Analisis Keberlanjutan Sistem Budidaya Kakao Karakterisasi Morfologi dan Penerapan Tanaman Sela pada Kakao Muda
Date
2021-01-28Author
Poleuleng, Andi Besse
Agusta, Herdhata Agusta
Yahya, Sudirman Yahya
Wachjar, Ade Wachjar
Tjoa, Aiyen Tjoa
Metadata
Show full item recordAbstract
Tanaman kakao merupakan komoditas perkebunan unggulan dimana Indonesia tercatat sebagai negara penghasil kakao terbesar keenam dunia. Aspek komersial utama dari tanaman kakao terletak pada bijinya yang merupakan bahan baku industri kosmetik, makanan dan minuman. Budidaya kakao di Indonesia mayoritas masih mengandalkan bahan tanam hasil perbanyakan generatif seperti benih yang dikecambahkan. Perbaikan mutu bahan tanam yang lebih efisien dan efektif dapat dilakukan dengan penggunaan bahan tanam hasil perbanyakan vegetatif, seperti sambung pucuk. Sambung pucuk merupakan salah satu teknik perbanyakan vegetatif yang mampu mengkombinasikan karakter-karakter unggul dari batang atas dan batang bawah melalui mekanisme peleburan kambium diantara kedua batang tersebut. Keunggulan bahan tanam tersebut diduga dapat mendukung kesuksesan usaha tani kakao. Selain itu, penerapan teknologi pertanian berkelanjutan seperti tumpang sari juga meningkatkan peluang kesuksesan budidaya kakao. Hal yang perlu dikhawatirkan dari sistem tumpang sari adanya persaingan antara tanaman utama dengan tanaman sela. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian aspek keberlanjutan penerapan tanaman sela pada sistem pertanaman kakao muda asal sambung pucuk.
Percobaan pertama bertujuan untuk mengkaji keragaan dan biomassa tanaman, merumuskan model alometrik penduga biomassa dan menghitung stok karbon tanaman kakao muda asal sambung pucuk di berbagai elevasi lahan. Percobaan dilaksanakan pada Januari-Agustus 2019 di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Sebanyak 54 tanaman dipilih secara acak dari 6 lokasi pada 3 kelompok elevasi lahan (<300, 300-600, >600 meter di atas permukaan laut). Perumusan model pendugaan biomassa menggunakan analisis regresi linear sederhana. Hasil penelitian menunjukan bahwa elevasi lahan tidak berpengaruh terhadap keragaan tanaman (tinggi, keliling tajuk, lingkar batang, jumlah cabang primer, jumlah bunga, jumlah buah, panjang horizontal dan vertikal akar). Tinggi titik jorquette dan jumlah daun kakao pada elevasi <300 m dpl signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Sebagian besar biomassa tajuk berada di percabangan, sedangkan biomassa akar tertinggi ditemukan pada kedalaman 10-20 cm di bawah tanah. Model terbaik ditandai dengan prediktor sederhana dan nilai R2 yang paling tinggi adalah y =161.99x-3093.8, dengan x = lingkar batang pada ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah.
Percobaan kedua bertujuan untuk menganalisis peubah keberlanjutan pada pola tanam yang berbeda, peubah yang diamati diantaranya pertumbuhan dan produksi kakao dan jagung, distribusi intensitas cahaya, keanekaragaman vegatasi, emisi CO2 tanah dan stok karbon total lahan kakao muda asal sambung pucuk. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2018 – Juni 2019 dengan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap satu faktor dengan 3 taraf perlakuan yakni (K1) tumpang sari kakao dan jagung; (K2) tumpang sari kakao dan Calopogonium caeruleum dan (K3) monokultur kakao, diulang delapan kali. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari pola tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Tanaman kakao dapat tumbuh normal, tanpa ada hambatan meskipun berbagi ruang tumbuh dengan jagung dan Calopogonium caeruleum. Pada pola tumpang sari, jagung dapat tumbuh dengan baik dengan intensitas cahaya yang sudah tereduksi 50% dan C. caeruleum dapat tumbuh normal dengan hanya 20% intensitas cahaya yang tersisa. Analisis vegetasi menunjukan bahwa pola monokultur memiliki kenanekaragaman vegetasi yang lebih besar dibandingkan pola tumpang sari, yakni monokultur kakao 17 jenis, tumpang sari kakao dan jagung 13-15 jenis, tumpang sari kakao dan C. caeruleum 10-12 jenis. Pola monokultur kakao memiliki emisi CO2 tanah yang paling tinggi dibandingkan tumpang sari kakao- C. caeruleum dan kakao-jagung. Stok karbon total lahan monokultur kakao lebih rendah dibanding tumpang sari kakao dan jagung.
Penerapan pola tanam tumpang sari kakao dan jagung perlu mendapatkan dukungan kajian ekonomis selain kajian agronomis. Percobaan ketiga ditujukan untuk menganalisis usaha tani dan nisbah kesetaraan lahan pola tanam tumpang sari kakao dan jagung. Percobaan ini dilaksanakan di kebun kakao muda berumur 3 tahun hasil sambung pucuk di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan (27.4 m dpl) selama 2 musim tanam (Juli-November 2018 dan Desember 2018-April 2019). Analisis usaha tani dilakukan dengan mendata semua biaya produksi (tetap dan variabel) dan pendapatan, lalu dilanjutkan dengan perhitungan nisbah pendapatan dengan pengeluaran. Nisbah kesetaraan lahan dihitung dengan rumus produksi tumpang sari/produksi monokultur. Hasil penelitian menunjukan bahwa pola tumpang sari kakao-jagung layak dikembangkan karena (i) memiliki nisbah R/C sebesar 1.66 pada musim tanam pertama dan 1.32 pada musim kedua, dan (ii) memiliki nilai NKL >1, yakni 1.46.
Collections
- DT - Agriculture [750]