Formulasi Indeks Kerentanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Pulau-Pulau Kecil; Kasus Di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Abstract
Masyarakat yang bermukim di pulau-pulau kecil mengalami kesulitan
dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh
keterbatasan sumber daya air yang disebabkan oleh karakteristik hidrologi,
topografi, jenis tanah, dan iklim. Kondisi kualitas air yang kurang baik dan volume
air yang terbatas merupakan fenomena umum ditemukan di pulau-pulau kecil.
Untuk mengetahui tingkat kerentanan sumber daya air di pulau-pulau kecil, telah
dilakukan kajian pengembangan berbagai formulasi indeks. Akan tetapi, sebagian
besar indeks kerentanan tersebut cenderung bersifat parsial dan terfokus pada satu
aspek atau dimensi tertentu. Penelitian ini menyusun indeks kerentanan pemenuhan
kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil secara komprehensif. Tujuan dari penelitian
ini adalah : (1) mengetahui tingkat konsumsi, ketersediaan serta potensi kekurangan
air bersih di pulau-pulau kecil; (2) menganalisis status keberlanjutan pemenuhan
kebutuhan air bersih pulau-pulau kecil secara berkelanjutan; (3) memformulasikan
indeks kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil; (4)
menganalisis pola adaptasi masyarakat pulau-pulau kecil dalam menghadapi krisis
air.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif
yang bersifat positivistik-deduktif. Namun, dalam ragamnya termasuk ke dalam
penelitian penjelasan (explanatory confirmatory research). Formulasi indeks
kerentanan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil dilakukan
dengan literatur review, analisis hubungan fungsional dimensi dan parameter
terpilih, serta menilai kerentanan. Sebelum merumuskan indeks kerentanan,
dilakukan analisis Rapid Appraisal Water (RAP-Water) untuk menilai
keberlanjutan pemenuhan kebutuhan air bersih di pulau-pulau kecil. Data yang
dipergunakan untuk analisis indeks kerentanan dan analisis keberlanjutan meliputi
data primer dan sekunder. Untuk data primer, unit analisisnya adalah masyarakat di
daerah krisis air pulau kecil, sedangkan unit observasinya adalah kepala rumah
tangga. Dengan menggunakan teknik pengambilan sampel multi-stage random
sampling didapatkan responden sebanyak 257. Adapun data sekunder diperoleh
dari dinas dan instansi terkait, seperti data curah hujan, ketersediaan air, jumlah
bencana, kepadatan penduduk, data penduduk miskin, tutupan lahan dan
sebagainya. Lokasi penelitian berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebagai
sampel lokasi, 3 pulau terpilih, yaitu: Pulau Ende, Pulau Solor dan Pulau Semau.
Analisis status keberlanjutan menggunakan lima dimensi beserta atributnya
yakni ekologi (7 atribut), ekonomi (4 atribut), sosial (4 atribut), institusional (5
atribut), dan teknologi/infrastruktur (3 atribut) ternyata cukup baik digunakan
sebagai basis pengambilan kebijakan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kestabilan
dari model. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa sistem yang dibangun cukup
memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dan dapat digunakan untuk mengukur
keberlanjutan keberadaan air bersih di pulau-pulau kecil. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa pada dimensi ekologi, diantara tujuh atribut yang paling
iv
sensitif adalah catchment area/tutupan lahan, proximasi geografis terhadap sumber
air, dan curah hujan. Sementara itu, pada dimensi ekonomi diantara empat atribut,
yang paling sensitif adalah harga air bersih, tingkat kemiskinan, dan WTP
masyarakat terhadap air bersih. Demikian pula, pada dimensi sosial diantara empat
atribut, yang paling sensitif adalah konflik pemanfaatan sumber daya air dan peran
CSR dalam penyediaan air bersih. Selanjutnya, pada dimensi institusi diantara
empat atribut, yang paling sensitif adalah perencanaan pengelolaan air bersih dan
peraturan pengelolaan (tata kelola). Sedangkan pada dimensi infrastruktur/
teknologi, di antara tiga atribut yang paling sensitif adalah teknologi pengelolaan
air.
Dalam formulasi indeks kerentanan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih
ditemukan 14 parameter dengan dimensi masing-masing (1) tujuh parameter
kapasitas adaptif, (2) tiga parameter sensivitas, dan (3) empat parameter
ketersingkapan. Hasil penerapan pada tiga pulau kecil ditemukan bahwa indeks
kerentanan yang tertinggi adalah pulau Solor (0,60), kemudian pulau Ende (0,46),
dan terendah pulau Semau (0,39). Namun, tidak semua dimensi mengalami tingkat
kerentanan yang tinggi pada setiap pulau. Dimensi kapasitas adaptif merupakan
yang paling rentan di pulau Solor, dimensi sensivitas yang paling rentan di pulau
Semau, dan dimensi singkapan merupakan yang paling rentan di pulau Ende.
Pola adaptasi masyarakat dalam menghadapi krisis air adalah membuat bak
atau memanfaatkan bak penampungan air hujan (PAH), baik secara swadaya
maupun yang berasal dari bantuan pihak luar. Temuan yang menarik adalah
semakin bantuan tersebut bersifat komunal semakin mampu memupuk modal sosial
masyarakat dalam mengatasi krisis air, sebaliknya bantuan yang bersifat individual
justru melemahkan modal sosial masyarakat. Terdapat pola daya lenting
masyarakat pulau-pulau kecil dalam pemenuhan kebutuhan air bersih yaitu daya
lenting yang berbasis modal sosial dan berbasis modal ekonomi. Masing-masing
daya lenting tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Ditemukan juga daya
lenting yang berbasis modal sosial tinggi cenderung berasal dari mereka yang
tergolong pada modal ekonomi yang rendah.
Pendekatan community based water resilience dilakukan untuk merespon
kerentanan air pulau-pulau kecil sehingga program-program yang dilaksanakan
dapat terintegrasi secara berkelanjutan. Juga diperlukan kebijakan yang
komprehensif dan holistik dengan melibatkan berbagai stakeholder.