Dampak Non Tariff Measure Terhadap Ekspor Kakao Indonesia
Abstract
Hasil perundingan Uruguay membentuk perjanjian Agreement on
Agriculture. Isi perjanjian tersebut ialah menurunkan kebijakan tariff dengan
tujuan untuk mengurangi hambatan-hambatan perdagangan. Namun, berbagai
negara mulai meningkatkan Non tariff measure karena khawatir dengan akses
pasar yang semakin bebas. Meningkatnya kesadaran akan isu keamanan pangan
menyebabkan timbulnya non tariff measure berupa sanitary and phytosanitary
(SPS) dan technical barrier to trade (TBT) diterapkan pada berbagai negara
pengimpor. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa negara berkembang
merupakan negara yang terkena dampak adanya non tariff measure. Indonesia
merupakan negara berkembang yang menjadi sumber utama untuk meningkatkan
perekonomiannya melalui ekspor. Salah satu komoditi ekspor utama Indonesia
adalah Kakao. Non Tariff Measure banyak diterapkan oleh berbagai negara pada
komoditi pertanian terutama Kakao.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pemberlakuan dan dampak
non tariff measure terhadap ekspor Kakao Indonesia. Metode digunakan untuk
menganalisis bagaimana pemberlakuan non tariff measure adalah inventory
approach. Inventory approach terbagi atas 2 pendekatan yaitu frequency index
dan coverage ratio. Frequency Index menunjukkan persentase dari jumlah
kebijakan non tariff measure yang dikenakan pada kakao. Coverage ratio
menunjukkan seberapa besar cakupan produk kakao yang dikenakan non tariff
measure. Untuk menjawab tujuan kedua menggunakan metode gravity model.
Metode tersebut digunakan untuk menganalisis dampak dari non tariff measure
terhadap ekspor kakao Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan SPS lebih banyak diterapkan
pada biji kakao sedangkan TBT lebih banyak diterapkan pada olahan kakao.
Berdasakan hasil uji gravity model, kebijakan SPS berpengaruh dalam
menurunkan nilai ekspor Kakao Indonesia sedangkan TBT tidak berpengaruh
secara signifikan. Negara maju seperti Amerika Serikat, Canada dan Jepang
menerapkan non tariff measure lebih ketat dibanding negara berkembang.