Dayasaing dan Ekspor Kopi Indonesia melalui Pendekatan Sistem Dinamis
View/ Open
Date
2019Author
Rosiana, Nia
Nurmalina, Rita
Winandi, Ratna
Rifin, Amzul
Metadata
Show full item recordAbstract
Pertumbuhan produksi kopi dunia (1.18 persen per tahun) lebih lambat
dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi kopi dunia (2.01 persen per tahun)
dalam kurun waktu 2012/2013-2016/2017. Hal ini disebabkan oleh menurunnya
produksi di negara-negara penghasil kopi dunia seperti Indonesia. Penurunan
produksi biji kopi Indonesia disebabkan oleh beberapa hal diantaranya sebagian
besar usia tanaman telah berumur lebih dari 25 tahun sehingga menyebabkan
penurunan produktivitas. Menurut FAO (2017), produktivitas Indonesia berada
diurutan terakhir dari sepuluh produsen utama dunia. Adanya penurunan luas areal
kopi sebesar 0.29 persen per tahun dalam kurun waktu 2010 hingga 2014 diduga
menjadi penyebab menurunnya produksi biji kopi Indonesia. Adapun
permasalahan lainnya yaitu rendahnya mutu biji kopi Indonesia namun disisi lain
mutu menjadi penentu dayasaing. Permasalahan disisi produksi tersebut akan
berdampak pada keberlangsungan industri pengolah dalam negeri dan pasar luar
negeri. Adanya peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi kopi per
kapita masyarakat Indonesia akan meningkatkan konsumsi domestik sehingga
diperlukan kontinuitas pasokan bahan baku. Hal ini mengakibatkan persaingan
bahan baku baik dengan konsumen domestik maupun konsumen luar negeri.
Permasalahan lainnya yaitu pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas komoditas biji kopi yang diekspor. Namun,
penerapan PPN akan meningkatkan biaya ekspor yang berdampak pada penurunan
volume ekspor. Selain itu, adanya biaya PPN yang dibebankan pada petani
melalui penurunan harga beli berdampak pada rendahnya harga didalam negeri
sehingga insentif yang diterima petani semakin menurun. Berdasarkan
permasalahan tersebut akan berdampak pada jumlah biji kopi yang diekspor.
Berdasarkan UN Comtrade (2017), bahwa pertumbuhan volume ekspor biji kopi
Indonesia berada diurutan ke sembilan dari sepuluh negara pengekspor utama
kopi dunia. Pertumbuhannya hanya mencapai 0.08 persen per tahun selama kurun
waktu 2008-2016.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN),
pemerintah memiliki target peningkatan volume ekspor biji kopi Indonesia
sebesar 24.3 persen atau sebesar 462 497 421 kg pada tahun 2025 (Kementan
2015). Di sisi lain pemerintah menargetkan peningkatan konsumsi per kapita
sebesar 1.5 kg per tahun tahun 2019 yang tercantum dalam Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) (Kemenperin 2015). Selain itu,
pemerintah juga menargetkan peningkatan pendapatan petani sebesar
Rp 27 675 000 pada tahun 2020 yang tercantum dalam Strategi Induk
Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045 (Kementan 2014). Maka, penelitian ini
bertujuan untuk a) menganalisis dayasaing serta dinamika ekspor kopi Indonesia
di pasar internasional, b) membangun model ekspor kopi Indonesia dengan
pendekatan sistem dinamis, c) merumuskan alternatif kebijakan yang dapat
dilakukan dalam upaya peningkatan ekspor kopi Indonesia dan pendapatan petani
disamping mengoptimalkan konsumsi biji kopi dalam negeri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dayasaing kopi Indonesia
berfluktuasi dan mengalami pergeseran posisi pasar ekspor yang dinamis di pasar
kopi dunia. Meskipun kopi Indonesia saat ini masih berdayasaing, namun pangsa
ekspor kopi Indonesia di pasar internasional kurun waktu 1990 hingga 2016
menurun sebesar 36 persen. Hal ini berdampak pada posisi dan dayasaing
Indonesia di pasar internasional. Oleh karena itu, dibangun model ekspor kopi
Indonesia yang dapat mengidentifikasi dinamika permasalahan serta kebutuhan
dari stakeholder dalam pengembangan kopi Indonesia. Pada kondisi aktual terjadi
penurunan volume ekspor, pangsa nilai ekspor biji kopi Indonesia, dan
pendapatan petani. Maka upaya yang diperlukan untuk mencapai peningkatan
ekspor biji kopi Indonesia dan peningkatan pendapatan petani dilakukan melalui
beberapa skenario kebijakan diantaranya peningkatan produktivitas (skenario 1),
peningkatan luas areal (skenario 2), penghapusan PPN (skenario 3), penurunan
laju pertumbuhan penduduk (skenario 4), dan peningkatan laju konsumsi per
kapita (skenario 5). Namun hasil menunjukkan bahwa dengan dilakukan setiap
skenario kebijakan dari skenario 1, 2, 3 dan 4 bahwa target peningkatan ekspor
biji Indonesia dan pendapatan petani belum tercapai. Oleh karena itu, diperlukan
kebijakan alternatif lainnya untuk mendukung upaya tersebut.
Kebijakan alternatif lainnya dilakukan melalui penggabungan beberapa
skenario diantaranya skenario 6 (gabungan skenario 1 dan 2), skenario 7
(gabungan skenario 1, 2, 3), skenario 8 (gabungan skenario 1, 2, 3, 5), skenario 9
(gabungan skenario 1, 2, 3, 4). Hasil menunjukkan bahwa skenario 6, 7, 9 telah
memenuhi target peningkatan ekspor yang ditetapkan pemerintah sedangkan
skenario 8 sebaliknya. Namun, dari ke empat skenario alternatif kebijakan (6, 7, 8,
9) belum memenuhi target peningkatan pendapatan petani sesuai dengan SIPP.
Artinya, pendapatan petani kopi rakyat Indonesia masih rendah bila dibandingkan
dengan pendapatan petani perkebunan rakyat lainnya seperti petani kakao.
Berdasarkan hasil analisis bahwa penerapan skenario 9 (intensifikasi,
ekstensifikasi, penghapusan PPN, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk)
merupakan skenario terbaik dari seluruh skenario kebijakan. Hal ini dikarenakan
volume ekspor, pangsa nilai ekspor, dan pendapatan petani yang diperoleh
tertinggi dibandingkan skenario lainnya sedangkan tren daya serap biji kopi
industri dalam negeri meningkat dengan pertumbuhan yang lambat.
Maka, upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi
diantaranya : a) peningkatan produktivitas dan mutu melalui teknologi introduksi,
serta b) peningkatan serta pemanfaatan luas areal serta luas panen. Peningkatan
produktivitas dan mutu dapat dilakukan melalui teknologi introduksi seperti
penggunaan bibit unggul yang sesuai agroklimat setiap wilayah di Indonesia,
peremajaan, pemupukan, pemeliharaan (pemangkasan), penyiangan, panen yang
sesuai dengan anjuran yang didasarkan pada hasil riset. Selain itu diperlukan
pemberdayaan dan penyuluhan bagi petani dalam meningkatkan kualitas sumber
daya dalam merespon adanya introduksi teknologi terbaru guna peningkatan
produktivitas kopi. Sedangkan upaya peningkatan serta pemanfaatan luas areal
dan luas panen dapat dilakukan pada lahan suboptimal. Selain itu dapat dilakukan
pada lahan agroforestri berbasis kopi melalui pengelolaan program Hutan
Kemasyarakatan (HKm) di dalam hutang lindung. Perluasan lahan dapat
dilakukan di Kalimantan Tengah dan Wilayah Indonesia Timur.
Upaya meningkatkan pendapatan petani tidak hanya melalui peningkatan
produktivitas tetapi juga melalui peningkatan mutu pasca panen. Peningkatan
produktivitas masih berpotensi untuk ditingkatkan sejalan dengan penggunaan
varietas unggul arabika dan robusta dengan rata-rata produktivitas potensial
mencapai 1.76 ton/ha. Selain itu, peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan
melalui peningkatan mutu pada kegiatan pasca panen yang sesuai. Kopi
gelondong basah dari lahan harus segera diolah maksimal 10 jam setelah
pemanenan lalu dilakukan sortasi dengan tujuan untuk memisahkan kotorankotoran
seperti abu, kulit tanduk, dan gelondongan (AKTG). Selain itu dilakukan
pemisahan biji kopi berdasarkan ukuran dan cacat biji (mutu). Semakin rendah
tingkat cacat yang dihasilkan maka semakin tinggi persentase mutu. Selain itu,
kegiatan pengeringan biji kopi dilakukan hingga kadar air mendekati 12 persen.
Maka, harga biji kopi yang diterima petani akan lebih tinggi sehingga mendorong
peningkatan pendapatan petani.
Upaya yang dapat dilakukan dalam merespon kebutuhan konsumen baik
pasar dalam negeri maupun luar negeri diantaranya a) peningkatan mutu yang
didukung oleh kelembagaan (kemitraan) pasar dan sistem pemasaran. Maka,
perlunya kemitraan yang dapat menguntungkan petani guna keberlanjutan
pasokan kopi Indonesia. Selain itu, upaya merespon tuntutan sertifikasi global
untuk menjamin mutu kopi maka diperlukan keterangan asal-usul kopi melalui
peningkatan Indikasi Geografis (IG), b) peningkatan kapasitas pengolahan dalam
negeri sebagai respon meningkatnya konsumsi domestik sehingga daya serap biji
kopi dalam negeri dapat optimal.
Selain itu, upaya peningkatan dayasaing dan ekspor kopi Indonesia di
pasar internasional disamping meningkatkan produksi melalui dapat dilakukan
melalui penghapusan PPN ekspor biji kopi, perbaikan harga biji kopi dalam negeri
melalui standarisasi mutu biji kopi serta perluasan pasar ekspor ke negara-negara
yang memiliki GDP riil per kapita tinggi, negara yang tidak ketat OTA, negara
pengimpor tradisional, dan negara dengan tingkat konsumsi kopi tinggi.