Status Fisiologi dan Studi Keragaman Gen HSP70 sebagai Penentu Ketahanan Cekaman Panas Sapi Friesian Holstein pada Ketinggian Berbeda
View/ Open
Date
2019Author
Mariana, Elmy
Sumantri, Cece
Astuti, Dewi Apri
Anggraeni, Anneke
Gunawan, Asep
Metadata
Show full item recordAbstract
Upaya peningkatan produktivitas sapi perah di Indonesia terkendala
dengan kondisi mikroklimat Indonesia yang merupakan kepulauan tropis dengan
suhu lingkungan dan kelembapan relatif yang tinggi. Kondisi tersebut berpotensi
menyebabkan cekaman panas pada sapi perah. Cekaman panas pada sapi perah
menyebabkan perubahan respons fisiologi dan pola metabolisme yang berimbas
pada penurunan produksi susu pada sapi perah. Untuk mengatasi penurunan
produksi susu, dilakukan penyesuaian berbagai faktor lingkungan, seperti iklim
mikro, pakan, dan manajemen pemeliharaan. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mengurangi dampak cekaman panas pada produktivitas ternak
adalah melalui program genetik untuk menyeleksi atau memilih hewan dengan
kemampuan termotoleran yang tinggi terhadap cekaman panas. Salah satu gen
yang berpotensi sebagai marka genetik untuk seleksi sapi perah unggul dengan
sifat tahan panas dan produksi tinggi adalah gen HSP70. HSP70 bekerja untuk
meningkatkan ambang cekaman panas yang berakibat pada panjangnya jarak
translasi protein sehingga menurunkan pengaruh cekaman panas pada mekanisme
protein folding dan mengurangi intensitas kerusakan protein akibat unfolding atau
misfolding.
Penelitian ini terdiri atas 3 tahap, tahap pertama bertujuan untuk
mengevaluasi respons fisiologi, profil hematologi, hormonal, kemampuan
aklimasi serta produktivitas sapi perah yang dipelihara pada lingkungan dengan
ketinggian berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dataran rendah bukan
lingkungan yang sesuai untuk pengembangan sapi perah karena di dataran rendah
ternak berada pada kondisi di luar zona nyaman sehingga sapi perah rentan
mengalami cekaman panas. Lingkungan berpotensi memberikan dampak cekaman
panas tertinggi pada sapi perah di dataran rendah, diikuti dataran sedang dan
dataran tinggi yang terendah. Peningkatan cekaman panas direspons dengan
peningkatan kecepatan respirasi, detak jantung, suhu rektal, suhu kulit, dan suhu
tubuh serta penurunan ambang cekaman panas/HTC dan produksi susu.
Kemampuan aklimasi sapi perah dalam merespons perubahan kondisi lingkungan
tercermin dari nilai koefisien regresi setiap variabel terikat HTC, kecepatan
respirasi, denyut jantung, suhu rektal, suhu kulit, dan suhu tubuh berhubungan erat
dengan perubahan THI, suhu lingkungan, dan kelembapan relatif. Berdasarkan
nilai R2 dan slope tertinggi pada dataran sedang, diikuti dataran rendah, dan
dataran tinggi. Hal ini menunjukkan kemampuan aklimasi sapi perah pada dataran
sedang lebih baik jika dibandingkan sapi perah pada dataran tinggi dan rendah.
Meskipun secara fisiologi sapi perah mampu beradaptasi terhadap cekaman panas,
cekaman panas memberikan dampak yang sangat merugikan terhadap produksi
susu. Rerata produksi susu di ketiga lokasi penelitian tergolong rendah jika
dibandingkan standar produksi susu sapi FH yang berada pada zona nyaman.
Penelitian tahan kedua bertujuan untuk mengidentifikasi polimorfisme gen
HSP70 pada sapi perah Friesian Holstein yang dipelihara pada lingkungan dengan
ketinggian berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa delesi sitosin pada
basa ke 859 AP2 box promotor gen HSP70 menghasilkan dua macam genotipe,
yaitu homozygous wild type (CC) dan heterozygous cytosine deletion mutant (C-).
Perbedaan lokasi tidak mempengaruhi frekuensi genotipe CC dan C- yang
dihasilkan. Frekuensi genotipe C-di setiap lokasi lebih tinggi dari genotipe CC.
Persentase lokus heterozigot dalam setiap populasi cukup tinggi sehingga
memungkinkan untuk melakukan seleksi sapi perah FH berdasarkan genotipe gen
HSP70 lokus ScrFI.
Penelitian tahap tiga bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara
keragaman gen HSP70 lokus ScrFI dengan respons fisiologi, ketahanan terhadap
cekaman panas, profil hematologi, hormonal, produksi serta kualitas susu pada
sapi perah FH. Hasil analisis menunjukkan sapi perah dengan genotipe CC
memiliki nilai ambang cekaman panas, kecepatan pernapasan, detak jantung, dan
suhu kulit yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi perah dengan genotipe
C-. Nilai ambang cekaman panas, kecepatan pernapasan, detak jantung, dan suhu
kulit yang lebih tinggi pada genotipe CC mengindikasikan bahwa ternak dengan
genotipe CC memiliki kemampuan adaptasi terhadap kondisi cekaman panas yang
lebih rendah jika dibandingkan genotipe C-.
Pada aspek produksi dan kualitas susu, sapi perah baik dengan genotipe
CC maupun C- memiliki rerata produksi susu dan kadar bahan kering tanpa lemak
yang sama, tetapi sapi perah dengan genotipe CC menghasilkan produksi susu
yang distandardisasi 4%FCM, kadar protein, lemak, total solid, dan laktosa yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan genotipe C-. Keunggulan sapi perah dengan
genotipe CC dalam menghasilkan produksi susu yang distandardisasi 4%FCM,
kadar protein, lemak, total solid dan laktosa yang lebih baik jika dibandingkan
genotipe C- tidak disertai dengan keunggulan dalam sifat adaptasi terhadap
kondisi cekaman panas. Secara umum genotipe CC berhubungan dengan sifat
produksi dan kualitas susu yang lebih baik, sedangkan genotipe C- berhubungan
dengan kemampuan sifat adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang lebih baik.
Sapi perah yang memiliki produksi susu yang tinggi, umumnya memiliki
resistensi terhadap cekaman suhu lingkungan yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan sapi perah dengan produksi susu yang rendah. Hal ini disebabkan karena
sapi perah dengan tingkat produksi susu yang tinggi memiliki tingkat produksi
panas yang lebih tinggi baik dari produksi panas metabolisme maupun produksi
panas pada proses produksi susu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seleksi
genetik dengan menggunakan gen HSP70 sebagai marka gen memungkinkan
untuk memilih sapi perah dengan keunggulan sifat ketahanan terhadap cekaman
panas dan produksi serta kualitas susu yang lebih baik.
Collections
- DT - Animal Science [343]