dc.description.abstract | Smart city atau kota pintar adalah konsep pemanfaatan teknologi informasi
untuk mendorong pemerintah menciptakan layanan yang mampu meningkatkan
kualitas hidup masyarakatnya. Di Indonesia sendiri penerapan smart city telah
banyak diimplementasikan oleh berbagai kota besar seperti Jakarta, Bogor,
Surabaya dan Bandung. Namun berdasarkan laporan IESE cities in Motion index
pada tahun 2016, Indonesia yang diwakilkan Jakarta hanya berada pada posisi
156 dari 180 negara yang berhasil menerapkan konsep smart city. Menurut
Kominfo (2016) masih terdapat kesenjangan teknologi mengenai cara pandang
masyarakat terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam
beberapa tahun terakhir, penelitian yang menunjukan rendahnya tingkat literasi
teknologi informasi dan komunikasi masyarakat juga telah banyak dilkakukan.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan salah satu solusi yang
dapat dilakukan adalah dengan memberikan masyarakat pembekalan mengenai
digital literacy.
Digital literacy merupakan kemampuan penggunakan teknologi dan
informasi dalam berbagai format maupun berbagai sumber yang berasal dari
piranti digital. National Library New Zeland (2016) menjelaskan bahwa untuk
menciptakan masyarakat yang memiliki kemampuan digital literacy dibutuhkan
pendekatan yang terkoordinasi dan menyeluruh. Kelompok yang terampil
diperlukan untuk melakukan hal ini dan perpustakaan adalah salah satu solusi
terbaik untuk menjawab permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
merumuskan guideline pelatihan digital literasi di perpustakaan untuk membentuk
masyarakat yang melek terhadap teknologi, sehingga konsep smart city yang telah
dicanangkan oleh pemeritah dapat berjalan dengan maksimal. Penelitian ini juga
diharapkan menjadi strategi pemerintah dalam mengurangi kesenjangan
penggunaan teknologi digital antara masyarakat kota dengan masyarakat
kabupaten.
Pelatihan didesain dengan metode blended learning yaitu menggabungkan
pembelajaran tatap muka dan memanfaatkan jaringan internet sebagai sarana
penyampaian bahan ajar (modul) yang telah diubah ke format digital. Pelatihan ini
ditunjukkan untuk masyarakat dengan kelompok usia 26-35 tahun dan kelompok
usia 36-45 tahun. Penyelenggara pelatihan adalah perpustakaan pemerintah,
perpustakaan swasta atau organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang
literasi. Topik pelatihan mengacu pada BC’s Digital literacy framework (2015)
yaitu Research and Information Literacy, Critical Thinking, Digital Literacy,
Creativity and Innovation, Communication and Collaboration, dan Technology
Operation and Concepts.
Terdapat 3 tahapan utama dalam penelitian ini yaitu, merumuskan guideline,
membuat prototype e-learning dan evaluasi produk kepada pengguna. Pada
tahapan pertama yaitu perumusan guideline, terdiri dari pembuatan Garis-garis
Besar Pelatihan (GGBP) dan modul digital literacy. GGBP telah disusun dengan
sistematik yakni mencakup deskripsi materi, tujuan, pokok bahasan, metode dan
media, serta sumber bahan yang diperlukan untuk pelatihan. Proses pembelajaran
pada GGBP membutuhkan 7 sesi atau 840 menit pembelajaran tatap muka.
Metode pembelajaran yang digunakan adalah ceramah, diskusi, praktek dan tugas.
Indikator keberhasilan yang diharapkan adalah peserta pelatihan memiliki
kemampuan untuk menemukan informasi, mengakses informasi, mengevaluasi
informasi, berfikir kritis, kreatif dan inovatif, paham konsep teknologi serta
menggunakan informasi sesuai etika dan isu yang berlaku di dunia digital (Digital
Citizenship).
Modul pada guideline disusun dengan studi literatur. Terdapat 6 modul
dengan topik : literasi informasi (5 halaman), berpikir kritis, pemecahan masalah
dan membuat keputusan (4 halaman), warga digital (10 halaman), kreativitas dan
inovasi (4 halaman), komunikasi dan kolaborasi (3 halaman) dan konsep
pengoperasian teknologi (6 halaman). Setiap modul berisi pembahasan materi,
contoh-contoh soal dan referensi. Penulis juga menyusun contoh materi ajar
dalam bentuk PDF dan PPT untuk modul Warga Digital dengan topik
Cyberbullying. Selanjutnya, penyusunan guideline dan modul menunjukan alur
pelatihan yang terdiri dari (1) Mengadakan pre-test online sebagai evaluasi awal
untuk mengetahui kemampuan peserta sebelum mengikuti pelatihan, (2)
Melaksanakan pelatihan yang terdiri dari penyampaian teori sebagai pengantar
pembelajaran, praktek penggunaan teknologi, menganalisa kasus-kasus dalam
lingkungan digital, dan menciptakan sebuah produk dari media digital. dan (3)
Pada akhir setiap sesi peserta melaksanakan kuis akhir menggunakan platform elearning
digital literacy.
Pada tahapan kedua yakni membangun prototype e-learning dengan aplikasi
Moodle. Terdapat 4 menu yang disediakan untuk pengguna yaitu log-in, course,
lesson dan quiz. Akses e-learning difokuskan pada tiga pengguna yaitu admin,
peserta dan pengajar. Perbedaan akses terletak pada tools registrasi pengguna
yang hanya bisa lakukan oleh admin, menu upload dan membuat kuis untuk
pengajar, serta menu unduh materi dan mengerjakan kuis untuk peserta pelatihan.
Tahapan terakhir yaitu mengevaluasi guideline dan e-learning. Evaluasi
dilakukan dengan analisis diskriptif. Pengguna yang dipilih sebanyak 10
responden diminta uji coba fitur e-learning dan mengisi kuesioner yang berisi
pertanyaan mengenai efektifitas pelatihan. Selanjutnya data kuesioner diolah
secara manual menggunakan skala likert untuk melihat reaksi pengguna.
Pertanyaan pada kuesioner disusun berdasarkan model CIPP yaitu konteks
(Context), masukan(Input), proses(Process) dan hasil (Product). Hasilnya, secara
keseluruhan tanggapan responden adalah positif atau indikator pelatihan dianggap
memuaskan. Hasil evaluasi juga menunjukkan jika masih terdapat beberapa
kekurangan yaitu, masih sedikitnya format materi ajar pada aplikasi seperti
gambar, video, dan audio serta kurangnya waktu penyelenggaraan pelatihan. | id |