dc.description.abstract | Konflik tenurial dalam kawasan hutan terjadi di Desa Bukit Harapan dan
Desa Ompi. Terjadinya konflik karana kedua desa tersebut terletak dalam kawasa
hutan sihingga muncul klaim terhadap pemanfaatan dan pengelolaan kawasan
hutan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi penyebab konflik,
memetakan kepentingan dan pengaruh aktor yang terlibat dalam konflik serta
mencari resolusi konflik atas klaim tenurial di dalam kawasan hutan. Metode
yang digunakan adalah analisis konflik, analisis kebijakan dan analytical
hierarchy prosess (AHP) dengan menggunakan aplikasi Expert Choice 11 untuk
mendapatkan alternatif resolusi konflik tenurial dalam kawasan hutan. Studi ini
menunjukan bahwa klaim atas lahan dalam kawasan hutan disebabkan oleh
adanya desa dalam kawasan hutan, tumpang tindih kepemilikan, serta tapal batas
yang tidak jelas antar desa, lahan garapan masyarakat serta lahan masayarakat
dengan hak guna usaha (HGU). Oknum pemerintah desa, masyarakat pengelola
lahan di dalam kawasan hutan, masyarakat desa di dalam kawasan hutan, dan
pengusaha lokal adalah aktor utama terhadap konflik yang terjadi. Sedangkan
Pemerintah Daerah, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)-Lariang, serta
Dinas Kehutanan Provinsi merupakan aktor pendukung dalam konflik.
Rekomendasi solusi yang dapat direalisasikan berdasarkan analytical
hierarchy prosess (AHP) menggunakan aplikasi Expert Choice 11 adalah
masyarakat memiliki kejelasan status atas lahan dan diberikan legalitas atas lahan
yang mereka garap. Rekomendasi kebijakan ini mengacu pada Perpres no 88
Tahun 2017 dengan tujuan prioritasnya adalah penguatan kepastian hukum dan
legalisasi hak atas tanah obyek reforma agrarian (TORA) dengan memperkuat
hak-hak rakyat atas tanah secara legal setelah dijalankannya redistribusi
penguasaan dan pemilikan TORA. Dalam penjelasan Perpres no 88 Tahun 2017,
jika penguasaan tanah setelah bidang tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan
dengan fungsi lindung dan produksi serta luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan lebih dari 30% dari luas DAS, pulau dan/atau provinsi, maka untuk
permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial diselesaikan melalui
resettlement. Dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan
telah dikuasai lebih dari 20 tahun dan/atau sebelum ditetapkannya kawasan hutan
maka dikeluarkan dari kawasan hutan, namun jika penguasaannya kurang dari 20
tahun maka diselesaikan melalui perhutanan sosial Pasal 10 dan 11.
Secara garis besar kedua desa tersebut terletak dalam kawasan hutan
lindung dan hutan produksi serta penguasaan tanahnya lebih dari 20 tahun dan
sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan maka dilihat dari Perpres Nomor 88
Tahun 2017 Pasal 10, 11 dan 13 bahwa, pengusaan tanah dapat diterbitkan
sertifikat dengan penggunaan sesuai dengan fungsinya. | id |