long-term risks.
Collections
- MT - Economic and Management [2878]