Tata Niaga Perdagangan Ilegal dan Valuasi Ekonomi Spesies Gajah Sumatera dan Beruang Madu
Date
2022-07Author
Ramadhanti, Audelia Thalita
Santosa, Yanto
Sunkar, Arzyana
Metadata
Show full item recordAbstract
Permasalahan perdagangan ilegal satwa liar telah menjadi isu mendunia yang
berdampak pada kelestarian lingkungan dan kerugian negara. Pemberantasan kasus
perdagangan ilegal satwa liar sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan minimnya
informasi mengenai aliran tata niaga (mata rantai) perdagangan ilegal serta belum
adanya standardisasi/pedoman baku perhitungan nilai ekonomi satwa liar, sehingga
denda yang diberikan kepada para pelaku sering kali terlalu rendah dan tidak
sepadan jika dibandingkan dengan nilai perdagangan aktual di pasar ilegal. Kondisi
ini terus terjadi secara berkepanjangan dan tidak dapat menimbulkan efek jera. Oleh
sebab itu, dipandang perlu dilakukan perhitungan nilai ekonomi satwa liar melalui
valuasi ekonomi. Terdapat tiga metode valuasi yang dapat digunakan yakni metode
harga pasar, valuasi kontingensi untuk memperoleh WTP, dan biaya pemeliharaan.
Penelitian ini fokus mengkaji nilai ekonomi gajah sumatera (Elephas maximus
sumatranus) dan beruang madu (Helarctos malayanus). Penelitian ini bertujuan
untuk 1) menganalisis aliran tata niaga perdagangan ilegal gajah sumatera dan
beruang madu; 2) menduga dan menentukan metode nilai ekonomi terbaik (harga
pasar, nilai wtp, dan biaya pemeliharaan) gajah sumatera dan beruang madu; 3)
menganalisis peubah-peubah karakteristik responden yang memengaruhi
pemberian WTP.
Penelitian dilaksanakan melalui dua tahap. Tahap pertama berlangsung pada
bulan Januari – Maret 2020, sementara itu, pengambilan data lanjutan dilaksanakan
pada bulan Februari - Mei 2021. Pengumpulan data yang berkaitan dengan tata
niaga peradangan ilegal gajah sumatera dan beruang madu dilakukan melalui
beberapa instansi, yaitu GAKKUM KLHK Pusat, GAKKUM Sumatera, BKSDA
(DKI Jakarta, Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta) dan Yayasan
International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Pengumpulan data yang berkaitan
dengan valuasi ekonomi dilakukan di lembaga konservasi, yaitu Taman
Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia Bogor, Kebun Binatang Bandung,
Batu Secret Zoo, Taman Safari Indonesia Prigen, Taman Safari Indonesia (Bali
Safari & Marine Park), Siantar Zoo, Medan Zoo, dan Pusat Penyelamatan Satwa
(PPS) Tasikoki. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dengan pengelola
dan pengunjung lembaga konservasi serta instansi terkait dan studi literatur
dokumen perkara perdagangan ilegal satwa liar. Analisis tujuan pertama dan kedua
menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif, sedangkan tujuan ketiga
dianalisis secara deskriptif kualitatif serta analisis regresi linear berganda.
Hasil penelitian menunjukkan setidaknya terdapat tiga tipologi aliran
perdagangan ilegal gajah sumatera dan beruang madu, yaitu harvester directly to
consumers, redundant channels, dan multiple barriers to markets. Tipe multiple
barriers to market mendominasi untuk perdagangan ilegal kedua spesies. Jumlah
transaksi terbanyak untuk perdagangan ilegal gajah sumatera berada di Riau
(22,50%), sedangkan beruang madu di Lampung (17,50%). Transaksi langsung
(luring) merupakan bentuk transaksi yang dominan ditemukan pada gajah sumatera
(77,50%) dan beruang madu (85,36%). Jumlah pelaku teridentifikasi sebanyak 62
individu untuk gajah sumatera dan 69 individu untuk beruang madu. Karakteristik
gender pelaku yang paling mendominasi adalah laki-laki dengan persentase 98.39%
untuk gajah sumatera dan 97,10% untuk beruang madu. Kelas usia relatif beragam,
dengan usia yang paling banyak ditemukan berada pada rentang 35 – 44 dan 45 –
59 pada pemburu dan perantara, sedangkan untuk konsumen cenderung lebih
bervariasi. Teridentifikasi sebanyak 40 kasus transaksi perdagangan gajah sumatera
dan 41 kasus untuk beruang madu selama periode 2015 – 2020. Bagian tubuh gajah
sumatera yang paling banyak diperdagangkan yaitu gading gajah (85,77%)
sementara pada beruang madu yaitu cakar/kuku (73,80%). Pendugaan nilai
perdagangan tertinggi terdapat pada jenis tipologi multiple barriersto markets yaitu
pada gajah sumatera mencapai Rp 9.100.000.000 dan beruang madu senilai Rp
240.250.000.
Nilai ekonomi gajah sumatera melalui pendekatan metode harga pasar
mencapai Rp 1.208.035.714, untuk biaya pemeliharaan mencapai Rp 621.730.000,
(WTP) motif melindungi Rp 9.239.072.502 dan motif membeli Rp 26.801.066.773.
Nilai ekonomi untuk beruang madu dengan metode harga pasar berada pada Rp
144.914.126, dan untuk biaya pemeliharaan senilai Rp 76.760.000, WTP motif
melindungi mencapai Rp 4.028.282.806 dan motif membeli mencapai Rp Rp
113.577.435. Ditinjau dari nilai ekonomi yang diperoleh, kepraktisan/efektivitas
proses pengambilan dan analisis data serta biaya yang diperlukan (efisiensi), maka
metode yang paling baik adalah metode harga pasar disusul dengan biaya
pemeliharaan. Peubah karakteristik Gender, usia, tingkat pendidikan dan
pendapatan, serta pekerjaan (PNS, guru, dan pengusaha) berpengaruh signifikan
terhadap kesediaan membayar (WTP) untuk motif melindungi dan membeli gajah
sumatera. Serupa dengan hal tersebut, pada beruang madu hanya peubah
karakteristik usia yang tidak berpengaruh signifikan di lima provinsi baik untuk
motif melindungi maupun membeli.
Collections
- MT - Forestry [1411]