Etnobiologi Masyarakat Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi.
View/ Open
Date
2019Author
Prasetyo, Budi
Chikmawati, Tatik
Walujo, Eko Baroto
Zuhud, Ervizal AM
Metadata
Show full item recordAbstract
Masyarakat Osing sebagai penduduk asli desa-desa di wilayah Banyuwangi
hidup cukup makmur dan sejahtera karena kesuburan tanahnya. Berkurangnya
wilayah sebaran suku Osing yang sekarang hanya terkonsentrasi di 9 kecamatan
dikhawatirkan dapat melunturkan nilai tradisi budaya bertani yang terkenal
mumpuni dan ulet dalam bercocok tanam. Masyarakat Osing hidup di tengah
pesatnya perkembangan IPTEK dewasa ini. Dalam konteks etnobiologi eksistensi
masyarakat Osing cukup menarik untuk diteliti mengingat dalam mengelola
lingkungan memiliki pola-pola yang unik terutama terkait dengan penataan ruang
lingkungannya sebagai bentuk strategi beradaptasi untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Keunikan ini tercermin dalam budaya mereka ketika
mengelola dan memanfaatkan sumber daya hayati beserta lingkungannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis pengetahuan tradisional masyarakat suku
Osing tentang a) unit-unit lanskap yang dihasilkan berkaitan dengan kegiatan
bertani; b) pengenalan beragam nama spesies tanaman dan pemanfaatannya untuk
memenuhi kebutuhan hidup; c) pemanfaatan dan sistem pengelolaan spesies hewan;
d) arah pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat suku Osing. Penelitian
menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif dengan berdasarkan pada dua
pendekatan, yaitu kajian emik dan etik. Kepentingan tiap elemen lanskap dihimpun
dan dinilai melalui Multidisciplinary Lanscape Assessment (MLA) dengan cara
pemberian skor menggunakan metode kerikil/Pebble Distribution Method (PDM)
pada Focus Group Discussion (FGD). Data PDM diambil dari informan kunci dan
responden. Penentuan informan kunci berdasarkan snowball sampling sedangkan
responden dipilih berdasarkan purposive sampling. Responden terdiri dari
perempuan dan laki-laki dengan masing-masing memiliki tiga tingkatan usia yaitu
11-17 tahun, 18-45 tahun, dan ≥ 46 tahun. Analisis vegetasi penghitungan luasan
plot dilakukan dengan cara mengukur langsung luasan satuan unit lanskap dengan
mengacu pada data luas objek pajak di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
Tahun 2015. Melalui metode ini, setiap spesies diketahui nilai kerapatan relatif
(Kr), nilai persebaran relatif (Fr), serta indeks nilai penting (INP). Analisis nilai
kepentingan spesies tumbuhan menggunakan Local User’s Value Index (LUVI)
dan Indeks Cultural Significance (ICS).
Hasil interaksi masyarakat dengan lingkungannya melalui aktivitas bertani
membuahkan empat tipe unit lanskap dengan karakter yang berbeda yakni:
pekarangan, sawah, kebun, dan tegal. Secara umum masyarakat suku Osing di tiga
desa penelitian berpendapat bahwa pekarangan (42.82) merupakan unit lanskap
yang paling penting dalam kehidupan mereka, kemudian disusul sawah (26.05),
kebun (16.12), dan tegal (15.01). Struktur komunitas tanaman yang terdapat di tiga
desa lebih mencerminkan dominansi spesies yang ada, di lanskap pekarangan
spesies tanaman yang mendominasi antara lain gedang lempeneng, gedang ketip,
rambutan, dan jambu air. Lanskap sawah didominasi oleh pari, sedangkan spesies
yang mendominasi di lanskap kebun di antaranya kerambil, duren, gedang sobo,
dan jajang benel. Lanskap tegal didominasi oleh gedang sobo, bayem, gedang
lempeneng, dan gedang emas.
Jumlah spesies tanaman yang dikenal oleh masyarakat Osing sebanyak 89
spesies dan dikelompokkan ke dalam sepuluh kemanfaatan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Persepsi gender di tiga desa terhadap penilaian spesies
tanaman yang memiliki nilai PDM tertinggi dan termasuk dalam kelompok sepuluh
kemanfaatan sebagai berikut, untuk memenuhi kebutuhan atas bahan pangan
pokok, obat-obatan, buah-buahan, dan kayu bakar hasil penilaian laki-laki lebih
tinggi daripada penilaian kaum perempuan. Kaum perempuan memberikan
penilaian lebih tinggi daripada laki-laki pada tanaman sebagai bahan konstruksi
bangunan, dan ritual adat, sedangkan untuk kebutuhan tanaman hias, sayuran,
bumbu dapur; sedangkan pada pemanfaatan tanaman untuk peralatan hasil
penilaian antara laki-laki dan perempuan relatif sama. Berdasarkan nilai LUVI dan
ICS diketahui bahwa semua pemanfaatan tanaman yang dilakukan untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sesuai dengan budaya dan adat istiadat
suku Osing.
Masyarakat Osing mengenal sebanyak 91 spesies hewan dari 66 famili dan
12 kelas. Dari nilai total kekayaan hewan tersebut jumlah sebaran spesies paling
banyak adalah kelas Aves (24 spesies), selanjutnya berturut-turut diikuti di
bawahnya oleh Insecta (19 spesies), Mammalia (16 spesies), Actinopterygii (11
spesies), Reptilia (9 spesies), dan 7 kelas lainnya memiliki nilai sebaran spesies di
bawah 4, yaitu Arachnida, Amphibia, Clitellata, Gastropoda, Malacostraca,
Osteichtyes, serta Sauropsida. Sebanyak 49% spesies hewan berstatus
dibudidayakan dan sisanya (51%) hidup liar. Spesies hewan tersebut juga memiliki
beragam kemanfaatan bagi masyarakatnya, di antaranya bermanfaat sebagai a)
asupan dasar protein hewan, b) hama tanaman budidaya, c) kebutuhan akan
kesenangan, d) bahan obat tradisional, e) keperluan ritual adat, f) pemangsa hewan
ternak, dan g) pengurai bahan organik.
Pada saat ini kondisi sosial masyarakat Osing telah mandiri dalam hal
kebutuhan atas pangan, sandang, dan tempat tinggal. Percepatan pembangunan
berkelanjutan masyarakat Osing diperlukan dan akan terealisasi apabila didukung
dan didampingi oleh peran para lulusan Perguruan Tinggi sesuai kompetensi yang
diperlukan oleh desa. Bekerja secara sinergi antara peran pemimpin lingkungan
lokal (Kepala Desa) dengan para sarjana dari Perguruan Tinggi untuk merancang
dan membangun desa, di antaranya dengan cara membangunan manusia seutuhnya
melalui pemberdayaan manusia berbasis peningkatan dan perbaikan moral,
pendidikan, dan kesehatan. Solusi lainnya adalah melalui pembuatan program kerja
yang diarahkan agar terbentuk tempat tujuan ekowisata baru, dengan mengadopsi
konsep konservasi sumberdaya hayati dan lingkungan berbasis budaya lokal.