Kajian Keterkaitan Sistem Sosial-Ekologi Lamun dalam Meningkatkan Nilai Ekonomi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pesisir Pulau Bintan
View/ Open
Date
2018Author
Wahyudin, Yudi
Kusumastanto, Tridoyo
Adrianto, Luky
Wardiatno, Yusli
Metadata
Show full item recordAbstract
Ekosistem lamun (seagrass) adalah salah satu penyusun kesatuan ekosistem
pesisir bersama dengan mangrove dan terumbu karang. Tujuan penelitian ini
adalah (i) mengkaji, menganalisis dan memetakan besaran keterkaitan sistem sosial
ekologi ekosistem lamun melalui jasa-jasa ekosistem lamun yang bermanfaat bagi
masyarakat pesisir di wilayah studi; (ii) mengkaji dan menganalisis besaran
keterkaitan sistem sosial ekologi lamun dengan nilai ekonomi sumberdaya ikan
serta mengestimasi nilai ekonomi jasa ekosistem yang disediakan ekosistem lamun
untuk masyarakat pesisir di wilayah studi; dan (iii) mengembangkan instrumen
ekonomi sumberdaya dalam pengelolaan kawasan konservasi padang lamun yang
berguna bagi pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.
Hasil penelitian menunnjukkan bahwa ekosistem lamun mempunyai
keterkaitan kuat dengan masyarakat pesisir. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir di wilayah studi yang memanfaatkan
keberadaan ekosistem lamun di sekitarnya sebagai daerah penangkapan ikan.
Kehadiran pengunjung yang berwisata di sekitar pantai yang berasosiasi dengan
keberadaan lamun juga memberikan dampak ekonomi yang bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nilai ekonomi dampak wisata mencapai
sebesar Rp 245,32 juta tahun/tahun atau sebesar Rp 1,48 juta/hektar/tahun.
Ekosistem lamun mampu mensuplai integritas ekologi dan jasa ekosistem
yang sangat dibutuhkan dalam alokasi penggunaan lahan yang berkelanjutan di
wilayah pesisir daerah studi. Status kapasitas ekosistem lamun ditinjau dari
komponen integritas ekologis dan jasa ekosistem masih berada pada tingkat tidak
optimal, karena masih adanya penggunaan lahan yang belum terpenuhi suplainya.
Potensi ekonomi kehilangan habitat lamun akibat kerusakan dapat mencapai
sebesar Rp 251,68 juta/hektar/tahun. Nilai ini berpotensi mengakibatkan turunnya
tingkat pendapatan nelayan artisanal Kabupaten Bintan sebesar Rp
535.493,88/nelayan/tahun.
Keberadaan ekosistem lamun mampu meningkatkan daya dukung perairan
(K) sebesar α. Pada penelitian ini nilai α sebesar 9.049,28, atau dengan kata lain
bahwa ekosistem lamun di wilayah studi mampu memberikan peningkatan daya
dukung perairan sebesar 9.049,28 kg/hektar.
Sistem sosial-ekologi ekosistem lamun mampu meningkatkan nilai ekonomi
sumberdaya ikan di wilayah studi berupa peluang dampak ekonomi langsung yang
diperoleh dari nilai potensi ekonomi perikanan yang mencapai sebesar Rp 23,72
miliar/tahun dan ekosistem lamun dipertahankan pada luas 166,10 hektar.
Nilai ekonomi jasa ekosistem lamun di wilayah pesisir pulau Bintan
diestimasi sebesar Rp 1.623,16 juta/hektar/tahun atau sebesar USD 121.914,09/
hektar/tahun. Nilai ini terdiri dari nilai ekonomi jasa penyediaan/produksi sebesar
Rp 394,51 juta/hektar/tahun, nilai ekonomi jasa pengaturan sebesar Rp 101,39
juta/hektar/tahun, nilai ekonomi jasa budaya/informasi sebesar Rp 198,33
juta/hektar/tahun dan nilai ekonomi jasa pendukung/habitat sebesar Rp 928,92
juta/hektar/tahun. Nilai ini di atas range nilai referensi yang ada yaitu Rp 0,34
juta/hektar/tahun hingga Rp 1,30 miliar/hektar/tahun.
Pembayaran Jasa Ekosistem (PJE) dapat menjadi sumber pembiayaan baru
bagi pengelolaan ekosistem lamun. PJE dapat dijadikan sebagai instrumen
ekonomi bagi Pengelolaan Kawasan Konservasi Padang Lamun Berkelanjutan,
karena dengan melakukan penerapan PJE ini, maka keberlanjutan ekologi, sosial
dan ekonomi dapat diselaraskan implementasinya. Hasil analisis menunjukkan
bahwa penerapan PJE melalui mekanisme entrance fee sebesar Rp 53.921,38 per
orang yang dihitung berdasarkan nilai ekonomi dan daya tampung ekosistem lamun
dapat meningkatkan pendapatan asli daerah sebesar 5,99 persen, sedangkan
bilamana nilai pungutan ditetapkan menjadi sebesar Rp 60 ribu per orang, maka
pendapatan asli daerah dapat meningkat sebesar 6,66 persen. Peningkatan
pendapatan asli daerah ini setidaknya berbanding linear dengan pendapatan
regional dan pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.