Show simple item record

dc.contributor.advisorSoewardi, Kadarwan
dc.contributor.advisorFahrudin, Achmad
dc.contributor.advisorKamal, M. Mukhlis
dc.contributor.advisorSatria, Arif
dc.contributor.authorTaryono
dc.date.accessioned2017-01-30T06:51:26Z
dc.date.available2017-01-30T06:51:26Z
dc.date.issued2016
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/82537
dc.description.abstractSebagian besar perikanan pesisir di Indonesia telah mengalami tangkap lebih. Sehingga nelayan sulit bertahan, tetapi juga sulit untuk mengembangkan perikanan yang lebih jauh karena keterbatasan armada, modal dan keahlian. Sedangkan budidaya laut, disamping membutuhkan biaya besar, juga membutuhkan kepastian input, keahlian memadai serta perubahan kultur pola menangkap menjadi pola budidaya. Salah satu usaha meningkatkan produktivitas perikanan pesisir adalah dengan sea ranching, yang menggabungkan perikanan tangkap dan budidaya. Namun implementasi sea ranching membutuhkan perubahan paradigma dan pola pengelolaan sumberdaya pesisir. Sehingga kemudian perlu dilakukan perumusan konsep sea ranching dan kelembagaan pengelolaannya di Indonesia. Berdasar penelitian sebelumnya, salah satu lokasi potensial untuk sea ranching kerapu adalah di perairan Semak Daun, Kep. Seribu. Penelian ini bertujuan untuk merumuskan model konseptual, merumuskan biaya dan manfaat, merumuskan pola interaksi dan tindakan antar aktor dan merumuskan kelembagaan yang tepat bagi pengelolaan dan pengembangan sea ranching di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan rumusan model umum sea ranching, dengan mempelajari kasus sea ranching di perairan dangkal P. Semak Daun KAKS. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan, wawancara, diskusi mendalam dan diskusi kelompok dengan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat di Kel. P Panggang, KAKS. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan analisis dilakukan dengan menggunakan metode kausalitas, analisis biaya manfaat secara langsung dan harga pasar serta analisis kelembagaan IAD dipadukan dengan analisis DPSIR. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa sea ranching merupakan kegiatan berbasis ekosistem, mempunyai dimensi alamiah (natural) dan dimensi sosial. Model sea ranching mempunyai elemen : (1) pelepasan ekosistem, (2) ekosistem yang sehat dan wilayah perairan demarkatif, (3) Sistem hak sumberdaya yang efektif, dan (4) kelembagaan yang efektif. Komponen model pengembangan sea ranching : (1) kesesuaian lokasi, (2) kepastian spasial, (3) sistem hak, (4) rencana pengelolaan, (5) tata laksana. Sedangkan tata laksana mempunyai unsur : (1) legitimasi, (2) transparansi, (3) pengendalian akses, (4) pendanaan otonom dan berkelanjutan, (5) aransemen kelembagaan. Potensi penerimaan penerimaan sea ranching mencakup : (1) penjualan hasil ikan tangkapan, dan (2) pengelolaan kegiatan wisata. Biaya yang diperlukan untuk pengelolaan sea ranching : (1) biaya langsung operasional, (2) biaya transaksi, dan (3) biaya pengelolaan wisata. Biaya transaksi meliputi : (1) biaya mendapatkan informasi, (2) biaya pengawasan, (3) biaya pelatihan, (4) biaya resolusi konflik, (5) biaya menghadiri pertemuan, (6) biaya pengambilan keputusan, dan (7) biaya pengawasan dan penegakan. Pada lokasi yang mempunyai karakteristik kepulauan, potensi bangkitan ekonomi sea ranching sebagian besar akan dinikmati oleh ekonomi lokal. Aktor dalam pengelolaan sea ranching dapat dikelompokan menjadi pendukung, penyedia jasa dan pengguna. Relasi antar aktor bisa bersifat sinergis (positip) tetapi juga antagonistis (negatif). Relasi antar aktor dan interaksi dengan pengelolaan sea ranching dapat bersifat menguatkan atau sebaliknya melemahkan pengelolaan sea ranching. Komponen model kelembagaan sea ranching mencakup : (1) karakteristik sumberdaya (alam, fisik, karakteristik masyarakat, modal sosial dan finansial), (2) Aturan main dan pengambilan keputusan, (3) Aksi dan situasi aksi aktor/lembaga dan (4) dampak yang ditimbulkan (pada ekosistem perairan, kesejahteraan sosial masyarakat dan keuangan untuk pengelolaan). Untuk mendukung pola sea ranching, pengelolaan wilayah harus berbasis hak sumberdaya dengan instrumen pengelolaan berbasis teritorial (TURF). Agar tercipta kondisi ini, maka diperlukan perubahan pada rejim pengelolaan sumberdaya, rejim hak sumberdaya pada tingkat kebijakan makro yang berimplikasi pada perubahan rejim sumberdaya. Untuk mendukung kelembagaan yang efektif, maka diperlukan legitimasi kelembagaan. Komponen yang mendukung legitimasi tersebut meliputi aspek politis, ilmiah/saintifik, regulatif dan moralitas. Kelembagaan yang efektif perlu mendapatkan dukungan pilar kelembagaan yang meliputi aspek regulatif, normatif dan kognitif.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subject.ddcOceanographyid
dc.subject.ddcCoastal areaid
dc.subject.ddc2015id
dc.subject.ddcKepulauan Seribu-Jakartaid
dc.titlePengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea-Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu-Dki Jakartaid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordbiaya transaksiid
dc.subject.keywordkelembagaanid
dc.subject.keywordsea ranchingid
dc.subject.keywordhak sumberdayaid
dc.subject.keywordlegitimasiid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record