Show simple item record

dc.contributor.advisorNurrochmat, Dodik Ridho
dc.contributor.advisorNugroho, Bramasto
dc.contributor.advisorDarusman, Dudung
dc.contributor.advisorCasse, Thorkil
dc.contributor.authorRochmayanto, Yanto
dc.date.accessioned2019-05-17T07:22:05Z
dc.date.available2019-05-17T07:22:05Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/97411
dc.description.abstractKejelasan property rights yang dapat mengendalikan deforestasi merupakan syarat perlu bagi keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia. Namun, tidak ada argumen teoritis maupun empiris yang menyatakan bahwa rezim property rights tertentu lebih baik dari rezim yang lain dalam melestarikan hutan. Deforestasi sangat terkait dengan atau merupakan konsekuensi dari lemahnya hak atas hutan. Sayangnya, upaya untuk penurunan deforestasi dan hubungannya dengan penyiapan REDD+ di Indonesia melalui pendekatan pengaturan property rights sangat lemah. Pertanyaan penelitian utama dalam studi ini adalah bagaimana rezim property rights hutan saat ini sesuai untuk kerangka kerja REDD+. Oleh karena itu studi ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaturan hak atas hutan dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia dan pengaruhnya terhadap deforestasi, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan property rights pada kelembagaan pengelolaan hutan lokal dalam konteks penurunan deforestasi, dan (3) menilai efektivitas hak atas hutan yang berlaku saat ini untuk kerangka kerja REDD+. Penelitian dilakukan di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia, difokuskan di dua kelembagaan hutan lokal, yaitu: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berau Barat, dan Hutan Desa (HD) Merabu. Data dikumpulkan dengan pendekatan survey melalui wawancara mendalam terhadap informan kunci di tingkat kabupaten dan desa, serta survey rumah tangga di tiga desa terpilih. Deforestasi historis dihitung dengan analisis spasial menggunakan citra satelit. Data penutupan lahan yang digunakan adalah tahun 2000, 2006, 2009, 2012, dan 2015. Analisis data menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, yaitu analisis isi, analisis kelembagaan, analisis mata pencaharian, analisis stakeholder, dan sistem skor dalam penilaian kemampuan pengendalian adisionalitas, kebocoran, dan kepermanenan. Sintesis dilakukan dengan pendekatan systematic review, yaitu metode untuk melakukan penarikan kesimpulan untuk menghasilkan temuan penelitian yang komprehensif. Studi ini memberikan tiga kesimpulan utama yang diikuti oleh masing-masing rekomendasi kebijakan. Pertama, kerangka hukum nasional Indonesia belum cukup bekerja untuk mengendalikan deforestasi. Sumber kelemahannya adalah isi peraturan perundangan itu sendiri, dan kontestasi aturan dengan tingkat tapak. Analisis isi pada 29 peraturan perundangan menemukan bahwa terdapat inkonsistensi dalam definisi hutan, kesalahan interpretasi pada penetapan hutan dan kawasan hutan, pearturan yang tidak dapat diimplementasikan dalam pengakuan hutan hak sebagai kawasan hutan, pembatasan akses yang tidak relevan, dan tidak adanya pengaturan pengelolaan hutan rakyat dan hak alterasi. Pengalaman dari tiga desa terpilih menunjukkan bahwa terdapat tiga pola tindakan masyarakat dalam memperlakukan hutan. Pertama adalah kongruensi antara de facto dan de jure bundle of rights. Hal tersebut mengindikasikan kuatnya hak atas hutan, dan menyebabkan hutan dapat terjaga dengan baik. Yang kedua v adalah lemahnya hak atas hutan, diindikasikan dengan klaim ganda kepemilikan yang disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan perundangan dan hukum adat yang diakui oleh masyarakat. Yang ketiga adalah sangat lemahnya property rights, diindikasikan dengan sangat dekatnya dengan situasi open akses. Dua situasi terakhir menggambarkan ketidaksamaan de jure dan de facto bundle if rights, dan berpotensi menyebabkan deforestasi. Kedua, studi ini mengkonfirmasi bahwa property rights terhubung dengan deforestasi dimediasi oleh suatu interaksi yang kompleks diantara tiga faktor (hukum dan peraturan, pengaturan kelembagaan, dan preferensi ekonomi). Interaksi tersebut menghasilkan kondisi hutan tertentu. Kontestasi antara aturan formal dan informal memungkinkan dapat dicapainya kelestarian hutan, asalkan aturan lokal cenderung pada tujuan perlindungan dan konservasi. Hanya saja preferensi ekonomi memainkan peranan penting bagaimana property rights bekerja mengendalikan deforestasi. Ketiga, konstelasi hak atas hutan di HD Merabu cukup efektif dalam mencapai outcome kontekstual bagi kerangkan kerja REDD+, diindikasikan dengan kapasitasnya dalam mengendalikan aditionalitas, kebocoran, dan kepermanenan. Rezim property rights hutan yang sama menunjukkan perbedaan kapasitas dalam mendukung kerangka kerja REDD+, tergantung pada tipe manajemennya. Tipe kelembagaan pengelolaan hutan memainkan peran penting dalam dalam membentuk kapasitas pengendalian adisionalitas, kebocoran, dan kepermanenan. Hak atas hutan pada kelembagaan hutan lokal dalam bentuk devolusi lebih efektif bagi kerangka kerja REDD+ dari pada bentuk desentralisasi kelembagaan hutan. Namun demikian, kedua kelembagaan hutan lokal tersebut belum cukup untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengendalian adisionalitas, kebocoran, dan kepermanenan. Temuan tersebut berimplikasi pada rekomendasi kebijakan sebagai berikut: (1) perlunya perbaikan kebijakan nasional yang masih bersifat ambigu, kontradiktif, tidak relevan, dan mengusulkan pengaturan hak alterasi, serta percepatan pengakuan atau penyusunan program untuk menyesuaikan dengan berbagai aturan lokal terkait pelestarian hutan, (2) mengusulkan strategi prioritas untuk menyelesaikan masalah deforestasi melalui program devolusi dan pendekatan ekonomi bagi mata pencaharian masyarakat pedesaan, (3) untuk peningkatan KPH, penurunan luasan KPH merupakan pilihan yang rasional untuk melokalisir kepentingan para pihak dan preferensi ekonomi, mengelola rule-in-use, dan meningkatkan efektivitas pengaturan kelembagaan, dan (4) prioritas implementasi REDD+ adalah pada kelembagaan hutan yang bersifat devolutif. Studi ini juga berkontribusi bagi pengembangan teroritis maupun praktis, yaitu: (1) mengusulkan konsep baru, the Hole of Property Rights, terkait dengan faktor yang mempengaruhi property rights bagi kelestarian hutan, (2) memberikan standar bagi penyelidikan konseptual dan praktikal untuk REDD+ (atau skema jasa lingkungan lain yang berbasis lahan) untuk menyelesaikan issu hak atas hutan di tingkat tapak, dan (3) pengayaan empiris teori property rights yang difokuskan pada deforestasi dan implikasinya bagi penyiapan REDD+ di KPH dan Hutan Desa di Kabupaten Berau, Indonesia.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcForest Managementid
dc.subject.ddcProperty Rigthsid
dc.subject.ddc2018id
dc.subject.ddcBerau-East Kalimantanid
dc.titlePengaturan Hak Atas Hutan dalam Kerangka Kerja REDD+: Pembelajaran dari Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesiaid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordproperty rightsid
dc.subject.keyworddeforestasiid
dc.subject.keywordREDD+id
dc.subject.keywordKesatuan Pengelolaan Hutanid
dc.subject.keywordHutan Desaid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record