Efisiensi Dan Kesenjangan Teknologi Usahatani Padi Sawah Di Indonesia: Analisis Meta-Frontier.
View/ Open
Date
2016Author
Junaedi, Mohammad
Daryanto, Heny K. S.
Sinaga, Bonar M.
Hartoyo, Sri
Metadata
Show full item recordAbstract
Karakteristik antarwilayah yang berbeda-beda menyebabkan penggunaan teknologi yang berbeda dalam usahatani padi sawah di Indonesia. Setiap wilayah akan menggunakan ukuran jumlah produksi maksimal (frontier) wilayah masing-masing sebagai acuan (benchmark) dalam mengukur efisiensi usahataninya. Adanya kesenjangan teknologi tersebut menyebabkan ukuran efisiensi masing-masing wilayah tidak dapat diperbandingkan sehingga memungkinkan terjadinya bias jika digunakan dalam penentuan kebijakan dalam skala yang lebih luas yang melibatkan antarwilayah. Salah satu bias yang mungkin terjadi adalah benarkah suatu wilayah sudah bisa dikatakan efisien dibandingkan wilayah lain jika menggunakan ukuran efisiensi yang tidak terbanding?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi dan kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia dengan pendekatan fungsi produksi meta-frontier. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat produksi dan menganalisis efisiensi teknis usahatani padi sawah di Indonesia, (2) menganalisis kesenjangan teknologi usahatani padi sawah di Indonesia, serta (3) menganalisis efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi usahatani padi sawah di Indonesia.
Penelitian ini mengunakan data 4202 petani padi sawah pada 4 wilayah di Indonesia yang diperoleh dari Survei Struktur Ongkos Usahatani tahun 2011 yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2011. Untuk menyelidiki bahwa ukuran tingkat efisiensi di 4 wilayah tersebut tidak bisa saling dibandingkan, maka pada penelitian ini digunakan analisis meta-frontier.
Secara umum semua koefisien variabel fungsi produksi sesuai harapan bernilai positif dan signifikan. Luas lahan (ha) di semua wilayah sangat dominan dalam memengaruhi produksi padi sawah, dibandingkan variabel tenaga kerja, dan pupuk. Kesepuluh variabel sosial ekonomi dalam penelitian ini berpengaruh beragam terhadap inefisiensi usahatani padi di setiap wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa mempertimbangkan aspek kesenjangan teknologi maka di semua wilayah bisa dianggap efisien jika menggunakan batasan minimal 70 persen, namun jika digunakan batas minimal 80 persen maka hanya wilayah Bali yang belum efisien dalam usahataninya. Jika menggunakan frontier lokal masing-masing wilayah sebagai acuan, secara rata-rata wilayah Sumatera merupakan wilayah yang paling efisien dengan nilai efisiensi teknis sebesar 95.71 persen dan wilayah Bali merupakan wilayah paling tidak efisien dengan nilai efisiensi teknis sebesar 78.47 persen.
Nilai rata-rata rasio kesenjangan teknologi (TGR) beragam antar wilayah, mulai dari 83.83 persen di wilayah Bali hingga 94.19 persen di wilayah Sumatera. Berdasarkan nilai rata-rata TGR wilayah Sumatera kesenjangan teknologinya paling kecil, artinya penggunaan teknologi di Sumatera relatif lebih baik dibandingkan wilayah lain. Sementara TGR wilayah Bali sebesar 83.83 persen dapat diartikan bahwa petani di wilayah Bali dengan kondisi teknologi yang tersedia secara rata-rata menghasilkan padi sebesar 83.83 persen dari produksi
padi potensial di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis (TE*) di semua wilayah setelah mempertimbangkan aspek kesenjangan teknologi menjadi lebih rendah dibandingkan nilai efisiensi teknis (TE) dengan acuan frontier masing-masing wilayah. Wilayah Sumatera efisiensi teknisnya turun menjadi sebesar 90.15 persen. Wilayah Jawa menjadi 84.76 persen dan wilayah Bali turun efisiensi teknisnya menjadi 65.76 persen. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk kebijakan di suatu wilayah diperlukan penjelasan khusus bahwa penggunaan ukuran efisiensi teknis yang didasarkan pada ukuran frontier suatu wilayah tidak dapat diperbandingkan dengan wilayah lain.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara alokatif rata-rata usahatani di seluruh wilayah di Indonesia (kecuali wilayah Bali) belum efisien secara alokatif, dan hal ini mengakibatkan usahatani di seluruh wilayah di Indonesia belum efisien secara ekonomi. Permasalahan rendahnya efisiensi ekonomi petani padi sawah di Indonesia juga bersumber dari kurang tepatnya alokasi penggunaan input sehingga menyebabkan total biaya yang mahal. Masalah rendahnya efisiensi ekonomi juga dipicu dari faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh petani, seperti harga input yang mahal dan harga gabah yang cenderung murah. Hal ini menyebabkan berkurangnya keuntungan petani, dan berkurangnya keuntungan petani akan mengurangi kesejahteraan petani yang diharapkan akan menjadi tulang punggung pasokan pangan nasional.
Peningkatan produktivitas usahatani padi sawah tetap perlu didorong karena ini merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan kesejahteraan petani padi sawah. Peningkatan produktivitas bisa dicapai dengan cara penggunaan teknologi yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi. Karenanya untuk bisa mendorong besaran efisiensi ekonomi petani padi sawah di seluruh wilayah agar semakin meningkat, maka kebijakan yang bisa mendorong peningkatan besaran efisiensi alokatif perlu diprioritaskan dibandingkan kebijakan peningkatan besaran efisiensi teknis agar kebijakan yang diterapkan bisa efektif.
Kebijakan yang bisa meningkatkan besaran efisiensi alokatif adalah kebijakan peningkatan peran lembaga penyuluhan dalam meningkatkan kemampuan petani padi sawah agar lebih efisien dalam mengalokasikan penggunaan input-inputnya sesuai standar dan anjuran dalam berusahatani padi sawah. Peranan lembaga penyuluhan juga perlu ditingkatkan fungsinya agar tidak hanya fokus kepada aspek teknis usahatani, namun juga bisa berperan dalam penyebarluasan informasi terkait harga-harga, teknologi terkini yang tepat guna dan informasi pasar lainnya. Selain itu diperlukan penguatan kebijakan terkait perlindungan harga-harga input agar lebih terjangkau oleh petani dan pengamanan harga gabah agar - saat panen dan menjual gabahnya - petani tidak merugi dan mendapat insentif untuk tetap mau bertani. Jika petani sudah efisien dalam mengalokasikan inputnya sesuai standar anjuran dan harga input terkendali dengan baik, maka petani akan memperoleh produktivitas yang tinggi sehingga penerimaannya juga akan meningkat, sementara total biaya usahatani yang dikeluarkan juga akan menurun, dan hal ini pada akhirnya akan meningkatkan keuntungan petani. Dengan adanya peningkatan keuntungan maka diharapkan akan terjadi peningkatan kesejahteraan petani.