dc.description.abstract | Teknologi reproduksi berbantuan secara in vitro seperti IVM dan IVF
memberi suatu pendekatan penyelamatan materi genetik dari hewan genetik
unggul atau hewan hampir punah yang mati secara tiba-tiba. Pemanfaatan materi
genetik ini memerlukan suatu teknik penanganan koleksi dan preservasi yang
tepat untuk mempertahankan viabilitas oosit sehingga dapat dimaturasi hingga
berkembang menjadi embrio selanjutnya. Keterbatasan paling utama dalam
penanganan sampel yaitu jauhnya lokasi sampel dari laboratorium sehingga
sampel tidak dapat segera diperoses. Penyimpanan ovarium pada suhu yang tepat
secara fisiologis mampu mempertahankan viabilitas oosit dan mampu
berkembang secara in vitro. Penyimpanan ovarium pada suhu 4°C pada beberapa
jenis hewan mampu berkembang secara in vitro. Presevasi pada suhu 4°C mampu
menekan proses metabolisme sel, akibatnya meminimalkan kebutuhan metabolik
sehingga meningkatkan ketahanan folikel dalam pengurangan nutrisi dan oksigen
selama preservasi in vitro. Periode dan suhu penyimpanan ovarium setelah
kematian hewan sangat berpengaruh terhadap potensi perkembangan oosit
selanjutnya dan bersifat spesifik terhadap setiap jenis spesies, sehingga penelitian
ini bertujuan mengetahui kompetensi maturasi in vitro oosit dan kajian
mikroskopis ovarium domba pasca penyimpanan ovarium pada suhu 4°C.
Penelitain tahap 1 yaitu tingkat maturasi inti oosit domba pasca
penyimpanan ovarium pada suhu 4°C dengan melihat kualitas dan tingkat
kematangan inti oosit. Ovarium yang diperoleh dari RPH diangkut dengan media
transportasi larutan fisiologis 0.9% dengan campuran penicilin 100 IU/l +
streptomycin 0,1 g/l dibagi secara acak menjadi 4 kelompok: kelompok kontrol
(H-0) yaitu pada suhu 34-36°C kemudian dimasukkan ke dalam termos, ovarium
yang lainnya disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam (Kelompok H-1), 48 jam
(Kelompok H-2), 72 jam (Kelompok H-3) dan 96 jam (Kelompok H4). Oosit
kemudian dikoleksi dengan cara pencacahan (slicing) dengan media phosphate
buffered saline (PBS) 10% yang ditambahkan dengan 0.3% bovine serum albumin
(BSA), 100 IU/ml penicilin dan 0.1 g/ml streptomycin. Selanjutnya oosit
dikoleksi berdasarkan keadaaan kekompakan sel-sel kumulus, kehomogenan dari
sitoplasma dan dipisahkan berdasarkan gradenya yaitu grade A, grade B, grade
C dan oosit yang sudah mengalami degenerasi/fragmentasi. Oosit dengan grade A
dan B kemudian dicuci sebanyak dua kali dengan medium maturasi dan
dimaturasi pada incubator 5% CO2, pada temperatur 38.5°C selama 24 jam.
Media maturasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tissue culture medium
(TCM) yang ditambahkan pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) 10
IU/ml, human chorionic gonadotrophin (hCG) 10 IU/ml, gentamycin 50 μg/ml
dan bovine serum albumin (BSA) 0.4%. Evaluasi tingkat kematangan oosit in
vitro dengan cara oosit didenudasi dengan bantuan enzim hyaluronidase 0.25%,
kemudian difiksasi asam asetat dan etanol (1:3) selama 2-3 hari. Evaluasi tingkat
kematangan inti dinilai dengan menghitung jumlah oosit pada setiap tahap
pembelahan meiosis. Status inti oosit dikelompokkan menjadi tahap germinal
vasicle (GV), metaphase I (MI), dan metaphase II (MII. Penelitian tahap 2 kajian
histologi jaringan ovarium pasca penyimpanan pada suhu 4°C dimana sampel
ovarium pasca penyimpanan dicuci dengan NaCl fisiologi 0.9%, lalu dimasukkan
dalam larutan fiksatif Paraformaldehide 4% selama 5 hari. Selanjutnya jaringan
diproses dehidrasi, clearing dan embedding. Organ yang berada di dalam blok
parafin dipotong dengan mikrotom pada ketebalan 5 μm. Hasil potongan sampel
jaringan yang diperoleh diwarnai dengan hematoksilin-eosin (HE) untuk melihat
struktur ovarium secara mikroskopis. Hasil pewarnaan kemudian diamati dan
didokumentasikan menggunakan mikroskop cahaya CH-21 (Olympus, Japan)
yang dilengkapi dengan peralatan mikrofotografi Dinoeye (Dinolite, Taiwan).
Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan terdapat penurunan yang signifikan
(P<0.05) pada jumlah oosit dengan kualitas A setelah hari kedua penyimpanan.
Jumlah oosit dengan grade A dari ovarium yang disimpan selama 1 hari, masih
mempunyai jumlah yang sama dengan kontrol (P< 0.05). Perolehan oosit grade A
semakin menurun setelah hari keempat penyimpanan dibandingkan hari kedua,
dan ketiga (P<0.05). Seiiring dengan penurunan jumlah oosit grade A, terjadi
peningkatan jumlah oosit yang mengalami degenerasi yang dimulai pada hari
ketiga pasca penyimpanan ovarium (P<0.05). Persentase tingkat maturasi inti
oosit domba pada penyimpanan suhu 4°C mengalami pola yang sama dengan nilai
kualitas oosit, terdapat penurunan yang signifikan (P<0.05) terhadap persentase
tingkat pematangan inti yang mencapai MII setelah penyimpanan hari kedua.
Tingkat pematangan inti yang mencapai MII pada penyimpanan hari 1,
mempunyai nilai yang tidak berbeda nyata dengan lama waktu penyimpanan
dengan kontrol (P<0.05). Seiiring dengan penurunan jumlah oosit yang mencapai
MII, terjadi peningkatan jumlah oosit yang mengalami degenerasi pada hari ketiga
dan keempat pasca penyimpanan ovarium (P<0.05).
Penelitian tahap 2 menunjukkan hasil pengamatan histoligi, ditemukan
bahwa pada kelompok kontrol dan satu hari atau 24 jam setelah penyimpanan
ovarium, menunjukkan folikel masih dalam keadaan intak dengan sitoplasma
yang homogen dan sel granulosa tertata dan masih beraturan. Gambaran
morfologi yang terlihat pada pada dua hari atau 48 jam setelah penyimpanan
ovarium sel granulosa masih tertata dan beraturan, akan tetapi sitoplasma yang
tidak homogen dan oosit mengalami koagulasi. Tiga hari atau 72 jam setelah
penyimpanan ovarium, folikel sudah tidak intak, oosit pengalami piknosis,
sitoplasma kurang homogen, sel granulosa tidak beraturan dan membran sel ruptur.
Demikian juga pada ovarium yang disimpan selama 4 hari atau 96 jam dimana
ditemukan folikel yang tidak intak, oosit pengalami piknosis dan mengkerut,
sitoplasma kurang homogen, sel granulosa tidak beraturan dan membran sel
rupture. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lama penyimpanan
mengindikasikan adanya penurunan kualitas oosit dan penurunan persentase
tingkat maturasi inti oosit mencapai MII setelah penyimpanan 24 jam serta terjadi
peningkatan persentase oosit yang mengalami degenerasi. Terjadi perubahan
struktur sel dan degenerasi dari oosit pada gambaran histologi ovarium. | id |