dc.description.abstract | Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, salah satu
kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia adalah sumberdaya hutan.
Potensi sumber daya hutan pada kawasan hutan produksi yang cukup besar
seharusnya dikelola dengan prinsip pengelolaan hutan secara lestari, sehingga
sektor kehutanan dapat memberikan dampak yang positif bagi perekonomian
nasional, lingkungan dan sosial. Namun pengelolaan hutan di Indonesia sampai
dengan saat ini masih menimbulkan permasalahan antara lain semakin tingginya
tingkat deforestasi dan degradasi lingkungan dan kontribusi yang rendah terhadap
perekonomian nasional. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan
secara lestari oleh pemerintah belum berjalan dengan baik.
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kebijakan pemerintah mengenai
penetapan harga patokan yang diindikasikan menjadi salah satu penyebab
rendahnya penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sehingga kontribusi
sub sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional menjadi rendah. Tujuan
umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kebijakan pemerintah mengenai
penetapan harga patokan kayu bulat meranti, sedangkan tujuan khusus dari
penelitian ini adalah menghitung harga patokan kayu bulat meranti dengan
menggunakan metode residual dan cost plus pricing, mengestimasi penerimaan
Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) berdasarkan harga patokan kayu bulat
meranti yang berlaku dibandingkan dengan harga patokan kayu bulat meranti
hasil penelitian, menganalisis kebijakan penetapan harga patokan kayu bulat
meranti dan menganalisis implementasi metode perhitungan harga patokan kayu
bulat meranti hasil penelitian. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode residual, cost plus pricing dan analisis deskriptif kualitatif dan
kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai harga patokan kayu bulat
meranti yang dihitung dengan metode residual yang memungkinkan digunakan
pemerintah adalah pada rasio keuntungan 7% untuk wilayah Sumatera yaitu
sebesar Rp1.153.312,17, pada rasio keuntungan 12% untuk wilayah Kalimantan
yaitu sebesar Rp1.078.293,83 dan pada rasio keuntungan 7% untuk wilayah Papua
yaitu sebesar Rp905.922,30. Sedangkan nilai harga patokan kayu bulat meranti
yang dihitung dengan metode cost plus pricing yang memungkinkan untuk
digunakan pemerintah adalah pada rasio keuntungan 7% untuk wilayah Sumatera
yaitu sebesar Rp1.442.935,60, pada rasio keuntungan 7% dan 12% untuk wilayah
Kalimantan yaitu berturut-turut sebesar Rp1.406.468,24 dan Rp1.472.191,06, dan
pada rasio keuntungan 7% untuk wilayah Papua yaitu sebesar Rp1.367.266,30.
Harga patokan kayu bulat meranti yang dihitung dengan metode residual pada
rasio keuntungan 7% dan 12% akan menghasilkan kenaikan penerimaan PSDH
berturut-turut sebesar 73,04% dan 70,09%. Harga patokan kayu bulat meranti
yang dihitung dengan metode cost plus pricing pada rasio keuntungan 7% dan
12% akan menghasilkan kenaikan penerimaan PSDH berturut-turut sebesar
124,72% dan 132,23%, 141,52% dan 152,03%.
Pemerintah dapat meningkatkan penerimaan PSDH melalui kebijakan penetapan
harga patokan kayu bulat meranti yang tepat. Kebijakan penetapan harga patokan
kayu bulat meranti dapat digunakan pemerintah sebagai kontrol terhadap
pengelolaan hutan, sehingga melalui kebijakan tersebut, pemerintah dan pelaku
usaha sektor kehutanan bisa mendapatkan rente ekonomi dari pengelolaan hutan.
Dengan adanya peningkatan penerimaan PSDH, maka penerimaan tersebut dapat
digunakan pemerintah untuk meminimalisir dan memperbaiki kerusakan hutan
dan untuk memperbaiki iklim usaha sektor kehutanan ke arah yang lebih baik. | id |