Show simple item record

dc.contributor.advisorWahyuni, Ekawati Sri
dc.contributor.advisorSjaf, Sofyan
dc.contributor.authorSampean
dc.date.accessioned2020-08-12T03:29:50Z
dc.date.available2020-08-12T03:29:50Z
dc.date.issued2020
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/103548
dc.description.abstractPenetapan Undang – Undang Desa No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa membuka babak baru tradisi berdesa Perbedaan menonjol dalam Undang – Undang Desa terletak pada asasnya, Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah berasaskan desentralisasi-residual berkedudukan sebagai pemerintahan di bawah sistem pemerintahan kabupaten/kota. Sementara, Undang – Undang Desa berkedudukan berasaskan rekognisi-subsidiaritas sebagai pemerintahan masyarakat. Undang – Undang Otoda menempatkan desa di bawah kontrol dan kewenangan pengaturan pemerintahan kota sedangkan Undang – Undang Desa baru ini memberikan kewenangan lebih luas untuk mengatur kelembagaan dan masyarakatnya sendiri. Undang – Undang ini pula memberikan hak politik kepada masyarakat mengatur dirinya berdasarkan asal – usulnya disebut rekognisi dan desa memiliki kewenangan lebih luas menyelenggarakan pemerintah disebut subsidiaritas Penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis konstruksi sosial pemerintah dan Komunitas adat dalam pengimplementasian asas rekognisi dan subsidiaritas Undang – Undang Desa terhadap komunitas Ammatoa Kajang dalam pembangunan, (2) Mengidentifikasi posisi Komunitas Adat Ammatoa Kajang dalam praktik – praktik pembangunan, (3) Menerangkan pola transformasi sosial yang berlangsung dari tahun 2004 – 2017 dalam komunitas Ammatoa Kajang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dan pendekatan yang digunakan yakni studi kasus, etnografi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dan Fokus Group Discussion (FGD). Sementara, data sekunder diperoleh melalui penelitian terdahulu, profil desa, dan Badan Pusat Statistik. Pemilihan informan dilakukan dengan purposive sampling dan snowball yang memahami implementasi Undang – Undang Desa dan komunitas adat Ammatoa Kajang. Dari kriteria tersebut, penelitian ini melibatkan 26 informan yang terdiri dari 14 orang anggota komunitas Adat Ammatoa Kajang, Pihak pemerintah terdiri dari 9 orang, dan Lembaga Swadaya Pemerintah terdiri dari 3 orang. Penelitian ini dimulai dari pada bulan Februari sampai bulan Mei tahun 2019 yang berlokasi di Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Hasil penelitian ini menemukan implementasi Undang – Undang Desa di Desa Tanah Towa menunjukkan konstruksi sosial rekognisi yang paradoks antara pihak pemerintah dan komunitas adat Ammatoa Kajang. Paradoks konstruksi sosial rekognisi ketika yakni (1) aspek budaya, negara tidak menjadikan pasang (pesan, wasiat, risalah, dan amanah) sebagai sistem pengetahuan dan praktik kebudayaan dalam kelembagaan pendidikan formal, (2) aspek politik negara masih mempertahankan warisan orde baru sebagai sistem tatanan lama tetap dipertahankan sebagai sistem pemerintahan integral antara pemerintahan formal (desa administratif) dan pemerintahan adat menyatu dalam satu bentuk pemerintahan yakni pemerintahan formal desa. Di dalam Undang – Undang Desa sendiri sebagai tatanan tradisi baru berdesa menempatkan kelembagaan adat di bawah sistem pemerintahan formal, (3) pada aspek ekonomi komunitas adat Ammatoa Kajang masih ditempatkan sebagai objek pembangunan dan pengembangan ekonomi dan bertentangan dengan ajaran pasang, (4) aspek hukum, komunitas adat Ammatoa Kajang masih memiliki sistem hukum yang masih hidup, (5) rekognisi diberikan melalui penguatan kohesivitas dan soliditas masyarakat melalui program – program gotong royong. Paradoks Konstruksi Sosial Keberadaan elite kognitif di dalam masyarakat menyebabkan gap atau kesenjangan kepentingan dalam proses pengaturan kemasyarakatan. Gap kepentigan dan realitas konstruksi sosial terhadap Undang – Undang Desa secara ekspresif tidak nampak ke atas permukaan. Diskursus Undang – Undang Desa khususnya asas rekognisi – subsidiaritas terkait perubahan status desa adat dan penyusunan regulasi dengan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2019 (Perda Bulukumba 9/2015) tentang pengukuhan, pengakuan, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang hanya diserap oleh kalangan elite kognitif yakni pemangku kepentingan yakni Cifor, Aman, dan Balang Institut sebagai inisiator dalam penyusunan Perda Bulukumba 9/2015. Wacana perubahan status Desa Tanah Towa menjadi desa adat berada pada pada level wahana primer yakni birokrasi dan penyelenggara pemerintahan formal. Pembentukan desa adat diiniasiasi oleh pemerintahan daerah, provinsi, dan pusat. Sementara, di pihak pemerintah desa masih kebingungan dalam menentukan arah perubahan status tersebut. Diskursus perubahan Desa Biasa menjadi Desa Adat belum sampai di level masyarakat. Ini menunjukkan bahwa konstruksi atas rekognisi – subsidiaritas dilakukan di level wahana primer saja di pemerintahan formal. Oleh karena itu, responds komunitas adat Ammatoa Kajang terhadap perubahan status desa tidak sampai pada keinginan berubah atau tidak berubah. Implementasi Undang – Undang Desa memposisikan komunitas adat Ammatoa Kajang Komunitas sebagai objek dari kebijakan. Posisi komunitas adat Ammatoa Kajang dalam praktik – praktik pembangunan dapat dilihat pertama, komunitas adat Ammatoa Kajang diposisikan sebagai objek kebijakan melalui konstruksi stigmatisasi atau stereotipe; kedua, komunitas adat Ammatoa Kajang diposisikan sebagai komunitas kecil yang bertahan dalam menjaga spirit yang nilai dan tatanan sosial yang dimiliki komunitas adat Ammatoa Kajang; ketiga, komunitas adat Ammatoa Kajang sudah terekonstruksi melalui praktik – praktik pembangunan dengan perubahan sikap kebudayaan. Proses transformasi sosial yang berlangsung di komunitas adat Ammatoa Kajang didasari dengan keterlekatan modus resiprokal, distribusi dan tata rumah tangga komunitas adat berdasarkan pada hubungan kekerabatan. Kohesivitas dan soliditas di antara anggota komunitas adat Ammatoa Kajang disebabkan karena hubungan kerabat antar rumah tangga dalam satu komunitas. Proses tranformasi yang berlangsung memiliki dua tipologi, transformasi sosial yang berlangsung di komunitas yang di Pantarang Embayya bersifat Involusi sedangkan Ilalang Embayya bersifat siklikal.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.subject.ddcSociologyid
dc.subject.ddcSocial Transformationid
dc.subject.ddc2019id
dc.subject.ddcBulukumbaid
dc.subject.ddcSulawesi Selatanid
dc.titleParadoks Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Konstruksi Dan Transformasi Sosial Komunitas Adat Ammatoa Kajangid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordUndang – Undang Desaid
dc.subject.keywordKonstruksi Sosialid
dc.subject.keywordPosisi sosialid
dc.subject.keywordTransformasi sosialid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record