Show simple item record

dc.contributor.advisorSoetarto, Endriatmo
dc.contributor.advisorSunito, Satyawan
dc.contributor.advisorPandjaitan, Nurmala Katrina
dc.contributor.authorHadi, Syamsul
dc.date.accessioned2018-02-22T03:30:01Z
dc.date.available2018-02-22T03:30:01Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91046
dc.description.abstractRelasi pesantren dengan negara dan masyarakat telah terpola sedemikian rupa dalam tarik-menarik kepentingan. Penelitian ini bertujuan menganalisis posisi pesantren dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki sebagai strategi keberlanjutan yang membuat lembaga pendidikan keagamaan (Islam) ini mampu mempertahankan identitasnya di samping dapat memenuhi kepentingan negara dan preferensi masyarakat. Selanjutnya menganalisis kiat pesantren dalam menjaga relevansi sosial dan ideologis di lingkungan masyarakat pedesaan yang terus berkembang secara dinamis. Penelitian ini dilaksanakan di lembaga pesantren Manbail Futuh di Desa Beji Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang berlangsung sejak Maret 2015 sampai April 2016. Penelitian menggunakan paradigma kritis, pendekatan kualitatif serta strategi studi kasus. Data yang terkumpul berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari para informan sebagai subyek penelitian, baik informan dari kalangan pesantren, masyarakat lokal, pejabat pemerintah dan ormas Islam. Pengumpulan data primer melalui teknik: wawancara mendalam, observasi lapangan dan studi dokumen. Sebanyak 34 informan memberikan informasi, terdiri dari; pengasuh utama pesantren, Kepala Madrasah/Sekolah, ustadz-ustadzah/guru, badal (asisten kiai), santri dan pengurus pondok, akademisi, aparat pemerintah terkait, sesepuh desa/ tokoh masyarakat, alumni dan masyarakat sekitar pesantren. Adapun pemilihan informan ditentukan secara accidental dan snowballing. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen berupa laporan hasil-hasil laporan sebelumnya, UU, PP, Kepres, Kepmen, Permen, Perda, monografi desa, dan lain-lain. Analisis data dilakukan melalui deskriptif-kualitatif, dan berlangsung kontinu sejak peneliti mulai merumuskan masalah penelitian, selama bekerja di lapangan hingga penulisan hasil penelitian. Kredibelitas data diuji melalui metode trianggulasi, yaitu mengecek kredibelitas data dari berbagai sumber dengan bermacam cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat trianggulasi sumber, trianggulasi teknik pengumpulan data, dan trianggulasi waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam posisinya menghadapi tarik-menarik kepentingan antara tuntutan pendidikan ala negara (sistem pendidikan nasional) dan mempertahankan pendidikan salafiyah (sebagai identitas pesantren) serta preferensi masyarakat terhadap pendidikan formal, maka pesantren kasus (Manbail Futuh Beji) menempuh jalan kompromi. Yakni memadukan pendidikan tradisional-salafiyah dengan pendidikan universal ala negara. Jalan kompromi tersebut dalam bentuk akulturasi kurikulum dan diversifikasi pendidikan pesantren, yang dapat dimaknai sebagai strategi keberlanjutan lembaga pesantren di lingkungan masyarakat pedesaan. Sedangkan untuk mendukung operasionalisasi penyelenggaraan unit-unit pendidikan formal-modern berbasis pesantren, upaya yang dilakukan adalah melakukan komodifikasi pendidikan. Menurut Ritzer dan Goodman (2011), komodifikasi merupakan bagian dari struktur ekonomi dan sosial yang bertujuan membuat masyarakat konsumen (baca: kaum santri) memperoleh aneka macam komoditas. Seperti halnya instrumen untuk menarik keuntungan material atau hanya sekedar berfungsi menjadi bagian “alat-alat konsumsi yang diperlukan” (necesserary means of consumption). Adanya respon positif masyarakat terhadap tradisi baru yang diinisiasi pesantren hal itu membuktikan bahwa adanya agensi dari pesantren kasus sehingga mampu mentransformasikan kekangan struktur (instrumentasi negara dan preferensi masyarakat) yang tadinya bersifat constraint menjadi memampukan (enabling), demikian menurut tinjauan teori strukturasi Anthony Giddens (1984). Selain mengadakan tradisi baru yang dapat diterima masyarakat pengguna, hasil penelitian juga menunjukkan eksistensi dan keberlanjutan lembaga pesantren ditopang oleh kekuatan-kekuatan, yang antara lain: (a) pengaruh kewibawaan dan kapasitas keilmuan kiai sepuh dalam kepemimpinan pesantren dan umat, (b) pelembagaan kitab-kitab kuning dan pelestarian tradisi pesantren di lingkungan masyarakat pedesaan, (c) faktor kekuatan yang lebih bersifat alamiah yang berupa pranata keluarga, yaitu semangat uri-uri tinggalane wong tuwo (spirit untuk selalu merawat dan melestarikan warisan tradisi nenek moyang) atau merupakan etika membangun yang dilandasi nilai-nilai spiritual (agama), (d) dukungan keluarga besar (ahlul bait) dan para alumni pesantren baik yang berupa pemberian donasi maupun peran mereka sebagai pendulang calon peserta didik; (e) masih tingginya kepercayaan (trust) masyarakat sekitar; dan (f) menerapkan manajemen pendidikan modern. Baik dalam rangka memenuhi relevansi sosial maupun ideologis, lembaga pesantren selain berkepentingan dengan upaya pelestarian tradisi-tradisi keislaman sebagai pengejawantahan konstitusi Islam dan pelembagaan pengajaran kitab kuning juga perlu mengadakan tradisi baru seperti yang disebutkan di muka. Praktik-praktik sosial tersebut dilakukan pesantren kasus, sebab apabila ia dinilai masyarakat pengguna tidak mampu lagi melayani kebutuhan mereka maka dengan sendirinya akan kehilangan posisinya dalam sistem sosial yang ada, dan pada akhirnya akan punah. Kecuali ia mampu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat. Secara umum, pendirian lembaga pendidikan pesantren tidak terlepas dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama (Islam) supaya putra-putri mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia dan memilki jati diri sebagai orang beriman. Tetapi, pada saat pesantren kasus berada fase arah baru (baca: arah transisi), ia dihadapkan dengan tantangan dan problematika yang cukup pelik. Pertama, secara ideologis, komodifikasi pendidikan pesantren memiliki korelasi perubahan pada tataran paradigmatik para aktor yang selama ini terlibat di dalamnya. Mereka tidak hanya menganggap lembaga pesantren sebatas sarana pengabdian kepada agama dan umat, melainkan bisa menjadi tempat mencari ma’isyah (pendapatan keluarga) bagi mereka yang merasa telah bekerja secara profesional. Kedua, instrumentasi (regulasi-regulasi dan kebijakan politik) negara yang tidak mempertimbangkan kondisi obyektif dan kekhasan dari pada lembaga pesantren jelas berdampak pada penyeragaman, sebab telah terbukti menggerus keunikan-keunikan yang ada. Padahal, ragam keunikan yang dimiliki pendidikan tradisional tersebut merupakan khazanah intelektual bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcSociologyid
dc.subject.ddcSocial Organizationid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcDesa Beji, Kabupaten Tuban, Jawa Timurid
dc.titleArah Baru Lembaga Pesantren Dalam Kehidupan Masyarakat Desa: Idealisme Versus Pragmatismeid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordlembaga pesantrenid
dc.subject.keywordtradisiid
dc.subject.keywordstrategi keberlanjutanid
dc.subject.keywordakultuasi kurikulumid
dc.subject.keyworddiverfisikasi pendidikan dan komodifikasi pendidikanid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record