Persebaran Populasi Bakteri Vibrio spp. dalam Sistem Jaringan Irigasi Tambak Teknologi Intensif (Studi Kasus di Tambak Intensif Sarjo, Sulawesi Barat)
Date
2022Author
Madonsa, Claritha
Widigdo, Bambang
Krisanti, Majariana
Yuhana, Munti
Metadata
Show full item recordAbstract
Tambak udang intensif dicirikan dengan padat tebar dan pemberian pakan buatan yang tinggi, serta dilengkapi dengan sistem jaringan irigasi. Tingginya loading pakan buatan dan pengaturan sistem jaringan irigasi yang kurang baik, memberikan konsekuensi terhadap peningkatan bahan organik yang dapat menjadi substrat untuk pertumbuhan bakteri patogenik seperti Vibrio spp. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi populasi bakteri Vibrio spp. di dalam sistem jaringan irigasi dan pola pengelolaan/pergantian air, serta efisiensi IPAL dalam tambak udang yang dikelola secara intensif di Tambak Udang Intensif Sarjo, Sulawesi Barat.
Penelitian ini dilaksanakan selama satu siklus produksi pada bulan Maret sampai Juli 2021 di tambak udang intensif Desa Sarjo, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Tambak yang digunakan dalam penelitian ini merupakan tambak udang intensif dengan luas per kolam rata-rata 2500 m2 (50 m x 50 m) dan rata-rata kedalaman air 130 cm. Komoditas yang dibudidayakan adalah udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan padat penebaran 200 ekor/m2. Pada penelitian ini menggunakan satu kolam budidaya. Proses budidaya di tambak penelitian ini mengikuti Standard Operational Prosedure (SOP) yang dijalankan oleh perusahaan yang dimulai dari persiapan lahan, persiapan air, penempatan (setting posisi) kincir, tebar benur, pemeliharaan udang, hingga panen.
Data yang dikumpulkan selama penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari parameter kualitas air fisika-kimia (pH, suhu, Dissolved Oxygen (DO), salinitas, Total Ammonia Nitrogen (TAN), nitrat, dan nitrit) dan parameter kualitas air biologi (Total Bacterial Count (TBC), Total Vibrio Count (TVC), serta Vibrio koloni kuning dan koloni hijau) dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC). Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari retention time IPAL dan performansi kinerja tambak (produktivitas kolam, SR, FCR, dan ukuran udang pada saat panen).
Titik pengambilan contoh air didasarkan pada sistem jaringan irigasi yang ada di tambak mulai dari inlet sampai outlet: 1) air sumber pada saat pasang dan surut: (a) permukaan (kedalaman 0–50 cm) dan (b) mulut pompa; 2) petak tandon; 3) petak treatment; 4) petak budidaya; 5) IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah); 6) outlet (sebelum dibuang ke perairan umum). Pengambilan contoh air dilakukan dengan menggunakan botol yang diikatkan pada bambu dan dilakukan setiap dua minggu sekali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilan air laut untuk budidaya di lokasi penelitian ini masih bisa dilakukan, baik pada saat pasang maupun pada saat surut, karena kelimpahan bakteri Vibrio spp. berada di bawah batas maksimum, yaitu < 1 x 103 CFU mL-1. Walaupun pada saat surut terjadi peningkatan kelimpahan TVC, namun peningkatan tersebut berada di bawah batas maksimum, sehingga dapat dikatakan bahwa air sumber yang digunakan untuk kegiatan budidaya di tambak ini belum tercemar dari sisi ancaman bakteri Vibrio.
Kelimpahan TBC selama proses budidaya mengalami peningkatan seiring meningkatnya DOC (Day of Culture). Peningkatan kelimpahan TBC diikuti dengan penurunan kelimpahan TVC, serta Vibrio koloni kuning dan hijau pada petak budidaya. Penurunan kelimpahan TVC, serta Vibrio koloni kuning dan hijau ini disebabkan oleh adanya persaingan antara bakteri heterotrof dengan bakteri Vibrio dan adanya pengaruh dari pergantian air (20-35%) yang dilakukan setelah DOC 40 hari.
Setelah di petak budidaya dengan proses-proses yang ada, air dialirkan ke IPAL. Kelimpahan bakteri (TBC, TVC, serta Vibrio koloni kuning dan hijau) pada air buangan IPAL 2 sudah lebih rendah dibandingkan dengan IPAL 1. Hal ini sejalan dengan hasil analisis statistika yang juga menunjukkan adanya perbedaan kelimpahan bakteri sebelum air masuk ke IPAL tambak (IPAL 1) dan setelah air keluar dari IPAL tambak (buangan IPAL 2), karena nilai p<0,05. Pengolahan air limbah di tambak ini mampu menurunkan kelimpahan TBC, TVC, serta Vibrio koloni kuning dan hijau dengan efisiensi secara berturut-turut sebesar 56,62%, 71,66%, 63,99%, dan 87,30%, namun kelimpahan sel TVC pada air buangan IPAL 2 masih lebih tinggi dibandingkan di air sumber. Selain itu, pengolahan air limbah di tambak ini juga mampu menurunkan konsentrasi TAN, nitrat, dan nitrit dengan efisiensi secara berturut-turut sebesar 60,59%, 47,24%, dan 67,39%.
Kondisi persebaran populasi bakteri di tambak seperti ini memberikan performansi kinerja tambak yang tergolong baik, karena produktivitas kolam yang didapatkan melebihi standar, yaitu sebesar 56 ton/ha, SR sebesar 76 %, FCR sebesar 1,55; dan ukuran udang saat panen sebesar 27 kg-1. Walaupun hasil performansi kinerja tambak ini tergolong baik, namun masih dibutuhkan beberapa saran pengelolaan, khususnya untuk menurunkan kelimpahan sel Vibrio pada air buangan IPAL 2 agar lebih rendah dibandingkan di air sumber. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menurunkan kelimpahan sel Vibrio pada air buangan IPAL 2 adalah dengan menciptakan kondisi yang didominasi oleh bakteri heterotrof yang bersifat aerobik. Keberadaan bakteri heterotrof yang bersifat aerobik dapat menurunkan kelimpahan sel Vibrio, sehingga diperlukan konsentrasi DO yang cukup untuk menunjang aktivitas bakteri heterotrof di kolam IPAL 2. Saran yang dapat dilakukan di kolam IPAL 2 adalah dengan menggunakan tumbuhan air, seperti Lemna minor dan Hydrilla verticillate. Intensive shrimp farms are characterized by high stocking density and artificial feeding, and are equipped with an irrigation network system. The high load of artificial feed and poor water management network systems lead to consequences for uncontrolled organic waste. The accumulation of organic matter in water triggered the growth of bacteria such as pathogenic Vibrio spp. This research aims to examine the distribution of Vibrio spp. in intensive farm irrigation network systems and management pattern/water change, as well as the efficiency of WWTP in intensively managed shrimp ponds in Sarjo Intensive Farm, West Sulawesi.
This research was carried out for one production cycle from March to July 2021 in an intensive shrimp farm in Sarjo Village, Pasangkayu Regency, West Sulawesi. The ponds used in this research are intensive shrimp ponds with an average area per pond of 2500 m2 (50 m x 50 m) and an average water depth of 130 cm. The aquaculture commodity is vannamei shrimp (Litopenaeus vannamei) with a stocking density of 200 tail/m2. In this research, one aquaculture pond was used. The aquaculture process in this research pond follows the Standard Operational Procedure (SOP) which is run by the company starting from land preparation, water preparation, pinwheel placement, fry stocking, shrimp maintenance, to harvesting.
The data collected during the study consisted of primary data and secondary data. The primary data collected consisted of physical-chemical water quality parameters (pH, temperature, Dissolved Oxygen (DO), salinity, Total Ammonia Nitrogen (TAN), nitrate, and nitrite) and biological water quality parameters (Total Bacterial Count (TBC), Total Vibrio Count (TVC), and yellow and green colony Vibrio) using the Total Plate Count (TPC) method. The secondary data collected consisted of WWTP retention time and pond performance (pond productivity, SR, FCR, shrimp size at harvest).
Water sampling points are based on the existing irrigation network system in the pond from inlet to outlet: 1) water sources at high and low tide: (a) surface (0–50 cm depth) and (b) pump mouth; 2) reservoir pond; 3) treatment pond; 4) aquaculture pond; 5) wastewater treatment pond; 6) outlet (before discharge into public waters). Water samples were taken using bottles tied to bamboo and every two weeks.
The results showed that seawater extraction for aquaculture in this research location could still be doable, both at high tide and at low tide because it was below the maximum limit of < 1 x 103 CFU mL-1. Although at low tide there was an increase in the abundance of TVC, but the increase was below the maximum limit, so it can be said that the source water used for aquaculture in this pond has not been polluted in terms of the threat of Vibrio bacteria.
The abundance of TBC during the aquaculture process has increased along with the increase in DOC (Day of Culture). The increase in the abundance of TBC was followed by a decrease in the abundance of TVC, as well as yellow and green Vibrio colonies in the aquaculture pond. The decrease in the abundance of TVC and yellow and green Vibrio colonies was caused by competition between heterotrophic bacteria and Vibrio bacteria and the effect of water exchange (20-35%) after 40 days of DOC.
After the aquaculture pond with existing processes, the water has flowed to the WWTP. The abundance of bacteria (TBC, TVC, and yellow and green Vibrio) in wastewater from WWTP 2 was lower than that of WWTP 1. This is in line with the results of statistical analysis which also showed that there was a difference in the abundance of bacteria before the water entered the pond WWTP (WWTP 1) and after the water left the pond WWTP (WWTP 2), because of the p-value <0.05. Wastewater treatment in this pond was able to reduce the abundance of TBC, TVC, and yellow and green Vibrio with the efficiency of 56.62%, 71.66%, 63.99%, and 87.30%, respectively, however, the abundance of TVC in WWTP 2 is still higher than in source water. In addition, wastewater treatment in this pond is also able to reduce the concentration of TAN, nitrate, and nitrite with efficiencies of 60.59%, 47.24%, and 67.39%, respectively.
The condition of the distribution of the bacterial population in ponds like this gives a relatively good pond performance, because the pond productivity obtained exceeds the standard, which is 56 tons/ha, SR is 76%, FCR is 1.55; and the average of the harvested size of shrimp approximately of 27 shrimp kg-1. Although the results of the performance of this pond were quite good, some management suggestions were still needed, especially to reduce the abundance of Vibrio in WWTP 2 so it was lower than in source water. One alternative that can be done to reduce the abundance of Vibrio in WWTP 2 is to create conditions dominated by aerobic heterotrophic bacteria. The presence of aerobic bacteria heterotrophs can reduce the abundance of Vibrio, so that sufficient DO concentrations are needed to support the activity of heterotrophic bacteria in the WWTP 2 pond. Suggestions that can be done in the WWTP 2 pond are to use aquatic plants, such as Lemna minor and Hydrilla verticillate.
Collections
- MT - Fisheries [3011]