Show simple item record

dc.contributor.advisorAgil, Muhammad
dc.contributor.advisorSupriatna, Iman
dc.contributor.advisorPurwantara, Bambang
dc.contributor.advisorEngelhardt, Antje
dc.contributor.authorGholib
dc.date.accessioned2017-08-10T08:08:29Z
dc.date.available2017-08-10T08:08:29Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/87812
dc.description.abstractMonyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) merupakan satwa endemik yang telah dikategorikan sebagai satwa terancam punah (critically endangered). Populasi M. nigra mengalami penurunan yang tajam sehingga upaya untuk melindungi dan meningkatkan populasi penting dilakukan. Oleh karena itu, data terkait dengan reproduksi dan kajian tentang stres sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kebuntingan, parturasi (waktu melahirkan), dan monitoring stres secara non-invasif melalui pengukuran hormon dari sampel feses dan pengamatan fisik berupa sex skin coloration di area perineal. Penelitian dibagi atas 4 tahap yaitu (1) validasi beberapa enzyme immunoassays (EIAs) untuk pengukuran metabolit hormon steroid yaitu estrogen EIAs (estrone conjugate/E1C, estradiol/E2, dan total estrogen/Etotal), progesteron EIAs (pregnanediol-3-glucuronide/PdG, progesterone, dan pregnanolone), dan glukokortikoid EIAs (cortisol, 3α,11-oxo-etiocholanolone/11-oxo-CM, dan 3α,11β-hydroxy-etiocholanolone/11β-hydroxy-CM); (2) validasi metode pengawetan, ekstraksi, dan penyimpanan sampel feses; (3) penentuan kebuntingan dan parturasi berdasarkan sex skin coloration dan analisis hormon; dan (4) pengukuran hormon stres selama periode siklus menstruasi, bunting, dan laktasi. Penelitian dilakukan di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara (1⁰ 33' N, 125⁰10' E),terhadap 12 betina bunting M. nigra kelompok Rambo 1. Hasil penelitian tahap 1, rerata (±STD) konsentrasi metabolit estrogen (fEM) pada awal fase follikuler, fase subur (ovulasi), dan fase luteal pada masing-masing EIAs adalah: E1C (33,85±8,74ng/g; 73,89±4,54ng/g; dan 39,18±10,53ng/g); E2 (50,12±24,40 ng/g; 164,13±91,48ng/g; dan 39,39±9,84ng/g); Etotal (81,44±24,71ng/g; 163,67±41,07; dan 78,15±25,65ng/g). Hasil validasi tiga estrogen EIAs, konsentrasi fEM pada fase follikuler dari E1C lebih stabil dengan profil yang lebih baik dibandingkan dua EIAs lainnya. Rerata (±STD) konsentrasi metabolit progesteron (fPM) pada fase follikuler dan fase luteal pada masing-masing EIAs adalah: PdG (0,94±0,66ug/g dan 1,83±0,67ug/g), progesterone (1,31±0,91ug/g dan 3,56±1,32ug/g), pregnanolone (0,76±0,28ug/g dan 3,96±1,65ug/g). Hasil validasi tiga progesteron EIAs, konsentrasi fPM dari pregnanolone pada fase follikuler lebih stabil dibandingkan dua EIAs lainnya. Hasil uji validasi glukokorticoid EIAs menunjukkan konsentrasi metabolit glukokortikoid (fGCM) pada semua EIAs yang digunakan meningkat pada hari ke 2-3 setelah cekaman. Namun, pada 11β-hydroxy-CM, persentase respon stres lebih tinggi dibandingkan 11-oxo-CM dan cortisol berturut-turut (256,15%, 225,13%, dan 234,45%) Hasil penelitian tahap 2, konsentrasi fEM lebih tinggi, sedangkan fGCM lebih rendah pada feses yang diawetkan 10 jam setelah dikoleksi dibandingkan kontrol (feses langsung diawetkan pada suhu -20OC; p<0,05). Penyimpanan jangka panjang pada feses dalam pelarut methanol 80% (MeOH) menyebabkan peningkatan yang nyata pada konsentrasi fEM dan fGCM masing-masing setelah bulan ke-4 dan ke-6 (p<0,05). Pengeringan feses menggunakan metode oven-drying pada suhu 50OC, 70OC, and 90OC tidak berpengaruh terhadap konsentrasi fEM (p>0,05), tetapi pengeringan pada suhu 90OC menyebabkan konsentrasi fGCM lebih rendah dibandingan pada suhu 50OC, dan 70OC (p<0,05). Pembekuan/pencairan berulang (freeze-thaw cycles) pada ekstrak feses menyebabkan peningkatan konsentrasi fEM setelah 8 kali freeze-thaw cycles dan 4 kali freeze-thaw cycles pada fGCM (p<0,05). Tiga jenis metode pengawetan feses (freeze-drying, field friendly extraction, dan oven drying) dan pelarut ekstraksi (MeOH, etanol/EtOH, dan alkohol komersial/propanol/isopropyl alcohol) menghasilkan konsentrasi fEM dan fGCM yang tidak berbeda (P>0,05). Hasil penelitian tahap 3, intensitas warna sex skin coloration mengalami perubahan pada awal minggu keempat setelah detumescent (hari ketika swelling mulai mengkerut) menjadi merah keputihan (light pink) dengan rasio nilai R/G (red/green) = 1,67±0,12 jika betina tidak bunting dan menjadi merah dengan rasio nilai R/G (red/green) =1,94±0,16 jika betina bunting. Intensitas warna merah tersebut menjadi merah gelap (reddish) sejalan dengan umur kebuntingan dan menjadi merah keunguan (magenta) dengan rasio nilai B/R (blue/red) =0,28±0,11 satu minggu sebelum parturasi. Perubahan intensitas warna tersebut diikuti dengan peningkatan konsentrasi fEM pada minggu keempat kebuntingan dengan rerata (118,90±16,90ng/g) lebih tinggi dari baseline fEM selama fase follikuler (70,8±5,64ng/g) dan terus meningkat sampai menjelang parturasi (p<0,05). Rerata konsentrasi fGCM pada trimester pertama kebuntingan (403,38±62,75ng/g), dan trimester kedua kebuntingan (596,41±107,80ng/g) lebih rendah dibandingan konsentrasi fGCM pada trimester ketiga kebuntingan (1086,23±125,66ng/g) dan meningkat sangat tajam satu minggu sebelum melahirkan (1911,84±171,22ng/g). Hasil penelitian tahap 4, konsentrasi fGCM pada betina bunting secara nyata lebih tinggi (814,20±139,1ng/g) dibandingkan dengan konsentrasi fGCM pada betina siklus dan laktasi berturut-turut 388,19±60,59ng/g, dan 403,13±39,34ng/g (p<0,05). Kesimpulan: 1) E1C, pregnanolone , dan 11β-hydroxy-CM merupakan EIAs yang paling tepat digunakan untuk mengukur konsentrasi fEM,fPM, dan fGCM; 2) waktu pengawetan sampel feses, penyimpanan jangka panjang feses dalam pelarut MeOH 80%, dan jumlah freeze-thaw cycles mempengaruhi stabilitas konsentrasi fEM dan fGCM. Metode freeze-drying, field frienly extraction, dan oven drying yang dikombinasikan dengan pelarut ekstraksi MeOH, EtOH, dan alkohol komersial menghasilkan konsentrasi fEM dan fGCM yang sama; 3) perubahan intensitas warna sex skin coloration dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan pada awal minggu keempat setelah detumescent yaitu menjadi merah dengan rasio nilai R/G =1,94±0,16. Perubahan intensitas warna sex skin coloration dan konsentrasi fGCM juga dapat digunakan untuk deteksi waktu parturasi satu minggu sebelum parturasi yaitu menjadi merah keunguan (magenta) dengan rasio nilai B/R=0,28±0,11 dengan konsentrasi fGCM=1911,84±171,22 ng/g; 4) status reproduksi betina berpengaruh terhadap konsentrasi fGCM yang mana konsentrasi fGCM pada betina bunting lebih tinggi dibandingkan betina siklus dan laktasi. Hasil ini memberikan kontribusi penting baik secara langsung atau tidak langsung terhadap program pemuliaan dan konservasi pada spesies ini.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcAnimal husbandryid
dc.subject.ddcVeterinary scienceid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcBogor, Jawa Baratid
dc.titleDeteksi Kebuntingan, Parturasi dan Monitoring Stress secara Non-Invasif pada Monyet Hitam Sulawesi Betina (Macaca Nigra)id
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordMonyet hitam Sulawesiid
dc.subject.keywordsex skin colorationid
dc.subject.keywordkebuntinganid
dc.subject.keywordkelahiranid
dc.subject.keywordstressid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record