Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah dan Strategi Keberlanjutannya di Kabupaten Bogor (Studi Kasus Kecamatan Ciampea)

Abstract

Selama tahun 2014-2018, luas lahan sawah baku di Kabupaten Bogor berkurang drastis. Alih fungsi atau konversi lahan sawah yang tertinggi mencapai 4.579 hektar per tahun. Apabila konversi ini terus berlanjut, maka kemampuan Kabupaten Bogor untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri akan berkurang. Tujuan penelitian ini adalah: (i) menganalisis perubahan penggunaan lahan sawah; (ii) menganalisis keselarasan penggunaan lahan sawah terhadap tata ruang kawasan pertanian pangan yang berlaku; (iii) menganalisis nilai ekonomi dari dampak alih fungsi lahan sawah, dan (iv) menelaah prospek keberlanjutan lahan sawah di masa depan, dan merekomendasikan kebijakan untuk mempertahankan keberlanjutan lahan sawah di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Metode penelitian yang digunakan meliputi: (i) analisis spasial dengan memanfaatkan citra SPOT 6 dengan bantuan aplikasi ArcGIS 10.5; (ii) analisis dampak alih fungsi lahan dengan metode valuasi ekonomi (melalui pendekatan analisis finansial dan analisis biaya pengganti); dan (iii) proyeksi keberlanjutan lahan sawah berdasarkan asumsi-asumsi yang relevan. Adapun strategi keberlanjutan lahan sawah diformulasikan dengan mempertimbangkan output dan hasil analisis strategi SWOT (Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), and Threats (ancaman). Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama, selama tahun 2016 hingga 2019, konversi lahan sawah di Kecamatan Ciampea didominasi oleh permukiman (89%), pertanian lahan kering (9%), dan pertanian lahan kering campuran (2%). Sementara itu, implementasi kebijakan penataan ruang untuk pengembangan pertanian lahan basah tidak berjalan secara optimal. Kedua, angka konversi lahan sawah di Kecamatan Ciampea relatif tinggi per tahun, yakni mencapai 51,45 hektar per tahun. Ketiga, dampak yang timbul akibat konversi lahan sawah relatif tinggi, yakni: kehilangan potensi produksi pangan berupa beras sebesar 1008,36 ton dan palawija sebesar 1179,71 ton per tahun; atau setara dengan pendapatan bersih sektor pertanian sebesar Rp 6,86 miliar per tahun; serta hilangnya kesempatan kerja bagi 372 orang. Sementara itu, biaya pengganti yang diperlukan untuk pengendalian banjir, erosi dan sedimentasi mencapai Rp 257,68 miliar. Apabila diasumsikan bahwa konversi lahan akan terus berlangsung dengan laju yang konstan di masa yang akan datang, dan tidak ada perubahan dalam kebijakan penataan ruang Kabupaten Bogor, maka diperkirakan dalam 34 tahun mendatang (tahun 2053), seluruh lahan sawah di Kecamatan Ciampea akan sepenuhnya berubah menjadi non-sawah. Di samping itu secara kumulatif timbul dampak terhadap ancaman kehidupan petani, ketahanan pangan lokal, dan lingkungan hidup sekitar. Penelitian ini menghasilkan empat alternatif strategi untuk mencapai keberlanjutan lahan sawah di Kecamatan Ciampea. Strategi pertama adalah peninjauan kembali kebijakan RTRW Kabupaten Bogor dan memperkuat pengendalian konversi lahan pertanian pangan, khususnya sawah. Strategi kedua adalah pembinaan dan pemberdayaan petani dan generasi petani padi sawah Kecamatan Ciampea melalui pengembangan kelembagaan usaha tani tanaman pangan secara kolektif dan berorientasi pada kesejahteraan rumah tangga anggota petani padi sawah Ciampea. Strategi ketiga adalah insentif kebijakan untuk LP2B dan ganti rugi alih fungsi lahan LP2B untuk memastikan lahan sawah yang tergolong dalam LP2B tidak beralih fungsi ke penggunaan selain sawah. Strategi keempat adalah mengoptimalkan fungsi kelompok/ organisasi tani sebagai wadah pendidikan dan pemberdayaan ekonomi kolektif petani padi Ciampea.

Between the years 2014-2018, the total area of prime paddy fields in Bogor Regency were decreased drastically. As a result, the highest land conversion rate reached 4579 hectares per annum. If the transformation of paddy fields continues, Bogor Regency's food resilience will decrease. The aims of this study were (1) to analyze the paddy fields land-use change; (2) to analyze the lowland rice spatial plan consistencies to its land-use; (3) to analyze the economic value of the impact of the paddy fields land-use change; and (4) to examine the prospect of paddy fields' land sustainability; and formulate strategies toward paddy field sustainability in Ciampea Sub-district, Bogor Regency. The research methods include the spatial analysis using SPOT 6 imageries with the support from ArcGIS 10.5 application; the impact analysis of the land-use change using the economic valuation method (through a financial analysis approach and replacement cost analysis); and the prediction of the future sustainability of paddy fields. Finally, a policy recommendation for the paddy field's sustainability strategies is formulated based on the analysis of SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats). The results showed that, first, during the year of 2016 to 2019, the paddy fields in the Ciampea Sub-district were transformed into settlements (89%), upland agriculture (9%), and mixed upland agriculture (2%). Meanwhile, the implementation of spatial planning for lowland rice development is not optimally running. Second, the conversion rate was relatively high, by 51,45 hectares per annum. Third, the impact of the paddy field land conversion was relatively high. Those impacts are a potential loss of 1008,36 tons of rice production and 1179,71 tons of paddy field's second crop, or equivalent to the loss of net agricultural income, by Rp 6,86 billion; as well as the loss of employment opportunities to 372 permanent workers. In addition, the loss of environmental services, including the cost for replacing the function of flood, erosion, and sedimentation control, reached as much as Rp 257,68 billion. Finally, with the assumption that the annual conversion rate was constant, in the future, the paddy fields in Ciampea Sub-district will be all the way lost in the next 34 years (2053), and so, the emergence of cumulative impacts that threaten Ciampea farmers, local food security, and the surrounding environment. The research proposes four strategies for paddy field sustainability in Ciampea Sub-district. The first strategy is reviewing the District Spatial Plan or RTRW Kabupaten Bogor and strengthening control over the conversion of food land, especially paddy fields. The second is fostering and empowering Ciampea lowland rice farmers and their generations through the development of food crop farming institutions collectively and oriented towards the welfare of Ciampea lowland rice farmers' household members. The third is the adjustment of the Sustainable Food Farm (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B's) incentive policies and compensation after land conversion of LP2B, to ensure that LP2B's land does not convert to other non-rice field uses. The Fourth is strengthening the farmer groups/organizations as a forum for education and the economic empowerment of the Ciampea rice farmers.