Show simple item record

dc.contributor.advisorNugroho, Bramasto
dc.contributor.advisorHardjanto
dc.contributor.advisorNurrochmat, Dodik Ridho
dc.contributor.authorBudiono, Rahmat
dc.date.accessioned2018-02-22T03:26:55Z
dc.date.available2018-02-22T03:26:55Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91028
dc.description.abstractHutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Namun demikian peran sektor kehutanan yang demikian penting bagi pembangunan nasional ternyata selama dua dasawarsa terakhir masih meninggalkan berbagai masalah kehutanan terutama hilangnya manfaat hutan bagi masyarakat sekitar hutan akibat operasional industri kehutanan, sehingga hutan sejak dulu selalu menjadi arena pertarungan antara negara dan masyarakat. Setelah sekian lama diabaikan dalam pembangunan kehutanan maka tumbuhnya kesadaran mengenai haknya terhadap hutan telah membangkitkan semangat masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung untuk berjuang merebut hutan tersisa di Semenanjung Kampar. Perjuangan ini merupakan manifestasi kontra hegemoni oleh masyarakat terhadap hegemoni negara atas sumber daya hutan yang dalam praktiknya memberikan penguasaan hutan yang begitu besar kepada industri kehutanan. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengungkap lebih dalam memahami dinamika hegemoni negara atas hutan, munculnya kontra hegemoni masyarakat yang kehilangan aksesnya terhadap hutan untuk merebut kembali hutan yang tersisa dan relasi kekuasaan yang terbentuk dari perjalanan kontestasi hegemoni penguasaan hutan di Riau. . Kerangka pikir penelitian ini berlandaskan konsep utama Hegemoni dari Antonio Gramsci, Diskursus Hegemoni dari Laclau & Mouffe, Konsep Aparatus Negara dari Loius Althusser serta konsep Actor Centred Power dari Max Krott. Adapun konsep “Shifting Contestation into Cooperation” digunakan untuk memastikan adanya perubahan bentuk hubungan kontestasi antar aktor kepada hubungan kerjasama dalam pengelolaan sumber daya hutan saat terdapat kompatibilitas unsur kepentingan dan pengaruh antar aktor. Penelitian ini bersifat kualitatif verifikatif. Tahapan yang ditempuh meliputi tahapan pengumpulan data, serta penyajian hasil dengan menggunakan data pustaka melalui metode kepustakaan (library research) dan penelitian ini juga bersifat grounded yaitu dengan pengamatan (observation) dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Segamai dan Desa Serapung Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Pengambilan data di mulai sejak Bulan November 2015 hingga April 2016. Analisis data dalam penelitian ini mengikuti logika induktif untuk membangun struktur makna dari pengalaman. Hasil kajian menunjukan domain atas hutan merupakan wujud hegemonisasi yang dilakukan negara untuk menguasai hutan. Ideologi domeinverklaring menjadi ideologi dominan yang hegemonik sejak tahun 1870. Dinamika hegemoni penguasaan hutan oleh negara lebih dilindungai oleh baju koersif dan aliansi antara negara kolonial dengan penguasa lokal sehingga rakyat secara terpaksa mengakui dan tunduk pada kekuasaan negara. Ideologi domeinverklaring masa kolonialisme diperkenalkan dan dipertahankan oleh Intelektual Organik Penguasa kolonial untuk menguasai lahan dan hutan di Indonesia, sehingga pembentukan v hukum nasional diawal kemerdekaan dipengaruhi oleh Intelektual Organik Indonesia yang mewarisi ideologi domeinverklaring. Hegemoni atas hutan oleh negara menyebabkan hak-hak penduduk desa atas hutan dibatasi dan semakin terhapus hingga saat ini. Masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung harus melakukan gerakan sosial untuk merebut hutan tersisa di Semenanjung Kampar. Perjuangan mendapatkan hutan tersisa di Semenanjung Kampar membutuhkan kerja politik dan kesabaran yang luar biasa karena minimnya kepercayaan negara terhadap masyarakat dan harus dihadapkankan pada persaingan perebutan hutan tersisa oleh investasi Restorasi Ekosistem. Gerakan sosial merebut hutan tersisa di Desa Segamai dan Desa Serapung dalam konsep Gramscian merupakan manifestasi kontra atau perlawanan terhadap hegemoni negara atas penguasaan hutan yang lebih berpihak kepada industri kehutanan. Namun dengan memilih program perhutanan sosial, kemenangan masyarakat dengan diterbitkannya Hak Pengelolaan Hutan Desa sebagai Hutan Desa Pertama di Provinsi Riau sesungguhnya secara teoritis, justru memperkuat hegemoni negara (reinforcing hegemony) atas kawasan hutan. Melalui penerapan Teori Actor Centred Power dapat dipahami aktor terkuat yang menghambat keberhasilan masyarakat dalam mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan Desa adalah Gubernur Riau, sementara masyarakat desa hutan tanpa pendampingan dan pemberdayaan dari lembaga swadaya masyarakat menjadi aktor yang paling lemah. Namun masyarakat desa memiliki potensi menjadi “Potante” saat kepentingan kolektifnya mulai diabaikan oleh pemerintah menjadi kekuatan aktor yang mampu mempengaruhi kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Konsep “shifting contestation into cooperation” atau menggeser kontestasi menjadi kerja sama telah nampak dalam hasil akhir dari sebuah perjuangan panjang masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung. Perbedaan kepentingan dan pengaruh antar aktor akan menimbulkan persaingan atau kontestasi antar aktor. Sehingga kebijakan yang diambil harus mampu menciptakan dan mendorong adanya kerjasama antar aktor. Paradigma rimbawan ditingkat tapak harus berubah dan harus mau merangkul dan memperhatikan kebutuhan masyarakat desa hutan menuju kompatibiltas kepentingan dan pengaruh sehingga mampu menyingkirkan kontestasi kepada kerjama antara aktor yang terlibat. Kritik terhadap Teori Hegemoni Gramsci adalah sesungguhnya teori ini tidak kompatibel digunakan dalam kasus perebutan kawasan hutan dengan mengambil latar belakang suasana pergerakan masyarakat Desa Segamai dan Desa Serapung. Antagonisme memang terjadi namun hal tersebut sesungguhnya manifestasi untuk mencari perhatian serta menunjukkan eksistensinya sebagai masyarakat yang ditinggal dalam pembangunan kehutanan. Konsep hegemoni dan kontra hegemoni yang dikonsepkan oleh Gramsci pada praktiknya belum melihat adanya potensi kemauan para pihak menurunkan bentuk agitasi atau kontestasi ke dalam bentuk hubungan kerja sama. Hubungan kerja sama akan terjadi jika terdapat kompatibilitas antar aktor untuk saling mendekatkan kepentingannya tanpa harus menciptakan hegemoni tandingan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcForest managementid
dc.subject.ddcForest Resourcesid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcRiauid
dc.titleAnalisis Hubungan Negara dan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Studi Kasus Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau).id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordhegemoniid
dc.subject.keywordkontra hegemoniid
dc.subject.keywordnegaraid
dc.subject.keywordmasyarakatid
dc.subject.keywordlembaga swadaya masyarakatid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record