Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Hiu Lanjaman (Carcharhinus falciformis) dan Hiu Martil (Sphyrna lewini) di Tanjung Luar Kabupaten Lombok Timur
View/ Open
Date
2019Author
Wahyudin, Iman
Kamal, Mohammad Mukhlis
Fahrudin, Achmad
Boer, Mennofatria
Metadata
Show full item recordAbstract
Hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis) dan hiu martil (Sphyrna lewini)
merupakan komoditas perikanan yang memiliki peran penting bagi masyarakat
Tanjung Luar Kabupaten Lombok Timur. Kedua spesies tersebut berdasarkan
data survey yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Denpasar tahun 2016, termasuk dua spesies yang paling dominan tertangkap oleh
nelayan Tanjung Luar. Pada tahun 2012, IUCN mengelompokkan kedua spesies
tersebut ke dalam spesies yang terancam punah dan status perdagangannya masuk
dalam apendiks II CITES. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspekaspek
biologi, bioekonomi, kondisi eksisting dan status keberlanjutan dalam
pengelolaan sumberdaya serta desain model pengelolaan sumberdaya perikanan
hiu lanjaman dan hiu martil sebagai dasar rujukan dalam pengambilan keputusan
dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan hiu yang berkelanjutan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode bulan Maret-Agustus
2018, terdapat 2.754 ekor hiu lanjaman dan dan 382 ekor hiu martil yang
didaratkan di TPI Tanjung Luar. Hiu lanjaman (C. falciformis) yang didaratkan
umumnya memiliki panjang total berkisar antara 37,3–282,0 cm dan berat
berkisar antara 1– 86 kg. Sedangkan hiu martil (S. lewini) memiliki panjang total
berkisar antara 48-309 cm dan berat berkisar antara 0,3–168,0 kg.
Pola pertumbuhan hiu lanjaman (C. falciformis) bersifat allometrik positif,
dimana pertambahan bobotnya lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan
panjang. Sedangkan hiu martil (S.lewini) memiliki pola pertumbuhan yang
bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan
pertambahan bobot. Berdasarkan tingkat kematangan clasper hiu lanjaman lebih
banyak berada pada fase Full-Calcified (FC), dengan persentase 46,79%.
Sedangkan hiu martil juga berada pada fase yang sama atau Full-Calcified (FC)
dengan persentase sebesar 45,90%. Sementara itu, untuk hiu lanjaman betina,
berdasarkan tingkat kematangan seksualnya 75,93% didominasi oleh hiu yang
belum dewasa atau belum matang secara seksual (immature). Sedangkan untuk
hiu martil betina 53,58% didominasi oleh hiu yang belum dewasa atau belum
matang secara seksual (immature).
Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, dengan menggunakan pendekatan
model surplus produksi Fox menunjukkan bahwa jumlah produksi dan effort
aktual hiu lanjaman (C. falciformis) masih berada dibawah jumlah produksi dan
effort pada kondisi MSY dan MEY. Ini mengindikasikan bahwa tingkat
eksploitasi yang dilakukan nelayan Tanjung Luar belum mengalami overfishing
baik secara biologi (biological overfishing) maupun secara ekonomi (economic
overfishing). Namun kalau dicermati perbandingan tingkat effort pada kondisi
aktual dengan tingkat effort pada kondisi MSY terhadap jumlah produksi yang
dihasilkan terlihat bahwa tingkat produktivitas yang dihasilkan pada kondisi
aktual tergolong tinggi dan hampir mendekati jumlah produksi pada kondisi MSY,
meskipun dengan tingkat effort yang lebih kecil.
Sedangkan untuk hiu martil (S. lewini), berdasarkan hasil analisis
bioekonomi dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Schnute
menunjukkan bahwa jumlah produksi aktual masih berada di bawah jumlah
produksi pada kondisi MSY dan MEY. Ini berarti bahwa dari sisi jumlah
produksi, eksploitasi yang dilakukan nelayan Tanjung Luar belum mengalami
overfishing (biological overfishing). Namun dilihat dari effort yang digunakan
dalam melakukan aktivitas penangkapan, tingkat effort yang digunakan nelayan
Tanjung Luar tergolong sangat tinggi karena sudah melebihi tingkat effort pada
kondisi MEY, MSY bahkan Open Access. Ini menunjukkan bahwa aktivitas
penangkapan hiu martil (S. lewini) yang dilakukan nelayan Tanjung Luar sudah
mengalami economic overfishing, dimana ada pengalokasian faktor produksi
melebihi dari yang seharusnya untuk menghasilkan jumlah produksi tertentu
dalam kegiatan penangkapan hiu martil (S. lewini) di Tanjung Luar.
Berdasarkan hasil analisis optimasi dinamik, jika dilihat dari biomassa dan
jumlah produksinya baik untuk hiu lanjaman (C. falciformis) maupun hiu martil
(S. lewini) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah produksi dan
biomassa sejalan dengan peningkatan nilai discount rate. Hal ini karena tingkat
discount rate yang tinggi akan memacu terjadinya peningkatan laju eksploitasi
terhadap sumberdaya menjadi semakin tinggi dan akan memperbesar tekanan
terhadap sumberdaya. Tingkat eksploitasi yang berlebihan dalam jangka panjang
akan berdampak pada penurunan nilai rente ekonomi karena biaya yang harus
dikeluarkan akan semakin besar dan tidak sebanding dengan hasil produksi yang
diperoleh.
Hasil simulasi model dinamik untuk hiu lanjaman (C. falciformis) dan hiu
martil (S. lewini) dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi Fox
dan schnute, kedua spesies mengindikasikan adanya kecenderungan penurunan
biomassa/stok akibat upaya pemanfaatan yang berlebihan. Namun kecenderungan
penurunan biomassa ini lebih signifikan terjadi pada hiu martil dibandingkan
dengan hiu lanjaman. Hal ini karena tekanan penangkapan pada hiu martil lebih
besar dibandingkan dengan tekanan penangkapan pada hiu lanjaman..
Beberapa opsi pengelolaan yang diperlukan untuk menjaga kelestarian dan
keberlanjutan perikanan hiu di Tanjung Luar Kabupaten Lombok Timur, di masa
mendatang diantaranya adalah penghentian aktivitas penangkapan (Moratorium),
pembatasan upaya penangkapan, ukuran hasil tangkapan dan pengaturan wilayah
penangkapan (fishing ground), serta menetapkan program prioritas yang
mendukung keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya perikanan hiu
lanjaman dan hiu martil melalui diversifikasi usaha perikanan, penyediaan
alternatif pendapatan bagi nelayan, penegakan aturan terkait kesesuaian
dokumen pelayaran, pengunaan alat tangkap yang selektif, sinergitas kebijakan
dan kelembagaan pengelolaan perikanan, penyusunan dan penetapan Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP) sebagai acuan dalam pengelolaan perikanan,
membuka akses pendidikan yang luas bagi anak-anak nelayan, mendorong
partisipasi keluarga dalam pemanfaatan hasil perikanan dan melarang menangkap
atau melepaskan kembali spesies ETP jika tertangkap
Kata kunci : biological overfishing, economic overfishing, discount rate, fullcalcified,
non- calcified, non-full calcified,
Collections
- DT - Fisheries [725]