Show simple item record

dc.contributor.advisorDarusman, Dudung
dc.contributor.authorSamad, Abd
dc.date.accessioned2019-01-17T04:48:11Z
dc.date.available2019-01-17T04:48:11Z
dc.date.issued2018
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/95813
dc.description.abstractKonflik tenurial dalam kawasan hutan terjadi di Desa Bukit Harapan dan Desa Ompi. Terjadinya konflik karana kedua desa tersebut terletak dalam kawasa hutan sihingga muncul klaim terhadap pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi penyebab konflik, memetakan kepentingan dan pengaruh aktor yang terlibat dalam konflik serta mencari resolusi konflik atas klaim tenurial di dalam kawasan hutan. Metode yang digunakan adalah analisis konflik, analisis kebijakan dan analytical hierarchy prosess (AHP) dengan menggunakan aplikasi Expert Choice 11 untuk mendapatkan alternatif resolusi konflik tenurial dalam kawasan hutan. Studi ini menunjukan bahwa klaim atas lahan dalam kawasan hutan disebabkan oleh adanya desa dalam kawasan hutan, tumpang tindih kepemilikan, serta tapal batas yang tidak jelas antar desa, lahan garapan masyarakat serta lahan masayarakat dengan hak guna usaha (HGU). Oknum pemerintah desa, masyarakat pengelola lahan di dalam kawasan hutan, masyarakat desa di dalam kawasan hutan, dan pengusaha lokal adalah aktor utama terhadap konflik yang terjadi. Sedangkan Pemerintah Daerah, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)-Lariang, serta Dinas Kehutanan Provinsi merupakan aktor pendukung dalam konflik. Rekomendasi solusi yang dapat direalisasikan berdasarkan analytical hierarchy prosess (AHP) menggunakan aplikasi Expert Choice 11 adalah masyarakat memiliki kejelasan status atas lahan dan diberikan legalitas atas lahan yang mereka garap. Rekomendasi kebijakan ini mengacu pada Perpres no 88 Tahun 2017 dengan tujuan prioritasnya adalah penguatan kepastian hukum dan legalisasi hak atas tanah obyek reforma agrarian (TORA) dengan memperkuat hak-hak rakyat atas tanah secara legal setelah dijalankannya redistribusi penguasaan dan pemilikan TORA. Dalam penjelasan Perpres no 88 Tahun 2017, jika penguasaan tanah setelah bidang tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi lindung dan produksi serta luas kawasan hutan yang harus dipertahankan lebih dari 30% dari luas DAS, pulau dan/atau provinsi, maka untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial diselesaikan melalui resettlement. Dalam hal bidang tanah tersebut digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 tahun dan/atau sebelum ditetapkannya kawasan hutan maka dikeluarkan dari kawasan hutan, namun jika penguasaannya kurang dari 20 tahun maka diselesaikan melalui perhutanan sosial Pasal 10 dan 11. Secara garis besar kedua desa tersebut terletak dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi serta penguasaan tanahnya lebih dari 20 tahun dan sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan maka dilihat dari Perpres Nomor 88 Tahun 2017 Pasal 10, 11 dan 13 bahwa, pengusaan tanah dapat diterbitkan sertifikat dengan penggunaan sesuai dengan fungsinya.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcForest Managementid
dc.subject.ddcTenurial Conflictid
dc.subject.ddcSulawesi Baratid
dc.titleStrategi Penyelesaian Konflik Tenurial pada Kawasan Hutan di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Baratid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordkonflik Tenurialid
dc.subject.keywordkebijakanid
dc.subject.keywordresolusiid
dc.subject.keywordkawasan hutanid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record