Show simple item record

dc.contributor.advisorMurdiyarso, Daniel
dc.contributor.advisorFaqih, Akhmad
dc.contributor.authorJadmiko, Syamsu Dwi
dc.date.accessioned2017-01-30T07:18:12Z
dc.date.available2017-01-30T07:18:12Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82652
dc.description.abstractKebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bencana yang berulang hampir setiap tahun di Sumatra dan Kalimantan. Salah satu kejadian terbesar adalah pada tahun 1997/98 dimana kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di seluruh Sumatra dan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat. Dampak yang dihadapi akibat kebakaran hutan dan lahan terutama adalah masalah asap yang tidak hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan juga menyebabkan degradasi lahan dan fungsinya. Tingginya dampak kebakaran hutan dan lahan tentunya memerlukan tindakan untuk meminimalkan kejadian kebakaran. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji risiko kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat menggunakan analisis iklim ekstrim dan analisis kerentanan. Dalam analisis iklim ektrim, informasi data iklim hitoris dan proyeksi diperoleh melalui dynamical downscaling menggunakan model iklim regional RegCM4.4. Data curah hujan luaran model RegCM.4.4 untuk Kalimantan Barat secara umum menunjukkan nilai lebih tinggi (overestimate). Oleh karena itu diperlukan proses koreksi bias data luaran model RegCM.4.4 sebelum digunakan dalam analisis iklim ekstrim. Proses koreksi dilakukan melalui dua tahap yaitu (1) koreksi bias data curah hujan CHIRPS menggunakan data curah hujan observasi dan (2) koreksi bias data luaran model RegCM4.4 menggunakan data curah hujan CHIRPS yang sudah dikoreksi. Analisis kerentanan dilakukan dengan metode analisis pemetaan komposit (composite mapping analysis) yang menghubungkan hotspot dengan 11 (sebelas) indikator penentu kerentanan. Indikator mewakili komponen tingkat keparahan dan sensitivitas, sedangkan komponen kemampuan adaptif dianggap konstan. Hasil analisis koreksi bias tahap pertama menunjukkan bahwa data curah hujan CHIRPS memiliki kemiripan dengan data curah hujan observasi. Nilai faktor koreksi untuk data curah hujan CHIRPS berkisar antara 0.82 – 1.26. Pada analisis koreksi tahap kedua, dari simulasi koreksi bias pertama kami mendapati bahwa koreksi bias menggunakan regresi linier yang digunakan untuk seluruh bulan tidak memperbaiki distribusi spasial dan pola hujan. Begitu pula pada simulasi kedua yang menggunakan regresi linier tetapi untuk setiap bulan tidak mampu memperbaiki pola hujan spasial. Namun demikian, dengan menggunakan regresi polynomial seperti pada simulasi ketiga dan keempat, koreksi bias menunjukkan hasil yang lebih baik terutama dengan regresi polinomial orde 3. Lebih dari itu, regresi polinomial orde 3 yang dikombinasikan dengan nilai intersep yang dikembalikan pada titik (0,0) seperti pada simulasi kelima memberikan hasil yang terbaik sehingga digunakan untuk melakukan analisis iklim dan kekeringan lahan. Kekeringan lahan di Kalimantan Barat pada periode historis (periode tahun 1981-2005) secara umum memiliki hubungan dengan kondisi anomali hujan. Akan tetapi kekeringan dengan intensitas kuat terjadi pada tahun El-Nino. Pada periode proyeksi (periode tahun 2016-2040), kondisi kekeringan diproyeksikan akan terjadi sebanyak (7) tujuh kali yaitu periode tahun 2017/2018, periode tahun 2021/2022, periode tahun 2023/2024, periode tahun 2026/2027, periode tahun 2029/2030, periode tahun 2033/2034 dan periode tahun 2037/2038. Periode kekeringan diproyeksikan akan berulang setiap 2 hingga 5 tahun sekali. Periode ulang tersebut berkaitan dengan kejadian El-Nino yang juga memiliki periode ulang 2 hingga 5 tahun. Dari hasil analisis hujan ekstrim kering dapat diketahui bahwa tingkat curah hujan ekstrim kering berada pada wilayah selatan dan sepanjang wilayah pantai barat Kalimantan Barat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh curah hujan tahunan di Kalimantan Barat yang berkisar antara 1753 – 4861 mm. Curah hujan rendah terjadi pada di wilayah bagian selatan dan wilayah pantai barat Propinsi Kalimantan Barat, sedangkan curah hujan tinggi umumnya berada pada wilayah bagian timur yang memiliki tutupan lahan hutan primer. Kondisi topografi dan tutupan lahan mempengaruhi curah hujan. Wilayah dataran rendah yang berbatasan dengan pantai memiliki curah hujan lebih rendah dibandingkan daratan diluar pantai. Di lain sisi, adanya vegetasi di wilayah hutan primer mengakibatkan siklus hidrologi terjadi pada wilayah hutan primer lebih intensif. Pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa indikator penggunaan lahan memberikan pengaruh sebesar 24.09% dalam menentukan tingkat kerentanan. Dilihat secara keseluruhan, faktor biofisik (ketebalan gambut, tutupan lahan dan sistem lahan) memberikan pengaruh sebesar 49.85% dibandingkan faktor aktivitas manusia (jarak dari jalan, jarak dari sungai dan jarak dari pusat desa/kota) sebesar 16.0% dan faktor sosial ekonomi (Kepadatan penduduk, PDRB, luas HTI, luas HGU dan luas HPH) sebesar 34.15%. Hasil analisis model kerentanan menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi terjadi pada tutupan lahan berupa perkebunan dan hutan rawa sekunder. Kerentanan sangat tinggi juga terjadi pada lahan gambut dengan ketebalan 50 – 200 cm. Hasil analisis risiko kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa pola sebaran tingkat risiko sama dengan pola sebaran tingkat kerentanan. Wilayah yang sangat berisiko terjadi kebakaran hutan dan lahan utamanya berada pada wilayah perkebunan dan lahan gambut yang telah dikeloka. Pada wilayah hutan primer di bagian timur Kalimantan Barat tidak berisiko terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi, apabila akses menuju suatu lokasi dapat mudah dijangkau oleh masyarakat, tidak menutup kemungkinan wilayah yang berisiko kebakaran hutan dan lahan semakin luas. Melihat kondisi diatas menunjukkan bahwa lokasi kebakaran hutan dan lahan berada pada lokasi yang hampir sama dalam 15 tahun terakhir. Kondisi ini setidaknya dapat diketahui dari sebaran hotspot pada tahun 2002, 2006 dan 2009 di Kalimantan Barat. Lokasi yang dimaksud adalah lahan perkebunan, rawa sekunder dan lahan gambut di wilayah selatan dan sepanjang pantai barat Kalimantan Barat. Pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan dan pertanian disinyalir mempengaruhi kondisi kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, di masa mendatang perlu adanya pengelolaan lahan yang lebih baik oleh berbagai pihak sehingga kebakaran hutan dan lahan dapat diminimalkan.id
dc.language.isoidid
dc.publisherBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcClimatologyid
dc.subject.ddcClimate Projectionid
dc.subject.ddc2015id
dc.subject.ddcKalimantan Baratid
dc.titleRisiko Kebakaran Hutan Dan Lahan Berdasarkan Kajian Proyeksi Iklim Di Kalimantan Baratid
dc.typeThesisid
dc.subject.keyworddynamical downscalingid
dc.subject.keywordkoreksi biasid
dc.subject.keywordcurah hujan ekstrim keringid
dc.subject.keywordpemodelan kerentananid
dc.subject.keywordtingkat risiko kebakaranid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record