Show simple item record

dc.contributor.advisorNugroho, Bramasto
dc.contributor.advisorSaleh, M Buce
dc.contributor.advisorHendrayanto
dc.contributor.authorParlinah, Nunung
dc.date.accessioned2018-02-22T03:25:05Z
dc.date.available2018-02-22T03:25:05Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/91019
dc.description.abstractHutan rakyat memberikan berbagai manfaat baik manfaat lingkungan maupun ekonomi. Manfaat lingkungan hutan rakyat dalam suatu daerah aliran sungai, seperti hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede, diantaranya sebagai pengendali ketersediaan air. Air merupakan public good sehingga keberadaan hutan rakyat memberikan manfaat kepada publik. Saat ini hutan rakyat cenderung baru ditujukan untuk manfaat ekonomi seperti produksi kayu dimana hasilnya dapat di klaim. Lahan hutan rakyat merupakan private property sehingga berimplikasi pada independensi dalam pengambilan keputusan pengelolaan pemiliknya. Independensi tidak hanya berpengaruh pada pengaturan waktu penebangan, tetapi juga berpengaruh terhadap keputusan jenis komoditas yang diusahakan, dan keputusan mempertahankan hutan rakyat atau tidak. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap fungsi hidrologisnya. Agar fungsi hidrologisnya dapat tetap terjaga, maka diperlukan insentif bagi pemilik hutan rakyat. Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh adalah skema pembayaran jasa lingkungan dengan tujuan agar hutan rakyat tetap dipertahankan keberadaannya sekaligus memberikan insentif bagi pemiliknya. Tujuan umum dari penelitian adalah terbangunnya model skema insentif pembayaran jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede. Tujuan tersebut dijabarkan dalam beberapa kajian yaitu 1) menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap fungsi hidrologis di daerah tangkapan air Waduk Jatigede dengan luarannya adalah peran hutan rakyat dan penggunaan lahan lainnya, 2) menganalisis karakteristik kepemilikan lahan dalam kaitannya dengan tingkat kelayakan usaha hutan rakyat dan usaha berbasis lahan, persepsi terhadap hutan rakyat serta ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Luarannya adalah tingkat kelayakan usaha hutan rakyat, persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan, dan 3) menganalisis modal sosial masyarakat dan potensi aksi kolektif dengan luarannya adalah tingkat modal sosial masyarakat. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif berdasarkan kebutuhan masing-masing kajian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, semakin sedikit lahan yang tertutupi tanaman, maka semakin besar debit air sungai yang terjadi. Simulasi terhadap penurunan luas hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede telah menyebabkan terjadinya peningkatan debit air, peningkatan surface runoff dan penurunan groundwater. Hal sebaliknya terjadi dimana peningkatan luas hutan rakyat dapat menurunkan jumlah debit air, menurunkan surface runoff dan meningkatkan groundwater. Hal ini menunjukkan bahwa hutan rakyat memiliki peranan dalam mengendalikan ketersediaan air. Bentuk pengelolaan lahan hutan rakyat di lokasi penelitian adalah lahan khusus ditanami kayu dan lahan pola agroforestry. Bentuk pengelolaan lahan lainnya adalah pola pengelolaan sawah, dan khusus palawija. Semua bentuk iii pengelolaan lahan menguntungkan dan layak untuk diusahakan (NPV > 0, BCR>1 dan IRR > dari tingkat suku bunga yang diharapkan). Perbedaan bentuk pengelolaan mengakibatkan perbedaan nilai parameter kelayakan finansial. Secara umum, nilai parameter NPV meningkat seiring dengan meningkatnya penerimaan dari produk yang dihasilkan. Parameter tingkat bunga pengembalian atas investasi (IRR) tertinggi adalah lahan sawah. Sedangkan parameter BCR menunjukkan bahwa pengelolaan lahan hutan rakyat dengan pola khusus kayu memberikan nilai yang paling tinggi. Meskipun hutan rakyat layak secara finansial dan dalam persepsi masyarakat memiliki manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial, namun kondisi tersebut belum menjamin tidak akan terjadi alih bentuk pengelolaan. Faktor pendorong alih bentuk pengelolaan hutan rakyat diantaranya nilai finansial yang lebih baik pada bentuk pengelolaan lahan lain serta jaminan pasar dari jenis kayu yang ditanam. Mayoritas pemilik hutan rakyat di lokasi penelitian akan tetap mempertahankan hutannya, serta respon masyarakat terhadap kemungkinan insentif jasa lingkungan dimana dapat mengubah keputusan pengelolaan lahan, telah memberikan gambaran bahwa skema insentif jasa lingkungan memiliki peluang untuk diterapkan. Pemberian insentif hendaknya lebih diarahkan pada penghargaan atas upaya masyarakat dalam mengelola hutannya. Penerapan skema pembayaran jasa lingkungan memerlukan aksi kolektif termasuk dari masyarakat pemilik hutan. Aksi kolektif akan lebih mudah dilaksanakan pada masyarakat yang telah memiliki modal sosial yang baik. Modal sosial (trust, norma, jaringan) di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tokoh masyarakat, yaitu tokoh agama atau yang dituakan, adalah pihak yang sangat dipercaya masyarakat. Dalam interaksinya, masyarakat memiliki norma-norma yang menjadi acuan dalam beraktivitas. Interaksi masyarakat dengan sumberdaya alam seperti lahan/hutan diantaranya mengacu pada norma perlindungan terhadap sumber mata air yaitu melakukan penanaman pohon-pohon di sekitarnya. Dalam praktiknya, norma tidak tertulis lebih dipahami masyarakat dibandingkan dengan norma tertulis. Sedangkan perwujudan dari interaksi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lain diantaranya terbentuknya kelompok tani. Kelompok tani sebagai cerminan potensi aksi kolektif dapat diberdayakan dan diperkuat untuk mendukung implementasi skema pembayaran jasa lingkungan Pendekatan yang tepat untuk skema pembayaran jasa lingkungan hutan rakyat di daerah tangkapan air Waduk Jatigede adalah pendekatan hybrid PES. Pendekatan ini penting mengingat jasa lingkungan yang merupakan public good dalam penyediaannya memerlukan keterlibatan dari pemerintah dan partisipasi dari pihak private secara voluntary. Pendekatan ini juga diperlukan dalam membangun kepercayaan antara penyedia jasa dan pembeli jasa serta penyelarasan dengan peraturan/kebijakan yang berlaku. Dalam implementasinya, keterlibatan stakeholder secara aktif merupakan syarat penting agar skema pembayaran jasa lingkungan dapat berjalan secara efektif. Faktor penting lainnya yang harus dipertimbangkan adalah bentuk pengelolaan lahan yang diijinkan serta payung hukum pelaksanaan skema.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcForest managementid
dc.subject.ddcDevelopingid
dc.subject.ddc2017id
dc.subject.ddcJatigede-JABARid
dc.titleModel Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan Hutan Rakyat di Daerah Tangkapan Air Waduk Jatigedeid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordhutan rakyatid
dc.subject.keywordJatigedeid
dc.subject.keywordkelembagaanid
dc.subject.keywordmodal sosialid
dc.subject.keywordpembayaran jasa lingkunganid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record