Show simple item record

dc.contributor.advisorRahayu, Winiati P
dc.contributor.advisorDewantihariyadi, Ratih
dc.contributor.authorCitanirmala, Ni Made Vina
dc.date.accessioned2017-01-30T07:49:56Z
dc.date.available2017-01-30T07:49:56Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82789
dc.description.abstractPala adalah salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia yang sering ditemukan terkontaminasi aflatoksin sehingga menyebabkan penolakan ekspor oleh Uni Eropa (UE). Kementerian Pertanian berupaya mendorong agar pelaku usaha dapat menghasilkan pala yang aman dengan menerbitkan Permentan nomor 53 tahun 2012 sebagai pedoman penanganan pascapanen pala Penelitian bertujuan untuk (1) mengevaluasi data penolakan pala karena aflatoksin oleh UE selama kurun waktu 5 tahun terakhir, (2) mengevaluasi penerapan Peraturan Menteri Pertanian No. 53 Tahun 2012 (Permentan No.53/2012) tersebut di tingkat petani, pengumpul, eksportir dan pembina pusat dan daerah, serta (3) mengidentifikasi tahap kritis penanganan pala. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Siau Barat, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara sebagai salah satu sentra produksi pala Siau ekspor. Metode penelitian dilakukan dengan (1) mengevaluasi data penolakan pala Indonesia oleh UE dengan merekam kandungan aflatoksin pala yang ditolak dan membandingkannya dengan standar Indonesia (2) mengevaluasi Penerapan Permentan No.53/2012 terhadap aspek panen, pascapanen, sarana dan prasarana, pelestarian lingkungan serta pengawasan melalui survei. Survei dilakukan terhadap 60 petani, 10 pengumpul, 2 eksportir dan 3 pembina teknis melalui wawancara, (3) identifikasi tahap kritis menggunakan bantuan pohon keputusan pada prinsip HACCP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 73% kasus penolakan pala oleh UE karena mengandung aflatoksin dalam jumlah melebihi standar aflatoksin di Indonesia (20 ppb). Kadar aflatoksin yang melebihi standar diduga karena pala tercemar kapang toksigenik saat panen dan pascapanen. Oleh sebab itu praktik penanganan panen dan pascapanen pala pada rantai pasok pala harus diperbaiki. Hasil evaluasi penerapan Permentan 53/2012 menunjukkan pada praktik penanganan pala di tingkat petani yang masih kurang pada aspek pascapanen (54.4%) meskipun cukup (70.4%) pada aspek panen. Kurangnya penanganan pala pada aspek pascapanen di tingkat petani disebabkan minimnya aspek sarana dan prasarana (57.2%). Di tingkat pengumpul praktik penanganan pala pada aspek pascapanen dinilai cukup (62.5%), namun kurang didukung oleh aspek sarana dan prasarana (36.7%). Penanganan pala sudah diterapkan sesuai Permentan No.53/2012 oleh eksportir, namun penerapan pengawasan oleh pembina masih kurang dan baru 56.3% yang sesuai. Untuk mengendalikan kontaminasi aflatoksin maka pengawasan pada rantai pasok pala perlu dilakukan seluruh oleh stakeholder terutama pada tujuh tahap kritis pasok pala yang meliputi pemanenan dan pengeringan di tingkat petani, penerimaan, pengeringan dan penyimpanan di tingkat pengumpul serta penerimaan dan pengiriman di tingkat eksportir.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcChemical technologyid
dc.subject.ddcFood technologyid
dc.subject.ddc2014id
dc.subject.ddcBogor-JABARid
dc.titleKajian Penerapan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 53 Tahun 2012 Untuk Pengendalian Aflatoksin Pada Rantai Pasok Palaid
dc.typeThesisid
dc.subject.keywordaflatoksinid
dc.subject.keywordkecamatan Siau Baratid
dc.subject.keywordpalaid
dc.subject.keywordPermentan 53 tahun 2012id
dc.subject.keywordrantai pasokid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record