Model Kebijakan Pemanfaatan Mangrove Sebagai Bahan Baku Arang Oleh Masyarakat Di Batu Ampar, Kalimantan Barat
View/ Open
Date
2016Author
Ritabulan
Basuni, Sambas
Santoso, Nyoto
M. Bismark
Metadata
Show full item recordAbstract
Pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang adalah salah satu mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Batu Ampar. Namun pemanfaatan ini tergolong ilegal karena hutan yang dimanfaatkan berstatus hutan lindung dan diindikasi telah menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove di Kecamatan Batu Ampar. Keberadaan hutan produksi di sekitar Kecamatan Batu Ampar beserta skema-skema pemanfaatan hasil hutan kayu bagi masyarakat yang telah disediakan oleh pemerintah pada kenyataannya belum juga menjadi solusi bagi permasalahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi dan menganalisis hambatan implementasi kebijakan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat melalui Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm); mengidentifikasi dan menganalisis hambatan implementasi kebijakan pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat melalui kemitraan kehutanan; mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab masyarakat masih melakukan illegal access dalam pengambilan kayu untuk bahan baku arang; mengidentifikasi dan memetakan stakeholders dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang; dan mengidentifikasi dan menganalisis rule in use dalam pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.
Penelitian ini dilaksanakan pada 3 desa di di Kecamatan Batu Ampar, yaitu Desa Batu Ampar, Desa Nipah Panjang dan Desa Teluk Nibung. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, mulai November 2014 sampai Desember 2015. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan, wawancara mendalam (in depth interview), telaah dokumen dan kajian literatur. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, analisis deskriptif kualitatif, analisis stakeholders, dan analisis deskriptif dengan pendekatan konsep Teori Akses dan Rule in Use. Sintesis data menggunakan pendekatan metode analisis perumusan masalah dan Teori Rasional-Komprehensif.
Penelitian menemukan hasil bahwa kegagalan implementasi HTR, Hutan Desa dan HKm disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat pengrajin terhadap isi peraturan, rendahnya kualitas SDM masyarakat pengrajin, dan tidak adanya sanksi tegas bagi pelaku pemanfaat hasil hutan tanpa ijin. Untuk Hutan Desa dan HKm juga disebabkan karena belum adanya pelaksanaan tugas dan fungsi dari aparat pemerintah sebagai pihak pelaksana kebijakan. Sementara kegagalan Kemitraan Kehutanan terutama disebabkan oleh isi peraturan belum mengatur kemitraan dalam bentuk pemanfaatan hasil hutan kayu. Penyebab lainnya adalah kurangnya pengetahuan pengrajin arang terhadap peraturan; rendahnya kualitas SDM pengrajin arang; dan minimnya pengetahuan dan skill pengrajin dalam memproduksi arang berkualitas.
Faktor penyebab masyarakat masih melakukan illegal access terhadap kawasan hutan lindung adalah kehadiran para penampung (cukong), baik penampung-pemodal yang berperan dalam menyediakan modal bagi pengrajin, maupun penampung-pembeli yang berperan menyediakan pasar. Pada aspek
stakeholders, pihak-pihak yang berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat yaitu: (1) stakeholders subject (masyarakat pengguna sumberdaya, pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan perusahaan swasta); dan (2) key players (Dinas Kehutanan Propinsi; BPPHP; BP DAS; Dinas Perkebunan Kehutanan dan Pertambangan; BPKH; BAPPEDA; LSM; polisi kehutanan; perguruan tinggi dan KKMD).
Aturan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat, terdiri dari: (1) aturan pada kelembagaan formal, yaitu: aturan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan turunannya yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu (UU 41/1999, PP 38/2007, Permenhut P.55/Menhut-II/2011, Permenhut P.89/Menhut-II/2014, Permenhut P.88/Menhut-II/2014, dan SE.5/MenLHK/2015); dan (2) aturan yang digunakan (rule in use) pada kelembagaan lokal. Masing-masing aturan pada rule in form dan rule in use tidak bersesuaian satu sama lain (incompatibility). Hal ini disebabkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya sebagai pihak pelaksana dinilai belum mampu merealisasikan program HTR, HD atau HKm pada kawasan hutan produksi yang telah disediakan. Penyebab lainnya adalah rumitnya aturan dalam mengurus ijin pemanfaatan HHK melalui skema tersebut bagi masyarakat.
Model kebijakan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat secara berkelanjutan merekomendasikan alternatif kebijakan peningkatan sistem kerja key player. Kebijakan ini dinilai sebagai alternatif kebijakan terbaik yang dapat dijalankan saat ini untuk menyelesaikan permasalahan pemanfaatan mangrove sebagai bahan baku arang oleh masyarakat di Kecamatan Batu Ampar.