dc.description.abstract | Perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah dua masalah
lingkungan yang paling penting di abad ke-21. Perubahan penggunaan lahan untuk
pembangunan ekonomi adalah salah satu penyebab utama emisi gas rumah kaca
(GRK) dan berkurangnya keanekaragaman hayati di Indonesia. Alokasi dan
pengelolaan lahan di Indonesia sering mengundang permasalahan. Tata kelola yang
lemah, khususnya dalam perencanaan penggunaan lahan dan pelaksanaannya, serta
pemantauan dan evaluasi, menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang
membawa dampak negatif pada kualitas lingkungan dan layanan ekosistem.
Perencanaan, pemantauan dan evaluasi penggunaan lahan yang komprehensif
sangat dibutuhkan sebagai bagian integral dari strategi pertumbuhan hijau untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan. Konservasi Area Nilai Konservasi Tinggi
(NKT) dan Stok Karbon Tinggi (SKT) merupakan salah satu alat kolaborasi di
antara pemangku kepentingan yang relevan untuk menjaga integritas
keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem serta untuk menurunkan emisi
GRK. Sumatera Selatan diambil sebagai studi kasus karena isu-isu kompleks
menyangkut hubungan antara lingkungan-ekonomi. Pada 2015 terjadi bencana
kebakaran yang terjadi pada sebagian besar lahan gambut di Sumatra Selatan.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk membahas tiga tujuan utama: (i) untuk
memahami dinamika dan pemicu penggunaan/tutupan lahan di provinsi Sumatera
Selatan selama dua dekade terakhir; (ii) untuk mengidentifikasi kawasan NKT dan
SKT pada tingkat lanskap; dan (iii) untuk memperkirakan penurunan emisi yang
dapat dicapai dalam kerangka kebijakan yang ada dalam melestarikan kawasan
NKT dan SKT. Pendekatan Klasifikasi Berbasis Obyek Hirarki dalam mengolah
data citra satelit dipakai dalam membuat peta tutupan lahan berseri dalam periode
analisa 20 tahun, sedangkan pemicu perubahan tutupan lahan menggunakan nilai
koefisien bobot yang dihitung berdasarkan pendekatan weight of evidence. Area
inti, least-cost distance dan rata-rata cadangan karbon persiklus tanam digunakan
untuk mengidentifikasi area NKT dan SKT. Proyeksi tutupan lahan dilakukan
dengan menggunakan algoritma Cellular Automata-Markov dan pendekatan weight
of evidence (WoE) untuk memvalidasi parameter yang mempengaruhi perubahan
tutupan lahan berbasis matriks probabilitas transisi perubahan lahan.
Hasil analisa menunjukkan bahwa luasan hutan rawa tidak terganggu dan
hutan lahan kering tidak terganggu secara signifikan menurun masing-masing
sebesar 53% dan 16% antara tahun 1990 dan 2000. Pola perubahan ini konsisten
hingga periode analisis terbaru, yaitu, 2010-2014. Kecenderungan serupa
ditemukan untuk hutan bekas tebangan, hutan rawa bekas tebangan, dan hutan
bakau. Hutan sebagian besar dikonversi menjadi karet, kelapa sawit, dan kayu
industri. Degradasi hutan, yang didefinisikan oleh perubahan tutupan dari hutan
yang tidak terganggu menjadi hutan bekas tebangan, merupakan perubahan yang
paling dominan selama 1990-2000 (18% atau 0,47 M ha di hutan rawa, dari 2,67 M
ha total area perubahan penggunaan lahan). Selama periode 2000-2005, perubahan
yang paling dominan adalah konversi hutan bekas tebangan menjadi karet (6% atau
0,11 M ha dari total perubahan 1,9 M ha). Pada periode berikutnya, 2005-2010,
degradasi hutan rawa menjadi yang paling dominan (7,7% atau 0,13 M ha dari total
perubahan 1,69 M ha). Pada periode terakhir analisis, 2010-2014, konversi karet
menjadi kelapa sawit menjadi perubahan terbesar (15,3% atau 0,23 M ha dari total
perubahan 1,49 M ha). Tingkat kepadatan penduduk, elevasi, dan jarak ke jalan
merupakan pemicu utama perubahan tutupan lahan dengan nilai koefisien bobot
masing-masing adalah 5,2, 5,1 dan 4,5. Selanjutnya, analisa emisi historis
menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan emisi selama periode analisa
yaitu periode 1990-2000, dari total emisi 0,58 GTon CO2-eq menjadi 0,22 GTon
CO2-eq (2000-2005), 0,3 GTon CO2-eq (2005-2010) dan 0,2 GTon CO2-eq (2010-
2014). Sumber emisi dominan secara konsisten terjadi di zona produksi, zona
perkebunan dan zona pertanian, yang merupakan hal yang layak terjadi. Akan tetapi,
zona hutan lindung dan zona suaka alam sebagai kawasan konservasi juga
berkontribusi pada emisi, yang merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi.
Berdasarkan hal ini, pelestarian kawasan NKT-SKT diusulkan sebagai strategi
pemeliharaan keanekaragaman hayati dan pengurangan emisi GRK. Total area
NKT-SKT yang teridentifikasi adalah 2,5 MHa atau 29% dari total Provinsi
Sumatra Selatan dengan area tumpang tindih antara NKT dan SKT adalah 55%.
Strategi konservasi yang diusulkan dalam area ini adalah mempertahankan tutupan
hutan tersisa dan agroforestasi. Dibandingkan dengan skenario Business as Usual
(BAU), yaitu, berdasarkan perubahan tutupan lahan historis, konservasi NKT dan
SKT di Sumatera Selatan diprediksi dapat mengurangi emisi CO2-eq sebesar 56%
pada tahun 2030.
Secara keseluruhan, perubahan penggunaan/tutupan lahan yang tidak
berkelanjutan dapat memiliki dampak negatif pada kualitas ekosistem, termasuk
keanekaragaman hayati dan cadangan karbon di Sumatera Selatan. Tutupan hutan
alam, yang merupakan tempat perlindungan beragam flora dan fauna, terus
menurun luasannya selama 24 tahun terakhir. Hutan dialihgunakan menjadi
perkebunan karet, kelapa sawit dan akasia. Faktor pemicu utama adalah faktor
ekonomi, seperti kebutuhan lahan dan sumber pendapatan, tata kelola lahan yang
lemah dan tumpang tindih kepentingan di antara para pemangku kepentingan dapat
mempengaruhi perubahan penggunaan/tutupan lahan di Sumatera Selatan.
Konservasi kawasan NKT-SKT tingkat lanskap berpotensi mengurangi emisi.
Partisipasi dan komitmen semua pemangku kepentingan, yaitu pemerintah,
pengusaha, LSM, masyarakat, petani dan pihak-pihak lain sangat diperlukan untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan di Sumatera Selatan. | id |