dc.description.abstract | Pengembangan dan peningkatan produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii
sangat penting perannya dalam upaya memenuhi permintaan berbagai industri yang
memanfaatkan rumput laut sebagai bahan dasar produksinya. Indonesia sebagai
salah satu negara produsen terbesar, harus mampu menjamin kualitas dan kuantitas
produksi budidaya rumput laut dalam rangka persaingan antar produsen rumput laut
di dunia. Budidaya merupakan jalan utama dalam mengupayakan pencapaian
produksi massal rumput laut. Namun demikian, kegiatan budidaya seringkali
dihadapkan suatu masalah terbesar, yakni munculnya wabah penyakit rumput laut.
Penyakit semakin dipandang sebagai faktor utama dalam ekologi laut dan
dampaknya diperkirakan akan meningkat dengan perubahan lingkungan seperti
pemanasan global. Disertasi ini fokus pada pemahaman sebuah "pemutihan"
(bleaching) penyakit ice-ice pada makroalga merah Kappaphycus alvarezii,
terutama pada musim panas dengan pendugaan suhu yang meningkat dan kepadatan
bakteri yang semakin melimpah. Penyakit ice-ice diduga dapat dihasilkan secara in
vitro oleh kombinasi dari peningkatan suhu dan kehadiran bakteri patogen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji: a) jenis bakteri dari rumput laut yang
terserang penyakit ice-ice, b) patogenisitas secara in vitro bakteri patogen dengan
menggunakan mikropropagul, c) performa secara morfologi dan mikroskopis pada
rumput laut yang diinkubasi pada suhu panas dan penginfeksian beberapa jenis
bakteri patogen dengan konsentrasi bakteri yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan melalui metode eksperimen dengan tiga tahapan.
Tahapan I: isolasi bakteri dan identifikasi dengan pengujian biokimia dan molekuler
melalui sekuensing untuk mengidentifikasi spesies dari bakteri pada rumput laut
yang terserang penyakit ice-ice; Tahapan II: Perlakuan penginfeksian bakteri
patogen dengan jenis bakteri yang berbeda untuk menentukan tingkat patogenisitas
bakteri patogen terhadap rumput laut; Tahapan III: Perlakuan kombinasi suhu
dengan jenis dan konsentrasi bakteri yang berbeda untuk mengevaluasi performa
morfologi dan mikroskopis jaringan rumput laut K. alvarezii.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lebih dari satu jenis bakteri
yang teridentifikasi pada K. alvarezii yang terserang penyakit ice-ice, yakni
Shewanella haliotis strain DW01, Vibrio alginolyticus strain ATCC 17749,
Stenotrophomonas maltophilia strain IAM 12323, Arthrobacter nicotiannae DSM
20123, Pseudomonas aeruginosa strain SNP0614, Ochrobactrum anthropic strain
ATCC 49188, Catenococcus thiocycli strain TG 5-3 dan Bacillus subtilis
subsp.spizizenii strain ATCC 6633. Dari kedelapan jenis bakteri tersebut, sebanyak
lima jenis (62,5%) masuk dalam kelompok Gammaproteobacteria, lainnya masingmasing
satu jenis bakteri (12,5%) adalah Alphaproteobacteria, Firmicutes, dan
Actinobacteria. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar jenis bakteri
penyebab penyakit ice-ice adalah Proteobacteria.
Uji patogenisitas bakteri dilakukan secara in vitro dengan menggunakan
mikropropagul hasil kultur jaringan yang diinfeksikan dengan kedelapan jenis
bakteri hasil riset tahap pertama. Seperti yang ditemukan dalam penelitian
vi
sebelumnya, terdapat delapan jenis bakteri yang mungkin berasosiasi dengan penyakit ice-ice. Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat patogenisitas dari isolat pada mikropropagul K.alvarezii dengan gejala serangan ice-ice berdasarkan gejala klinis, morfologi dan jaringan rumput laut. Mikropropagul berukuran 2-4 cm direndam dalam air laut yang mengandung 106 bakteri cfu / ml untuk menentukan patogenisitas. Timbulnya gejala ice-ice diamati setiap hari secara visual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang paling cepat menimbulkan bleaching pada mikropropagul adalah Stenotrophomonas maltophilia (5 jam pascainfeksi), sedangkan paling lambat adalah dengan V. alginolyticus (44 jam pascainfeksi). Bakteri lainnya dapat menyebabkan gejala ice-ice yakni 15-21 jam pascainfeksi. Selanjutnya, bakteri Shewanella Haliotis dan V. alginolyticus ditemukan di talus sehat. Ini adalah studi pertama yang melaporkan S.maltophilia terkait dengan penyakit ice-ice pada K. alvarezii, dan bakteri ini mungkin berguna terhadap penelitian khususnya terkait produksi rumput laut tahan terhadap penyakit ice-ice. Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk menginvestigasi asosiasi bakteri dengan faktor lingkungan yang menyebabkan penyakit ice-ice pada K. alvarezii. Penyebab timbulnya suatu penyakit tidak hanya akibat perubahan lingkungan, melainkan juga adanya peran bakteri yang saling berinteraksi dengan lingkungan. Interaksi faktor lingkungan (suhu dan salinitas) dan bakteri diduga dapat memperparah penyakit pada inang termasuk rumput laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek interaksi suhu dan salinitas dengan bakteri patogen terhadap timbulnya penyakit ice-ice pada rumput laut. K. alvarezii ditimbang masing-masing sebanyak 50-51 g (untuk 39 akuarium), dikultur di dalam akuarium (ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm) dengan suhu air 25 C dan 28 C serta penginfeksian bakteri S. maltophilia dengan konsentrasi 100-106 cfu/ml ke media pemeliharaan (salinitas 30 g/L). Perlakuan salinitas 28 g/L, 30 g/L, dan 35 g/L dengan penginfeksian bakteri yang sama (konsentrasi bakteri 106) dan suhu pemeliharaan 28 oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput laut yang diinfeksi bakteri S. maltophilia dan diinkubasi pada suhu 28 C menunjukkan penurunan bobot lebih besar, dan jumlah cabang talus yang bleaching lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan suhu 25 C. Pada kedua suhu menunjukkan signifikan terhadap jumlah bleaching pada semua bagian talus, sedangkan perlakuan konsentrasi yang berbeda hanya menunjukkan signifikan terhadap jumlah bleaching di talus sekunder, dan tidak signifikan terhadap jumlah bleaching di talus primer dan tersier. Selanjutnya, untuk interaksi konsentrasi bakteri dan suhu tidak menunjukkan signifikan baik terhadap penurunan bobot basah dan jumlah bleaching pada setiap bagian talus rumput laut K.alvarezii. Lama waktu transmisi penyakit (waktu selama perlakuan) berpengaruh terhadap struktur morfologi K. alvarezii yang menunjukkan kondisi parah di hari keempat. Salinitas 28, 30, dan 35 g/L menunjukkan penurunan bobot yang sama pada talus. Sedangkan, jumlah bleaching yang tinggi pada talus sekunder dan tersier ditunjukkan pada salinitas 28 dan 35 g/L. Kondisi jaringan talus pada awal dan akhir pengamatan dapat dibedakan dengan jumlah protoplasma sel menurun dan jarak antar sel yang sangat renggang. Faktor lingkungan suhu dan salinitas dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Hasil riset ini belum mengungkapkan secara detail interaksi antar faktor biotik dan abiotik dalam menyebabkan penyakit ice-ice sehingga kedepannya perlu dilakukan analisa lebih lanjut untuk menginvestigasi efek interaksi kedua faktor tersebut. | id |