| dc.description.abstract | Masa remaja merupakan masa periode transisi yang mengalami pertumbuhan paling pesat dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Remaja merupakan salah satu usia yang rentan mengalami berbagai masalah kesehatan khususnya masalah gizi. Masalah gizi terjadi di usia remaja disebabkan oleh kebutuhan zat gizi yang lebih banyak untuk membantu peningkatan pertumbuhan serta perkembangan remaja tersebut. Anemia merupakan masalah gizi yang sering ditemukan pada remaja putri. Tidak tercukupinya asupan protein, zat besi, vitamin B12, vitamin C, asam folat dan zat gizi lain yang berkaitan dengan kadar hemoglobin dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat gizi. Peningkatan kebutuhan zat besi pada remaja putri lebih dibutuhkan daripada remaja pria karena remaja putri mengalami menstruasi setiap bulannya.
Faktor ekonomi keluarga juga dapat berpengaruh terhadap kejadian anemia karena rendahnya daya beli pangan keluarga. Kabupaten Cianjur berada di urutan keempat di provinsi Jawa Barat dengan jumlah 207.07 ribu orang dari 2.244 juta orang. Pemerintah telah melakukan upaya menurunkan angka anemia di Indonesia melalui program suplementasi besi folat. Namun dari 80,9% remaja menerima suplementasi hanya 1,4% yang mengonsumsi. Terdapat beberapa faktor lain yang dapat memengaruhi kadar hemoglobin seperti menstruasi, kebiasaan sarapan, status gizi, kelelahan dan konsumsi pangan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis perbedaan konsumsi pangan, menstruasi, status gizi, tingkat kelelahan dan kebiasaan sarapan pada keluarga dengan status ekonomi berbeda di Kabupaten Cianjur, 2) menganalisis faktor yang memengaruhi kadar hemoglobin remaja putri di Kabupaten Cianjur.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Khomsan et al. (2020) yang berjudul Weekly Iron-Folic Acid (WIFA) Supplementation Program for School Girl Adolescents and Its Impact on Anemia, Fitness, and Anthropometric Status: Study in High and Low Stunting Areas yang dibiayai oleh Neys-van Hoogstraten Foundation, The Netherlands.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2019-Januari 2020. Subjek penelitian adalah 122 remaja putri yang berasal dari kelompok ekonomi yang berbeda. Pengumpulan data terdiri dari usia, uang saku, tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga, konsumsi makanan, tingkat kepatuhan, menstruasi, tingkat kelelahan, status gizi dan kadar hemoglobin pada dua kelompok ekonomi yang berbeda. Analisis data yang digunakan adalah univariat, bivariat dan multivariat. Analisis bivariat menggunakan uji Mann-Whitney untuk uji beda, uji Spearman untuk uji hubungan dan uji Regresi Linear Stepwise untuk melihat faktor yang paling berpengaruh.
Subjek memiliki usia rata-rata 16 tahun. Jumlah rata-rata uang saku pada subjek kelompok ekonomi rendah Rp. 13.459 lebih sedikit dibandingkan dengan ekonomi tinggi Rp. 18.926. Semakin besar uang saku menjadi salah satu indikator semakin besar pendapatan dalam sebuah keluarga. Terdapat 6,8% remaja kelompok
ekonomi rendah dan 15,4% remaja kelompok ekonomi tinggi memiliki kadar hemoglobin di bawah normal. Anemia yang dialami remaja putri memiliki risiko melahirkan anak bayi dengan berat badan lahir rendah dan stunting.
Rata-rata konsumsi energi, protein, zat besi, vitamin B12, vitamin C dan asam folat subjek pada kelompok ekonomi rendah lebih tinggi dibanding dengan kelompok ekonomi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan kelompok ekonomi rendah lebih baik daripada kelompok ekonomi tinggi. Tidak terdapat perbedaan pada konsumsi asupan energi dan zat besi. Namun, terdapat perbedaan konsumsi protein (p=0,045), vitamin B12 (p=0,040), vitamin C (p=0,009) dan asam folat (p=0,059). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi sarapan pagi (p=0,515). Kebiasaan sarapan kedua kelompok masih belum baik karena kurangnya kesadaran subjek akan pentingnya sarapan. Tidak terdapat perbedaan keragaman pangan (p=0,582) dan densitas energi (p=0,756) pada kedua kelompok ekonomi subjek.
Terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kepatuhan pada kedua kelompok subjek (p=0,016). Terdapat 47,7% kelompok ekonomi rendah dan 34,6% kelompok ekonomi tinggi memiliki siklus mentruasi yang tidak teratur. Tidak terdapat terdapat perbedaan siklus menstruasi pada kedua kelompok (p=0,156). Hal ini disebabkan karena faktor ketidakteraturan menstruasi kedua kelompok sama. Tingkat kelelahan pada subjek ekonomi rendah 36,4% dan ekonomi tinggi 26,9%. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kelelahan kedua kelompok (p=0,278). Hal ini disebabkan oleh aktivitas atau kegiatan sehari-hari hampir sama pada kedua kelompok. Status gizi gemuk kelompok ekonomi rendah 6,8% dan 9,0% kelompok ekonomi tinggi. Tidak terdapat perbedaan yang siginifikan pada status gizi kedua kelompok (p=0,757).
Terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein (p=0,059) dan vitamin B12 (p=0,041). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi, zat besi, asam folat, vitamin C, kebiasaan sarapan, keragaman pangan, densitas energi, tingkat kepatuhan, menstruasi, tingkat kelelahan, status gizi dan status ekonomi dengan kadar hemoglobin pada subjek. Faktor yang paling berpengaruh dengan kadar hemoglobin adalah vitamin B12 (p=0,017). Hal ini disebabkan oleh konsumsi makanan yang mengandung vitamin B12 di daerah tersebut masih belum baik. | id |
| dc.description.abstract | Adolescence is a period of transition that experiences the most rapid growth from childhood to adulthood. Adolescents are one of the ages that are vulnerable to various health problems, especially nutritional problems. Nutritional problems that occur in adolescence are caused by the need for more nutrients to help increase the growth and development of these adolescents. Anemia is a nutritional problem that is often found in adolescent girls. Insufficient intake of protein, iron, vitamin B12, vitamin C, folic acid and other nutrients related to hemoglobin levels can cause nutritional deficiency anemia. The increased need for iron in adolescent girls is more needed than adolescent boys because adolescent girls experience menstruation every month.
Family economic factors can also affect the incidence of anemia due to the low purchasing power of family food. Cianjur Regency is fourth in the province of West Java with a total of 207,07 thousand people out of 2,244 million people. The government has made efforts to reduce the number of anaemia in Indonesia through the iron folate supplementation program. However, out of 80.9% of adolescents receiving supplementation, only 1.4% took it. There are several other factors that can affect hemoglobin levels such as menstruation, breakfast habits, nutritional status, fatigue and food consumption. The aims of this study were 1) to analyze differences in food consumption, menstruation, nutritional status, fatigue levels and breakfast habits in families with different economic statuses in Cianjur District, 2) to analyze the factors that influence the haemoglobin levels of adolescent girls in Cianjur District.
This research used a cross sectional study design with purposive sampling technique. This research is part of the research of Khomsan et al. (2020) entitled Weekly Iron-Folic Acid (WIFA) Supplementation Program for School Girl Adolescents and Its Impact on Anemia, Fitness, and Anthropometric Status: Study in High and Low Stunting Areas funded by the Neys-van Hoogstraten Foundation, The Netherlands.
This research was conducted in November 2019-January 2020. The research subjects were 122 young women who came from different economic groups. Data collection consisted of age, pocket money, parents' education and occupation levels, family income, family size, food consumption, compliance level, menstruation, fatigue level, nutritional status and hemoglobin levels in two different economic groups. The data analysis used was univariate, bivariate and multivariate. Bivariate analysis used the Mann-Whitney test for the difference test, the Spearman test for the relationship test and the Stepwise Linear Regression test to see the most influential factor.
Subjects had a mean age of 16 years. The average amount of pocket money for the subjects of the low economic group is Rp. 13,459 less than the high economy Rp. 18,926. The bigger the pocket money is an indicator of the greater the income in a family. There are 6.8% of adolescents in the low economic group and 15.4% in the high economic group have hemoglobin levels below normal. Anemia
experienced by young women has a risk of giving birth to babies with low birth weight and stunting.
The average consumption of energy, protein, iron, vitamin B12, vitamin C and folic acid of subjects in the low economic group was higher than the high economic group. This shows that the food consumption of the low economic group is better than that of the high economic group. There was no difference in the consumption of energy and iron intake. However, there were differences in the consumption of protein (p=0.045), vitamin B12 (p=0.040), vitamin C (p=0.009) and folic acid (p=0.059). There was no significant difference between the frequency of breakfast (p=0.515). Breakfast habits of both groups were not good because of the subject's lack of awareness of the importance of breakfast. There was no difference in food diversity (p=0.582) and energy density (p=0.756) in the two economic groups of subjects.
There was a significant difference in the level of adherence in the two groups of subjects (p=0.016). There are 47.7% of the low economic group and 34.6% of the high economic group having irregular menstrual cycles. There was no difference in menstrual cycles in the two groups (p=0.156). This is due to the same menstrual irregularity factor in both groups. The level of fatigue on the subject of low economics is 36.4% and high economics is 26.9%. There was no significant difference in the fatigue of the two groups (p=0.278). This is caused by almost the same daily activities or activities in both groups. The nutritional status of fat in the low economic group was 6.8% and 9.0% in the high economic group. There was no significant difference in the nutritional status of the two groups (p=0.757).
There was a significant relationship between protein intake (p=0.059) and vitamin B12 (p=0.041). There is no significant relationship between energy intake, iron, folic acid, vitamin C, breakfast habits, food diversity, energy density, compliance level, menstruation, fatigue level, nutritional status and economic status with hemoglobin levels in subjects. The most influential factor with hemoglobin levels was vitamin B12 (p=0.017). This is because the consumption of foods containing vitamin B12 in the area is still not good. | id |
