Show simple item record

dc.contributor.advisorBoer, Mennofatria
dc.contributor.advisorKodiran, Taryono
dc.contributor.advisorSusanto, Handoko Adi
dc.contributor.authorRosa, Emilio de la
dc.date.accessioned2021-03-24T09:18:36Z
dc.date.available2021-03-24T09:18:36Z
dc.date.issued2021
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/106395
dc.description.abstractKelola Perikanan Adat (KPA) adalah suatu pendekatan pengelolaan sumber daya perikanan yang mengombinasikan hak ulayat laut, kearifan ekologi tradisional, dan prinsip-prinsip Territorial Use Rights for Fisheries-Reserve. KPA diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan perikanan karang serta upaya konservasi di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Teluk Mayalibit melalui revitalisasi aturan perikanan adat. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu rekomendasi agar dapat meningkatkan efektivitas KPA Teluk Mayalibit dalam mengelola perikanan karang. Pengumpulan data dilaksanakan pada April sampai September 2019. Lokasi pengumpulan data terletak di Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Pengumpulan data dilakukan di empat kampung, yaitu Lopintol, Warsambin, Mumes, dan Yensner. Data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang, persepsi dan partisipasi nelayan terhadap KPA, tata kelola KPA, serta pendapat pakar. Metode Underwater Visual Census digunakan untuk mendapatkan informasi kuantitatif mengenai kesehatan terumbu karang. Pengumpulan informasi mengenai persepsi dan partisipasi nelayan serta tata kelola KPA digali menggunakan metode survei, wawancara semi-struktural, dan observasi. Responden wawancara adalah pemangku kepentingan di Teluk Mayalibit yang bersinggungan langsung dengan KPA. Interpretive Structural Modeling adalah teknik pemodelan yang digunakan untuk menyusun struktur rekomendasi peningkatan efektivitas KPA dalam mengelola perikanan karang. Elemen pengelolaan perikanan KPA yang digunakan adalah: Tujuan peningkatan efektivitas KPA dalam mengelola perikanan karang; Kendala peningkatan efektivitas KPA dalam mengelola perikanan karang; Aktivitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas KPA dalam mengelola perikanan karang; Lembaga yang berperan dalam peningkatan efektivitas KPA; dan Aktor yang berperan dalam peningkatan efektivitas KPA. Rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas KPA didapatkan dari menggabungkan interpretasi kelima elemen yang dianalisis. Tutupan karang keras hidup, densitas dan biomassa ikan, serta biomassa ikan herbivor menunjukkan KPA yang efektif dalam menjaga kesehatan terumbu karang dan sumber daya perikanan karang di Teluk Mayalibit. Namun, tanda-tanda awal degradasi sumber daya perikanan karang sudah mulai terlihat dari Kawasan Larang Ambil (KLA) yang didominasi oleh makroalga, rendahnya biomassa ikan piscivor, tren densitas dan biomassa ikan yang terus menurun, serta ukuran ikan yang semakin kecil. Persepsi nelayan terhadap keberadaaan KPA masuk kedalam kategori sedang. Domain Pengetahuan Nelayan serta Domain Kepercayaan dan Kepemimpinan masuk ke dalam kategori tinggi, namun, Domain Keterlibatan Nelayan masuk ke dalam kategori rendah. KPA tidak memiliki struktur seperti organisasi modern, melainkan memiliki struktur yang bersifat informal. Peraturan KPA yang konsisten disebutkan dan ditekankan adalah batas wilayah KPA, batas wilayah Sub-KPA, serta batas KLA. Pihak yang berpartisipasi aktif dalam mengambil keputusan di KPA Teluk Mayalibit adalah Tiga Tungku di masing-masing kampung, kepala marga, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat (UPTD Pengelolaan KKP Kep. Raja Ampat). Pihak yang menempati posisi sebagai pemilik penuh di wilayah KPA Teluk Mayalibit adalah Tiga Tungku dan kepala marga. Mekanisme pengawasan KPA bergantung kepada kegiatan jaga laut yang dilakukan oleh UPTD Pengelolaan KKP Kep. Raja Ampat. Bentuk pelanggaran yang sering terjadi adalah menangkap ikan tanpa izin oleh nelayan tetangga dan nelayan luar. Mekanisme pemberian sanksi secara bertahap memiliki beberapa variasi di setiap kampung. Konflik antar nelayan diselesaikan melalui proses mediasi oleh Tiga Tungku. Konflik antara nelayan dengan pemerintah diselesaikan melalui musyawarah dan diskusi yang dimediasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Penelitian ini merekomendasikan revitalisasi adat, pengelolaan kolaboratif, dan peningkatan rasa kepemilikan agar dapat meningkatkan efektivitas KPA. Ketiga hal tersebut dapat dicapai melalui pelatihan organisasi bagi masyarakat adat, sehingga bisa meningkatkan kesadaran terhadap KPA. Dewan Adat Suku Maya, UPTD Pengelolaan KKP Kep. Raja Ampat, dan kelompok KPA direkomendasikan untuk berkolaborasi sebagai fasilitator pelatihan. Kepala Adat dan Kepala Kampung direkomendasikan untuk dilibatkan dalam kegiatan KPA lainnya setelah pelatihan agar bisa meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan perikanan karang di Teluk Mayalibit.id
dc.description.abstractCustomary Fisheries Management (CFM) is a fishery management approach which combines customary marine tenure, traditional ecological wisdom, and the principles of Territorial User Rights for Fisheries-Reserve. CFM could increase the effectiveness of reef fisheries management and conservation efforts at Mayalibit Bay Marine Protected Area through customary fisheries regulations’ revitalization. This study aims to formulate recommendations to increase CFM effectiveness in reef fisheries management. Data collection was held from April to September 2019. Data collection was located in Mayalibit Bay, Raja Ampat District, West Papua Province. Data collection was done in four communities, which are Lopintol, Warsambin, Mumes, and Yensner. Data collected throughout the study consists of reef health condition, fisher perception and participation on CFM, CFM governance, and expert’s opinion. Underwater Visual Census was used to collect quantitative information regarding coral reef health. Perception, participation, and governance data were colected using survey, semi-structured interview, and observation. Respondents for survey and interview are stakeholders in Mayalibit Bay who intersect with CFM. Interpretive Structural Modeling is a modeling technique used to develop recommendations to increase the effectiveness of CFM in managing reef fisheries. Elements used in CFM fisheries management are: Goals in increasing CFM effectiveness; Constraints in increasing CFM effectiveness to manage reef fisheries; Activities needed to increase CFM effectiveness in managing reef fisheries; Organisations who play a role in increasing CFM effectiveness to manage reef fisheries; and Actors who have roles in increasing CFM effectiveness to manage reef fisheries. Management recommendation to increase CFM effectiveness were obtained from combining and interpreting the analysis results of said five elements. Hard coral coverage, reef fish density and biomass, and herbivore biomass showed that CFM is effective in maintaining reef health and reef fishery resources condition in Mayalibit Bay. Nonetheless, the early signs of reef fishery resource degradation have already been shown by macroalgae dominance in marine reserve area, low piscivore biomass, declining trends of reef fish density and biomass, and smaller observable reef fish size. Fisher perception on CFM fell into moderate category. The domain of Fisher Knowledge and the domain of Trust and Leadership fell into high category. However, the domain of Fisher Participation fell into the low category. CFM does not have organisation structure like modern organisations, instead, its structure is informal. CFM regulations that are consistently mentioned and emphasized are CFM boundaries, Sub-CFM boundaries, and reserve area boundaries. Active decision makers in Mayalibit Bay CFM are Tiga Tungku, clan leaders, and Raja Ampat Marine Protected Area Technical Implementing Unit (Raja Ampat TIU). Stakeholders who occupy a position as full owner in Mayalibit Bay iv CFM are Tiga Tungku and clan leaders. Surveillance mechanism in CFM is highly dependant on Raja Ampat TIU patrol activities. The type of violation that is prevalent in Mayalibit Bay CFM is fishing without permission by neighbouring fishers and outside fishers. There are variations of graduated sanctions in each communities in Mayalibit Bay CFM. Conflict between fishers is mediated by Tiga Tungku. Conflict between fishers and local government is resolved through a discussion forum mediated by non-government organisations. This study recommends customary revitalization, colaborative management, and increasing sense of ownership to increase CFM effectiveness. Those three recommendations could be achieved through organisation training for customary communities in order to increase community awareness on CFM. Maya Tribe Customary Council, CFM management body, and Raja Ampat TIU are recommended to collaborate with each other as training facilitators. Customary Leaders and Community Leaders are recommended to be involved in CFM activities after the training, in order to increase customary communities’ participation in reef fisheries management of Mayalibit Bay.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.titleEvaluasi Efektivitas Kelola Perikanan Adat sebagai Pendekatan Pengelolaan Perikanan Karang di Teluk Mayalibit, Raja Ampatid
dc.title.alternativeEffectiveness Evaluation of Customary Fisheries Management as a Reef Fisheries Management Approach at Mayalibit Bay, Raja Ampatid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordTURF-Reserveid
dc.subject.keywordMayalibit Bayid
dc.subject.keywordCustomary Fisheries Managementid
dc.subject.keywordcoral reefid


Files in this item

Thumbnail
Thumbnail
Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record