Komunikasi Narasi dalam Gerakan Perlawanan Petani di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat
Date
2022-04-29Author
Pratiwi, Aprilianti
Sarwoprasodjo, Sarwititi
Soetarto, Endriatmo
Pandjaitan, Nurmala
Metadata
Show full item recordAbstract
Konflik lahan yang diakibatkan perampasan lahan, kriminalisasi petani
serta monopoli tanah terus terjadi sepanjang tahun di Indonesia. Di Indonesia,
persoalan ini belum menemukan jalan keluar. Setiap tahun, Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) mengeluarkan data mengenai konflik lahan di
Indonesia. Hasil data menunjukkan angka konflik lahan mengalami naik-turun,
namun masih pada angka yang tinggi. Akibat konflik lahan, lahirlah gerakan
petani. Petani rela pasang badan dan berupaya demi mempertahankan hak mereka
atas tanah. Gambaran kondisi ini seperti yang dialami oleh petani di Telukjambe,
Karawang yang tergabung dalam Serikat Tani Teluk Jambe Bersatu (STTB). PT
Pertiwi Lestari dengan tiba-tiba mengklaim bahwa lahan di Desa Wanajaya yang
selama ini telah ditempati oleh petani sebagai miliknya.
Pada kurun waktu 10 tahun terakhir, kajian gerakan petani didominasi oleh
disiplin ilmu sosiologi dan sosial politik. Penelitian ini menawarkan perspektif
komunikasi dengan fokus narasi untuk mengkaji gerakan petani. Padahal,
komunikasi menjadi aspek utama dalam gerakan sosial. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan para ahli bahwa Gerakan sosial didominasi oleh narasi dan
pengisahan cerita. Oleh sebab itu penelitian ini menawarkan penggunaan Teori
Paradigma Naratif yang dikolaborasikan dengan Teori Konvergensi Simbolik
untuk mengkaji narasi-narasi yang terdapat dalam gerakan petani yang dilakuka
STTB.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) merumuskan genealogi pertentangan
penguasaan agraria di Karawang; 2) menemukan narasi yang dikonstruksi dalam
gerakan perlawanan petani Karawang, dan 3) menemukan tema-tema fantasi yang
dimiliki petani dalam membangun kohesivitas pada organisasi.
Penelitian ini menggunakan analisis naratif dengan paradigma
konstruktivis. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
mendalam, FGD (Focus Group Discussion), observasi dan dokumentasi.
Hasil penelitian pada genealogi pertentangan penguasaan agraria di
Karawang menemukan tiga setting, yaitu setting tempat, setting sosial dan setting
waktu. Setting mampu mengidentifikasi sejarah secara rinci yang terurai dari
dahulu hingga sekarang, dan membantu memberikan konteks dalam cerita
sehingga dapat diketahui pola penguasaan lahan di Indonesia dan pertentangan
agraria yang terjadi dari masa ke masa. Berdasarkan asal-usul pertentangan
penguasaan agraria di Karawang diketahui bahwa terdapat kesamaan pola antara
kasus perebutan lahan yang pernah terjadi di Karawang. Pola yang diidentifikasi
diantaranya adalah kesamaan status lahan yang dipertentangkan. Pola lainnya
yang berhasil diidentifikasi adalah regulasi yang tumpang tindih. UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) tidak lagi difungsikan sebagai induk regulasi bidang
pertanahan di Indonesia. UUPA seringkali dipertentangkan dengan undang undang yang dimiliki suatu wilayah tertentu. Pola selanjutnya yang diidentifikasi
adalah adanya ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan lahan. Pola terakhir yang berhasil diidentifikasi adalah adanya tumpang tindih penggunaan
lahan atau alih fungsi lahan. Di Karawang terjadi pengurangan jumlah lahan
pertanian dan perkebunan yang digantikan dengan perumahan, pabrik dan
kawasan industri.
Terdapat dua jenis narasi dalam penelitian ini, yaitu Narasi Utama dan
Kontra Narasi. Yang termasuk Narasi Utama adalah narasi provokasi, narasi
folklore. Kedua narasi ini merupakan narasi yang dibangun di dalam STTB.
Sedangkan yang termasuk Kontra Narasi adalah narasi intimidasi dan iming-iming
serta narasi pesimistis. Kedua narasi tersebut merupakan narasi tandingan yang
dibangun oleh pihak lawan STTB, yaitu PT Pertiwi Lestari dan keluarga petani.
Narasi-narasi tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan
dikonstruksinya narasi. Penelitian ini menemukan hal yang cukup unik, yang
mana narasi provokasi yang selama ini identik dengan narasi pemecah belah, pada
penelitian ini justru dijadikan alat untuk mempersatukan petani.
Penelitian ini juga mengidentifikasi 3 plot yang menjadi urutan koronologi
kisah gerakan perlawanan petani STTB yaitu plot awal, tengah dan akhir. Melalui
plot, dapat diindetifikasi runutan pertistiwa perlawanan petani STTB mulai dari
adanya desas-desus yang diciptakan oleh pihak suruhan korporasi mengenai status
kepemilikan lahan yang ditinggali oleh petani, sampai bentrok hebat yang terjadi
antara petani dan korporasi yang mengakibatkan pengusiran paksa terhadap petani.
Pada plot ini diidentifikasi pula karakter yang terlibat dalam kisah perlawanan
petani STTB ini. Terdapat empat jenis karakter dalam kisah ini, yaitu hero, victim,
villain, dan supporting player.
Tema-tema fantasi yang dimiliki petani untuk membangun kohesivitas
dalam organisasi adalah ‘kebersamaan dan bersatu’, ‘berjuang sampai mati’,
‘merdeka dari penindasan dan intimidasi perusahaan’, ‘satu nasib’, ‘memihak
kepada korporatisasi’, dan ‘Polisi Karawang Jahat’. Tema-tema fantasi yang
dikonstruksi dan berkembang di dalam tubuh organisasi ini dipertukarkan oleh
pimpinan STTB dengan petani dan atau oleh sesama petani. Mereka saling
membentuk rantai fantasi yang merupakan respon dari dramatisasi pesan yang
saling mereka pertukarkan tersebut. Land conflicts caused by land grabbing, criminalization of farmers and
land monopolies continue to occur throughout the year in Indonesia. In
Indonesia, this problem has not found a solution. Every year, the Consortium for
Agrarian Reform (KPA) publishes data on land conflicts in Indonesia. The results
of the data show that the number of land conflicts has fluctuated, but is still at a
high rate. As a result of land conflicts, the peasant movement was born. Farmers
are willing to step up and try to defend their rights to land. The description of this
condition is as experienced by farmers in Telukjambe, Karawang who are
members of the Serikat Tani Telukjambe Bersatu (STTB). PT Pertiwi Lestari
suddenly claimed that the land in Wanajaya Village, which had been occupied by
farmers all this time, was their belonging.
In the last 10 years, the study of the peasant movement has been
dominated by the disciplines of sociology and socio-politics. This study offers a
communication perspective with a narrative focus to examine the peasant
movement. In fact, communication is a major aspect of social movements. This is
as stated by experts that social movements are dominated by narratives and
storytelling. Therefore, this study offers the use of the Narrative Paradigm Theory
in collaboration with the Symbolic Convergence Theory to examine the narratives
contained in the peasant movement carried out by STTB.
This study aims to: 1) formulate a genealogy of conflicts over agrarian
control in Karawang; 2) find the narrative constructed in the Karawang peasant
resistance movement, and 3) find the fantasy themes that farmers have in building
cohesiveness in the organization.
This study used narrative analysis with a constructivist paradigm. The
method of data collection was done by means of in-depth interviews, FGD (Focus
Group Discussion), observation and documentation.
The results of research on the genealogy of conflicting agrarian control
in Karawang found three settings, namely place settings, social settings and time
settings. The setting is able to identify detailed history that unfolds from the past
to the present, and helps provide context in the story so that land tenure patterns
in Indonesia and the agrarian conflicts that occur from time to time can be
identified. Based on the origin of the conflict over agrarian control in Karawang,
it is known that there are similarities in the pattern of land grabbing cases that
have occurred in Karawang. Among the patterns identified are the similarity of
contested land statuses. Another pattern that was identified was overlapping
regulation. The UUPA (Law on Basic Agrarian Affairs) no longer functions as the
parent regulation of the land sector in Indonesia. The UUPA is often contradicted
by the laws of a particular area. The next pattern identified is the inequality of
land tenure and ownership structures. The last pattern that was identified was
overlapping land use or land use change. In Karawang there has been a reduction in the amount of agricultural land and plantations being replaced by housing,
factories and industrial areas.
There are two types of narratives in this study, namely Main Narrative
and Counter Narrative. Main Narration includes provocation narrative, folklore
narrative. These two types are narratives that are built in STTB. Meanwhile, the
counter-narrative includes narration of intimidation and lure as well as
pessimistic narration. The two narratives are counter-narratives developed by
STTB's opponents, namely PT Pertiwi Lestari and farmer families. These
narratives have different functions according to the purpose for which they are
constructed. This research finds something quite unique, where the provocation
narrative which has been identical to the divisive narrative, in this study is
actually used as a tool to unite farmers.
This study also identified 3 plots that became the chronological
sequence of the story of the STTB peasant resistance movement, namely the
beginning, middle and end plots. Through the plot, we can identify the sequence of
events in the resistance of STTB farmers, starting from rumors created by
corporations regarding the ownership status of the land occupied by farmers, to
violent clashes between farmers and corporations which resulted in the forced
eviction of farmers. In this plot, the characters involved in the story of the STTB
peasant resistance are also identified. There are four types of characters in this
story, namely heroes, victims, villains, and supporting players.
The fantasy themes that farmers build are cohesiveness within the
organization are 'togetherness and unity', 'fight to the death', 'freedom from
corporate oppression and intimidation', 'one fate', 'partisanship with
corporatization', and 'Police Karawang is a bad cops’'. The fantasy themes that
are constructed and developed within this organization are exchanged by the
STTB leadership with farmers and/or by fellow farmers. They form a fantasy
chain which is a response to the dramatization of the messages they exchange
with each other.
Collections
- DT - Human Ecology [537]