Show simple item record

dc.contributor.advisorHakim, Dedi Budiman
dc.contributor.advisorSiregar, Hermanto
dc.contributor.advisorSawit, Husein M
dc.contributor.authorNuryanti, Sri
dc.date.accessioned2018-01-08T06:09:34Z
dc.date.available2018-01-08T06:09:34Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/88653
dc.description.abstractKebijakan swasembada beras secara teoritis tidak efisien, namun swasembada beras menjadi agenda dan tujuan penting pembangunan pertanian sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia karena peran beras yang demikian strategis bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah bermaksud mencapai empat target utama swasembada berkelanjutan, yaitu peningkatan produksi beras, harga dan cadangan beras pemerintah yang stabil, dan tanpa ada impor, sehingga kesejahteraan produsen dan konsumen beras dapat ditingkatkan. Guna mencapai keempat kondisi tersebut pemerintah melakukan intervensi pasar melalui empat instrumen kebijakan, yaitu kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan distrbusi, dan kebijakan impor. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran yang besar untuk implementasi keempat kebijakan perberasan tersebut dan jumlahnya cenderung meningkat. Subsidi diberikan dari tingkat usahatani, pascapanen, hingga pemasaran. Selain kebijakan produksi, intervensi kebijakan perberasan (harga, distribusi, impor) dalam pelaksanaannya dimandatkan kepada sebuah organisasi parastatal di Indonesia, yaitu Badan Urusan Logistik (Bulog). Banyak penelitian menyatakan bahwa keterlibatan organisasi parastatal dapat menimbulkan distorsi pasar akibat aktivitas perburuan rente, sehingga menimbulkan biaya sosial yang tinggi. Keputusan pemerintah mencapai swasembada dengan melibatkan Bulog tidak berdasarkan latar belakang ekonomi saja, melainkan latar belakang politik. Penelitian tentang swasembada dan keberadaan organisasi parastatal telah banyak dilakukan peneliti dan akademisi dari aspek ekonomi murni atau politik saja. Namun belum ada penelitian dari aspek ekonomi politik tentang swasembada yang sekaligus mengulas keterlibatan lembaga Bulog beserta instrumen kebijakan yang menjadi wewenangnya dalam mengintervensi pasar beras. Selama periode analisis, alokasi dana swasembada cenderung meningkat, namun swasembada berkelanjutan belum tercapai, tingkat swasembada justru berfluktuasi, sehingga timbul pertanyaan (1) bagaimana preferensi politik pemerintah terhadap Bulog, sehingga dilibatkan dalam mengintervensi pasar beras menuju swasembada? (2) apa yang terjadi di dalam pasar beras Indonesia, sehingga alokasi dana yang demikian besar pun belum mampu membawa Indonesia kepada swasembada beras berkelanjutan? (3) apakah ada kaitannya preferensi politik pemerintah terhadap kelompok kepentingan, kinerja pasar beras domestik, dan tingkat swasembada? Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Ekonomi Politik Swasembada Beras di Indonesia” yang bertujuan untuk (1) mengestimasi preferensi politik pemerintah terhadap Bulog dan kelompok kepentingan lain di dalam pasar beras di Indonesia, (2) menganalisis efektivitas intervensi pasar beras yang dilaksanakan Bulog dengan mengestimasi besaran rente ekonomi yang timbul terkait implementasi kebijakan harga, distribusi, dan impor yang dimandatkan kepada Bulog, dan (3) menganalisis hubungan antara preferensi politik pemerintah terhadap kelompok kepentingan, besaran rente ekonomi yang timbul, dan tingkat swasembada beras yang dicapai. Model fungsi preferensial politik digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan tersebut. Data tahunan 2001-2014 yang meliputi variabel harga, potensi ekonomi perberasan, perdagangan, kinerja Bulog, dan indikator ekonomi makro pada tingkat nasional dikumpulkan dari sumber terkait untuk dianalisis menggunakan model fungsi permintaan dan relasi penawaran oligopolistik dinamik. Nilai elastisitas permintaan dan penawaran serta hasil perhitungan parameter kuantitatif dari kebijakan harga dan impor digunakan untuk mengestimasi preferensi politik pemerintah terhadap kelompok kepentingan dalam pasar beras yang meliputi produsen, konsumen, dan pemerintah yang diwakili oleh Bulog yang ditunjukkan oleh besaran bobot politik. Rente ekonomi yang timbul terkait dengan kebijakan harga dan impor yang diimplementasikan Bulog dihitung untuk mengestimasi biaya sosial pencapaian swasembada. Besaran bobot politik dan rente ekonomi yang timbul diestimasi menggunakan model ekonometrik politik untuk menganalisis pengaruhnya terhadap tingkat swasembada. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa preferensi politik pemerintah yang diukur dari kebijakan harga, distribusi, dan impor bias kepada kelompok kepentingan pemerintah. Hal ini ditunjukkan oleh besaran bobot politik Bulog yang paling tinggi, diikuti oleh kelompok kepentingan produsen, dan kelompok konsumen sebagai kelompok yang menerima preferensi politik terendah. Intervensi pasar beras yang dilakukan Bulog telah menimbulkan distorsi pasar yang ditunjukkan oleh timbulnya rente ekonomi, kesejahteraan sosial yang hilang, sehingga pencapaian swasembada memerlukan biaya sosial yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan swasembada tidak efisien dan berbiaya tinggi karena biaya sosial yang timbul. Semakin besar bobot politik kelompok kepentingan pemerintah dan produsen, maka tingkat swasembada yang tercapai semakin tinggi. Semakin besar bobot politik kelompok kepentingan konsumen, maka biaya sosial swasembada semakin besar dan tingkat swasembada yang tercapai semakin rendah. Swasembada berkelanjutan dapat dicapai dengan partisipasi aktif kelompok kepentingan pemerintah dan produsen, sehingga biaya sosial akibat peran aktif kelompok konsumen dapat diminimalkan. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah kebijakan perberasan ke depan harus lebih memihak kelompok produsen karena kelompok tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga yang dicerminkan oleh nilai elastisitas penawaran. Harga merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keputusan petani menanam padi. Sebaliknya, kelompok konsumen tidak sensitif terhadap perubahan harga karena beras merupakan makanan pokok dan bahkan menjadi barang normal. Peran pemerintah melalui Bulog masih diperlukan dan perlu direposisi untuk meminimalisasi distorsi pasar akibat aktivitas perburuan rente oleh pemburu rente selain Bulog. Sementara itu, pedagang swasta hendaknya dilibatkan dalam aktivitas pengadaan melalui mekanisme kemitraan plasma dan inti. Penelitian ekonomi politik tentang swasembada secara spasial menurut wilayah surplus dan defisit beras perlu dilakukan untuk mengetahui wilayah sumber rente ekonomi yang umumnya terjadi di daerah konsumsi/defisit beras.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcAgricultural economicsid
dc.subject.ddcPolitical economicsid
dc.subject.ddc2014id
dc.subject.ddcIndonesiaid
dc.titleAnalisis Ekonomi Politik Swasembada Beras di Indonesiaid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordekonomi politikid
dc.subject.keywordkebijakanid
dc.subject.keywordpreferensi politikid
dc.subject.keywordswasembada berasid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record