Show simple item record

dc.contributor.advisorWiendi, Ni Made Armini
dc.contributor.advisorMathius, Nurita Toruan
dc.contributor.authorNirwana, Irwan
dc.date.accessioned2017-07-18T06:23:14Z
dc.date.available2017-07-18T06:23:14Z
dc.date.issued2017
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/87505
dc.description.abstractPerbanyakan klonal kelapa sawit secara in vitro dikembangkan dengan metode embriogenesis tidak langsung melalui pembentukan kalus dan proliferasi embrioid. Proliferasi embrioid diinduksi melalui subkultur berulang. Proses ini berpotensi menimbulkan terjadinya variasi somaklonal pada ramet-ramet yang dihasilkan yang menyebabkan ramet tidak identik secara genetik, sehingga fenotipe beragam dan berpengaruh terhadap produktivitas. Oleh sebab itu, perlu adanya jaminan bahwa ramet-ramet yang dihasilkan identik dengan ortetnya. Variasi somaklonal dapat dideteksi lebih awal melalui analisis kemiripan genetik menggunakan marka Simple Sequence Repeat (SSR). Sampel DNA dari delapan ortet dengan 60 ramet per ortet diekstraksi menggunakan metode Kit Nucleospin Plant IITM. Enam puluh ramet dipilih secara acak untuk mewakili setiap ortet, yang terdiri dari 20 ramet dari setiap periode subkultur embrioid yang dianalisis (subkultur ke-8, ke-11 dan ke-14). Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan 16 pasang primer SSR melalui 35 siklus reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction). Hasil amplifikasi diseparasi menggunakan QIAxcel system. Pita-pita DNA hasil separasi kemudian diubah menjadi data kodominan maupun data biner sesuai format perangkat lunak yang digunakan (PowerMarker dan NTSys), untuk menganalisis polimorfisme setiap perimer dan kemiripan genetik ramet-ramet dengan ortetnya. Proliferasi embrioid berhasil diinduksi melalui subkultur berulang sebanyak 18 kali, pada media yang sesuai dengan protokol produksi. Frekuensi proliferasi embrioid selama 18 kali subkultur mengikuti kurva perumbuhan sigmoid yang terdiri dari lima fase, yaitu fase lag (subkultur 1-2), fase exponential (subkultur 2-5), fase linear (subkultur 5-8), fase deceleration (subkultur 8-11) dan fase stationary (subkultur 12- 18). Frekuensi proliferasi embrioid tertinggi diperoleh pada akhir fase deceleration atau awal fase stationary (subkultur ke-11). Analisis polimorfisme menunjukkan sembilan dari 16 primer SSR bersifat polimorfik dan informatif, yaitu mEgCIR0059, mEgCIR3869, mEgCIR2387, mEgCIR2414, mEgCIR3639, mEgCIR0192, mEgCIR2569, mEgCIR3683 dan mEgCIR2224. Primer mEgCIR2569 mempunyai nilai PIC tertinggi (0.8), sehingga lokus SSR dari primer ini dapat dijadikan kandidat marka terbaik dalam mendeteksi variasi genetik pada populasi ramet yang diuji. Penelitian ini menunjukkan bahwa kestabilan genetik ramet dipengaruhi oleh genotipe ortet. Analisis kemiripan genetik menunjukkan bahwa ortet 399 dan 412 menghasilkan sebanyak 100 % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya hingga subkultur ke-14. Ortet 398 dan 367 menghasilkan sebanyak 90-100 % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya dari setiap periode subkultur. Seluruh ramet dari ortet 398 dan 367 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik 71-78 % dengan ortetnya masing-masing. Ortet 340 menghasilkan ramet yang bersifat identik dengan ortetnya sebanyak 95 % ramet dari subkultur ke-8 dan ke-14, dan 0 (nol) % dari subkultur ke-11. Seluruh ramet dari ortet 340 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik 91 % dengan ortetnya. Ortet 356, 369 dan 395 ii menghasilkan sebanyak 15-100 % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya dari setiap periode subkultur. Seluruh ramet dari ortet 356, 369 dan 395 yang tidak bersifat identik mempunyai kemiripan genetik 69-97 % dengan ortetnya masingmasing. Frekuensi subkultur embrioid memiliki pengaruh yang besar terhadap frekuensi variasi somaklonal pada ramet-ramet dari ortet 356, 369 dan 395, dengan nilai korelasi sebesar 0.69 (p-value: 0.039). Semakin banyak frekuensi subkultur maka semakin bertambah frekuensi variasi somaklonal pada ramet-rametnya yang dihasilkan. Frekuensi variasi somaklonal yang meningkat diduga berhubungan dengan meningkatnya tingkat proliferasi embrioid, yaitu mulai dari fase exponential sampai fase deceleration (subkultur 2-11). Semakin tinggi frekuensi proliferasi embrioid pada periode subkultur ke-2 sampai ke-11, maka semakin bertambah frekuensi variasi somaklonal pada ramet-rametnya, termasuk pada ramet-ramet dari subkultur ke-8, ke-11 dan ke-14, sebagai hasil perkecambahan embrioid yang berproliferasi diantara subkultur ke-2 sampai ke-11. Selain proliferasi sel embrionik, proliferasi sel pada pembentukan kalus dan perkembangan sel embrionik membentuk embrioid dewasa diduga juga dapat menginduksi variasi somaklonal pada ramet yang dihasilkan. Terbentuknya variasi somaklonal dari tahap pembentukan kalus diduga terjadi pada saat aktivitas pembelahan sel terjadi sangat cepat, yaitu pada fase logarithmic sampai pada awal fase plateau atau stationary. Pada tahapan perkembangan embrioid somatik kelapa sawit Tenera, ditemukan variasi somaklonal yaitu berupa terbentuknya dua embrioid yang menjadi satu pada fase torpedo. Ortet 399 dan 412 menghasilkan sebanyak 100 % ramet yang bersifat identik dengan ortetnya hingga subkultur ke-14. Dengan demikian genotipe 399 dan 412 merupakan genotipe dengan tingkat kestabilan genetik tertinggi dan berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai sumber eksplan daun dalam perbanyakan klon kelapa sawit melalui teknik kultur jaringan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcHirticultureid
dc.subject.ddcOil palmid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcBogor-Jawa Baratid
dc.titleAnalisis Kestabilan Genetik Ramet Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Hasil Embriogenesis Somatik Menggunakan SSRid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordkestabilan genetikid
dc.subject.keywordproliferasi embrioidid
dc.subject.keywordsubkultur embrioidid
dc.subject.keywordvariasi somaklonalid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record