Kelembagaan Kemitraan Tebu Rakyat dalam Pembangunan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Hutan di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung
Date
2020-01-06Author
Asnani, Asnani
Dharmawan, Arya Hadi
Juanda, Bambang
Darusman, Dudung
Metadata
Show full item recordAbstract
Tebu merupakan tanaman komoditas andalan sebagai bahan baku gula, oleh
karena itu peningkatan produksi dalam negeri melalui kemitraan merupakan upaya
menekan tingginya nilai impor. Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi peran
stakeholder dalam pengembangan tebu rakyat melalui pola kemitraan; (2)
melakukan analisis struktur dan strategi nafkah rumah tangga petani kemitraan
tebu; (3) mengkaji variabel apa saja yang mempengaruhi keputusan petani
mengikuti kemitraan tebu; (4) mengkaji tata kelola kelembagaan kemitraan tebu di
wilayah perdesaan dan kawasan hutan. Metode penelitian menggunakan
pendekatan mix method kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan
melakukan survey terhadap 131 rumah tangga dan pendekatan kualitatif dengan
melakukan wawancara kepada stakeholder terkait, serta melakukan obervasi
informan maupun lapangan. Lokasi penelitian yaitu Kabupaten Way Kanan yang
melibatkan 8 kampung dan 1 kawasan hutan (Register 44). Analisis penelitian ini
menggunakan statistika dan Nvivo 12.
Kebijakan peningkatan produksi gula merupakan kebijakan nasional di
bawah kementerian Pertanian. Oleh karena itu pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten membentuk Tim Teknis Tebu yang bertugas dan berwenang untuk
memastikan program terkait pengembangan tebu berjalan sesuai dengan renstra
yang telah ditetapkan termasuk pengembangan kemitraan yang melibatkan
masyarakat. Pola kemitraan tebu terdiri dari kemitraan kerjasama (KSO), kemitraan
Mandiri dan kemitraan di Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil regresi logistik
multinomial dengan base outcome pola kemitraan HTI menunjukkan bahwa pada
pola kemitraan KSO terdapat 8 variabel yang mempengaruhi petani mengikuti
kemitraan yaitu jenis kelamin [perempuan], Jumlah tanggungan keluarga,
pekerjaan utama [petani], luas kepemilikan lahan, luas pengusahaan mitra tebu,
sumber informasi kemitraan [aparat desa] dan [perusahaan]. Sementara variabel
yang mempengaruhi petani mengikuti kemitraan pada tipe Mandiri terdiri dari 7
variabel yaitu pendidikan [SD-SMA], pekerjaan utama [petani], luas kepemilikan
lahan, jumlah kredit, luas pengusahaan mitra tebu, sumber informasi kemitraan
[aparat desa] dan [perusahaan].
Struktur nafkah petani bersumber dari pertanian non tebu, pertanian tebu,
Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) dan non farm. Garis kemiskinan rumah tangga
semua desa lokasi penelitian menurut pendekatan World Bank berada di bawah
garis kemiskinan. Kemitraan tebu merupakan strategi nafkah baru bagi masyarakat
desa sekitar perkebunan tebu. Penghasilan yang diperoleh petani sangat dipengaruhi
oleh luas lahan yang dimiliki, sedangkan petani yang tidak memiliki lahan
memperoleh penghasilan dengan menjadi buruh perkebunan. Jika dilihat dari
struktur pendapatan rata-rata rumah tangga, kemitraan tebu memberikan kontribusi
pada pendapatan rumah tangga namun lebih kecil dibandingkan pertanian bukan
tebu yang mereka kelola sendiri. Kemitraan tebu menyebabkan kesejahteran tidak
merata antara petani pengelola dan petani anggota kemitraan. Namun kemitraan
tebu menyebabkan ketergantungan ekonomi rumah tangga bagi petani karena
terbatasnya sumberdaya untuk mengelola lahan sendiri. Pola kemitraan HTI
memberikan dampak pada pembangunan kawasan hutan yaitu memberikan sumber
pendapatan bagi kelompok tani hutan dan upaya penyelesaian permasalahan
tenurial. Oleh karena itu kemitraan tebu berkontribusi dalam menggerakkan mesin
pertumbuhan ekonomi perdesaan dan kawasan hutan namun adanya manipulasi
kelembagaan sehingga menyebabkan munculnya masalah yang kompleks dan
berdampak pada ketidakadilan. Pola kemitraan Mandiri merupakan kemitraan
yang terbaik walaupun juga memiliki kelemahan. Semua pola kelembagaan
kemitraan tebu memiliki potensi untuk dikembangkan dengan cara penguatan
dan restrukturisasi kelembagaan berdasarkan karakter masing-masing pola
kemitraan. Sugarcane is a mainstay commodity crop as a raw material for sugar, therefore
increasing domestic production through partnerships is an effort to suppress high
import values. This study aims (1) to identify the role of stakeholders in the
development of smallholder sugarcane through a partnership pattern; (2) analyzing
the structure and strategy of household livelihoods for sugar cane farmer
partnerships; (3) examining what variables influence the farmers' decision to join
the sugarcane partnership; (4) examining the governance of the sugarcane
partnership institution in rural areas and forest areas. The research method used a
mix method approach of quantitative and qualitative. A quantitative approach by
conducting surveys of 131 households and a qualitative approach by conducting
interviews with relevant stakeholders, as well as conducting informant and field
observations. The research location was Way Kanan district which involved 8
villages and 1 forest area (Register 44). The analysis of this research uses statistics
and NVIVO 12.
The policy to increase sugar production is a national policy under the Ministry
of Agriculture. Therefore, the provincial and district governments form a Sugarcane
Technical Team which is tasked and authorized to ensure that programs related to
sugarcane development run according to the established strategic plan including the
development of partnerships that involve the community. The sugarcane
partnership pattern consists of cooperative partnerships (KSO), independent
partnerships and partnerships in Industrial Plantation Forests (HTI). The results of
the multinomial logistic regression with the base outcome of the HTI partnership
pattern show that in the KSO partnership pattern there are 8 variables that influence
farmers to participate in the partnership, namely gender [women], number of family
dependents, main occupation [farmer], land ownership area, area of cultivation of
sugar cane partners, source of information on partnerships [village apparatus] and
[company]. Meanwhile, the variables that affect farmers in participating in
partnerships in the Mandiri type consist of 7 variables, namely education [SDSMA],
main occupation [farmer], area of land ownership, amount of credit, area of
cultivation of sugar cane partners, sources of partnership information [village
officials] and [company].
The income structure of farmers comes from non-sugar cane farming, sugar
cane farming, Non-Timber Forest Products (HHNK) and non-farm. According to
the World Bank approach, the household poverty line for all study locations is
below the poverty line. Sugarcane partnerships are a new livelihood strategy for
rural communities around sugarcane plantations. The income earned by farmers is
strongly influenced by the area of land they own, while farmers who do not own
land earn income by becoming plantation labourers. When viewed from the
structure of the average household income, the sugarcane partnership contributes to
household income but is smaller than the non-sugarcane farming which they
manage themselves. Sugarcane partnership causes unequal welfare between
managing farmers and farmer members of the partnership. However, the sugarcane
partnership causes household economic dependence for farmers due to limited
resources to manage their own land. The HTI partnership pattern has an impact on
the development of forest areas, namely providing a source of income for forest
farmer groups and efforts to resolve tenurial problems. Therefore, the sugarcane
partnership contributes to driving the engine of economic growth in rural areas and
forest areas, but there is institutional manipulation that causes complex problems
and impacts on injustice The independent partnership pattern is the best partnership
although it also has weaknesses. All sugarcane partnership institutional patterns
have the potential to be developed by strengthening and restructuring the institution
based on the characteristics of each partnership pattern.