dc.description.abstract | Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bencana yang berulang
hampir setiap tahun di Sumatra dan Kalimantan. Salah satu kejadian terbesar adalah
pada tahun 1997/98 dimana kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di seluruh
Sumatra dan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat. Dampak yang dihadapi
akibat kebakaran hutan dan lahan terutama adalah masalah asap yang tidak hanya
mengganggu kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas perekonomian
masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan juga menyebabkan degradasi lahan dan
fungsinya. Tingginya dampak kebakaran hutan dan lahan tentunya memerlukan
tindakan untuk meminimalkan kejadian kebakaran.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji risiko kebakaran hutan dan lahan di
Propinsi Kalimantan Barat menggunakan analisis iklim ekstrim dan analisis
kerentanan. Dalam analisis iklim ektrim, informasi data iklim hitoris dan proyeksi
diperoleh melalui dynamical downscaling menggunakan model iklim regional
RegCM4.4. Data curah hujan luaran model RegCM.4.4 untuk Kalimantan Barat
secara umum menunjukkan nilai lebih tinggi (overestimate). Oleh karena itu
diperlukan proses koreksi bias data luaran model RegCM.4.4 sebelum digunakan
dalam analisis iklim ekstrim. Proses koreksi dilakukan melalui dua tahap yaitu (1)
koreksi bias data curah hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasi
dan (2) koreksi bias data luaran model RegCM4.4 menggunakan data curah hujan
CHIRPS yang sudah dikoreksi. Analisis kerentanan dilakukan dengan metode
analisis pemetaan komposit (composite mapping analysis) yang menghubungkan
hotspot dengan 11 (sebelas) indikator penentu kerentanan. Indikator mewakili
komponen tingkat keparahan dan sensitivitas, sedangkan komponen kemampuan
adaptif dianggap konstan.
Hasil analisis koreksi bias tahap pertama menunjukkan bahwa data curah
hujan CHIRPS memiliki kemiripan dengan data curah hujan observasi. Nilai faktor
koreksi untuk data curah hujan CHIRPS berkisar antara 0.82 – 1.26. Pada analisis
koreksi tahap kedua, dari simulasi koreksi bias pertama kami mendapati bahwa
koreksi bias menggunakan regresi linier yang digunakan untuk seluruh bulan tidak
memperbaiki distribusi spasial dan pola hujan. Begitu pula pada simulasi kedua
yang menggunakan regresi linier tetapi untuk setiap bulan tidak mampu
memperbaiki pola hujan spasial. Namun demikian, dengan menggunakan regresi
polynomial seperti pada simulasi ketiga dan keempat, koreksi bias menunjukkan
hasil yang lebih baik terutama dengan regresi polinomial orde 3. Lebih dari itu,
regresi polinomial orde 3 yang dikombinasikan dengan nilai intersep yang
dikembalikan pada titik (0,0) seperti pada simulasi kelima memberikan hasil yang
terbaik sehingga digunakan untuk melakukan analisis iklim dan kekeringan lahan.
Kekeringan lahan di Kalimantan Barat pada periode historis (periode tahun
1981-2005) secara umum memiliki hubungan dengan kondisi anomali hujan. Akan
tetapi kekeringan dengan intensitas kuat terjadi pada tahun El-Nino. Pada periode
proyeksi (periode tahun 2016-2040), kondisi kekeringan diproyeksikan akan terjadi
sebanyak (7) tujuh kali yaitu periode tahun 2017/2018, periode tahun 2021/2022,
periode tahun 2023/2024, periode tahun 2026/2027, periode tahun 2029/2030,
periode tahun 2033/2034 dan periode tahun 2037/2038. Periode kekeringan
diproyeksikan akan berulang setiap 2 hingga 5 tahun sekali. Periode ulang tersebut
berkaitan dengan kejadian El-Nino yang juga memiliki periode ulang 2 hingga 5
tahun.
Dari hasil analisis hujan ekstrim kering dapat diketahui bahwa tingkat curah
hujan ekstrim kering berada pada wilayah selatan dan sepanjang wilayah pantai
barat Kalimantan Barat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh curah hujan tahunan di
Kalimantan Barat yang berkisar antara 1753 – 4861 mm. Curah hujan rendah terjadi
pada di wilayah bagian selatan dan wilayah pantai barat Propinsi Kalimantan Barat,
sedangkan curah hujan tinggi umumnya berada pada wilayah bagian timur yang
memiliki tutupan lahan hutan primer. Kondisi topografi dan tutupan lahan
mempengaruhi curah hujan. Wilayah dataran rendah yang berbatasan dengan pantai
memiliki curah hujan lebih rendah dibandingkan daratan diluar pantai. Di lain sisi,
adanya vegetasi di wilayah hutan primer mengakibatkan siklus hidrologi terjadi
pada wilayah hutan primer lebih intensif.
Pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa indikator penggunaan lahan memberikan pengaruh sebesar
24.09% dalam menentukan tingkat kerentanan. Dilihat secara keseluruhan, faktor
biofisik (ketebalan gambut, tutupan lahan dan sistem lahan) memberikan pengaruh
sebesar 49.85% dibandingkan faktor aktivitas manusia (jarak dari jalan, jarak dari
sungai dan jarak dari pusat desa/kota) sebesar 16.0% dan faktor sosial ekonomi
(Kepadatan penduduk, PDRB, luas HTI, luas HGU dan luas HPH) sebesar 34.15%.
Hasil analisis model kerentanan menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat
kerentanan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi terjadi pada tutupan lahan
berupa perkebunan dan hutan rawa sekunder. Kerentanan sangat tinggi juga terjadi
pada lahan gambut dengan ketebalan 50 – 200 cm.
Hasil analisis risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa pola sebaran tingkat risiko sama dengan pola sebaran tingkat
kerentanan. Wilayah yang sangat berisiko terjadi kebakaran hutan dan lahan
utamanya berada pada wilayah perkebunan dan lahan gambut yang telah dikeloka.
Pada wilayah hutan primer di bagian timur Kalimantan Barat tidak berisiko
terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi, apabila akses menuju
suatu lokasi dapat mudah dijangkau oleh masyarakat, tidak menutup kemungkinan
wilayah yang berisiko kebakaran hutan dan lahan semakin luas.
Melihat kondisi diatas menunjukkan bahwa lokasi kebakaran hutan dan lahan
berada pada lokasi yang hampir sama dalam 15 tahun terakhir. Kondisi ini
setidaknya dapat diketahui dari sebaran hotspot pada tahun 2002, 2006 dan 2009 di
Kalimantan Barat. Lokasi yang dimaksud adalah lahan perkebunan, rawa sekunder
dan lahan gambut di wilayah selatan dan sepanjang pantai barat Kalimantan Barat.
Pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan dan pertanian disinyalir
mempengaruhi kondisi kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, di masa
mendatang perlu adanya pengelolaan lahan yang lebih baik oleh berbagai pihak
sehingga kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalkan. | id |