Show simple item record

dc.contributor.advisorSoetarto, Endriatmo
dc.contributor.advisorSihaloho, Martua
dc.contributor.authorAdi, Angga Prasetyo
dc.date.accessioned2021-11-18T12:51:51Z
dc.date.available2021-11-18T12:51:51Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/109939
dc.description.abstractPerlawanan petani kawasan Wonogoro merupakan wujud dari adanya kemiskinan di kawasan pedesaan Jawa Timur dengan masalah agraria yang belum terselesaikan. Reforma agraria yang diterjemahkan oleh pemerintah dengan adanya perhutanan sosial. Perhutanan sosial yang terjadi di kawasan Wonogoro mengubah perlawanan petani dengan terjadi polarisasi petani dengan terbagi menjadi dua kubu antara petani yang mendukung perhutanan sosial dan yang menentang perhutanan sosial. Adanya perhutanan sosial perlawanan petani terbagi menjadi dua kubu tidak terlepas dengan adanya relasi kuasa yang beroperasi didalam perlawanan petani itu sendiri. Petani kapital memanfaatkan beroperasinya relasi kuasa yang terlegitimasi dalam patronase (Patnaik 1976). Relasi kuasa yang berjalan dalam sistem patronase yang membentuk dinamika kelas dalam perlawanan petani kawasan Wonogoro. Tujuan penelitian menganalisis relasi kuasa yang terjadi didalam perlawanan petani yang menjadikan perlawanna petani sebagai alat oleh petani kapital untuk mengamankan lahan. Pengamanan modal produksi yang dilakukan oleh petani kapital melalui perlawanan petani membentuk dinamika kelas petani. Penelitian ini mengunakan metode penelitian kualitatif dengan didukung data kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di kawasan Wonogoro kecamatan Gedangan kabupaten Malang Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada informan yang merupakan aktor perlawanan petani di kawasan Wonogoro. Hasil penelitian sketsa petani Malang Selatan memiliki kekhasan. Masyarakat keturunan Madura tetapi, masih menganut budaya Jawa dengan mengadakan ritual seperti slametan ketika panen dan sebelum tanam. Slametan yang dilakukan oleh petani mampu menunjukan posisi kelas petani. Posisi kelas petani dalam acara slametan ditunjukan dengan intensitas melakukan slametan dan seberapa besar ongkos produksi yang harus dikeluarkan dalam slametan tersebut. Melihat intensitas dan besarnya ongkos produksi menunjukan posisi kelas petani kapital dan proletar. posisi kelas petani tidak hanya terjadi dalam produksi budaya tetapi dalam relasi sosial petani kapital dengan petani proletar. Jika melihat konflik awal terjadi di kawasan Wonogoro yang terbentuk tidak terlepas dengan hubungan Perhutani dengan petani kawasan Wonogoro. Relasi sosial yang terjalin antara Perhutani dan petani sangat eksploitatif dengan menjadikan petani sebagai tanaga kerja murah dalam proses produksi. Relasi yang sangat eksploitatif tidak lepas dengan ancaman ancaman yang dilakukan oleh Perhutani. Adanya status tanah yang masih belum legal memudahkan Perhutani untuk mengontrol petani kawasan Wonogoro melalui relasi kuasa yang dijalankan oleh Perhutani. Relasi kuasa yang dilakukan pemerintah melalui perhutanan sosial menjadi menarik bahwa Perhutani mengunakan sebagian aktor petani untuk mempermudah perhutanan sosial diterima oleh masyarakat. Relasi kuasa perhutanan sosial dengan wacana-wacana legalitas lahan membuat sebagian besar petani tertarik untuk mengikuti perhutanan sosial selain itu yang membawa perhutanan sosial adalah tokoh yang berpengaruh di petani kapital. Percepatan perhutanan sosial yang dilakukan di Wonogoro mengunakan kelompok kerja yang dipimpin oleh petani kapital, sehingga mudah untuk diterima dan diikuti oleh petani petani proletar. Peran LSM sangat penting menentukan sebagian besar petani yang awalnya menerima perhutanan sosial dengan asumsi bahwa perhutanan sosial sebagai jalan reforma agraria. Adanya kepentingan politik LSM mengubah penerimaan perhutanan sosial menjadi menolak perhutanan sosial dengan produksi wacana. Wacana distribusi lahan menjadi masalah sebagian besar aktor yang menjadi aktor perlawanan petani kawasan Wonogoro dalam menolak perhutanan sosial memiliki lahan lebih dari 2 hektar. Redistribusi lahan dalam skema perhutanan sosial secara langsung maupun tidak langsung akan mengancam modal produksi petani yang memiliki lahan lebih dari 2 hektar. Relasi kuasa yang dilakukan oleh pemerintah melalui perhutanan sosial maupun relasi kuasa oleh petani kapital yang memiliki lahan lebih dari 2 hektar. Petani proletar menjadi kelas yang sangat terdominasi dengan sistem sistem yang terbangun melalui hubungan patronase sehingga memudahkan relasi kuasa dapat berjalan didalam perlawanan petani kawasan Wonogoro dalam menentang perhutanan sosial. Relasi patronase tidak terlepas dengan penguasaan lahan yang dimiliki oleh aktor perlawanan petani yang memiliki pengaruh cukup besar dalam hubungan produksi petani kawasan Wonogoro. Relasi sosial petani kapital mampu untuk mengontrol perlawanan yang dilakukan oleh petani kawasan Wonogoro. Petani proletar dan proletar penuh menolak perhutanan sosial. Klasifikasi kelas petani dalam perlawanan menunjukan bahwa dimana pengaruh dari petani kapital untuk mengontrol petani proletar dan proletar penuh dalam perlawanan petani. Klasifikasi kelas petani tersebut terdapat 5 klasifikasi petani kapital yang berperan sebagai aktor dengan jumlah lahan lebih dari 2 ha, petani dengan produsen kecil dengan luas lahan 2 ha, petani semi proletar dengan jumlah lahan kurang dari 2 ha, petani proletar yang memiliki lahan kurang dari 1,5 hektar dan petani proletar penuh yang menjual tenaga untuk bertahan hidup (Patnaik 1976). Melihat pertarungan petani yang menerima dan menolak adanya perhutanan sosial menjadi senjakala dimana selain redistribusi lahan yang hanya untuk keluarga petani kapital juga besarnya privatisasi lahan dengan menambah lahan dari hasil produksi pertanian, yang mempersulit redistribusi lahan kepada petani proletar yang sangat membutuhkan lahan. Pembagian produksi tanaman yang terjadi di kawasan Wonogoro yang tidak proposional karena luas lahan untuk tanaman tegakan lebih besar dari pada tanaman musiman. Kuatnya wacana LSM yang mampu mempengaruhi petani untuk menolak perhutanan sosial menunjukan perhutanan sosial di kawasan Wonogoro pada fase senjakala.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleGoro-Goro Perlawanan Petani Dalam Dinamika Kelas dan Relasi Kuasa (Studi Kasus: Petani Kawasan Wonogoro Malang Selatan)id
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordDinamika Kelasid
dc.subject.keywordPerlawanan Petani dan Perhutanan Sosialid
dc.subject.keywordclass dynamicid
dc.subject.keywordpower relations and social forestryid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record