dc.description.abstract | Penyakit Streptococcosis utamanya disebabkan oleh bakteri S. agalactiae.
Bakteri ini termasuk Gram positif dan bagian yang bersifat virulen adalah
eksotoksin dari produk ekstraseluler (ECP). Bakteri S. agalactiae merupakan
salah satu bakteri yang berbahaya dan menyebabkan kematian massal pada
budidaya ikan nila. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengaruh pemberian
vaksin gabungan sel utuh dan ECP bakteri S. agalactiae isolat N14G pada induk
terhadap kualitas benih yang dihasilkan serta mengkaji potensi vaksinasi benih
yang dihasilkan guna peningkatan kualitas benih kedepannya. Tiga tahapan
penelitian dirancang untuk mencapai tujuan dari penelitian ini.
Pertama, untuk menentukan waktu vaksinasi induk terbaik berdasarkan
tingkat kematangan gonad. Tahap perkembangan gonad per satuan waktu
ditentukan melalui pengambilan contoh gonad ikan dewasa. Pengambilan contoh
gonad dan plasma darah dimulai sesaat setelah memijah (0 hari), dan dilanjutkan
setiap 7 hari hingga ikan memijah kembali. Pengamatan perkembangan gonad
secara makroskopik dilakukan langsung di lapangan dengan menggunakan
spesimen segar, dan dilanjutkan dengan analisis menggunakan metode histologi.
Analisis level vitelogenin (VTG) plasma secara kualitatif selama siklus reproduksi
menggunakan metode SDS-PAGE. Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi level
IgM dalam telur dan benih dari induk yang divaksin pada 7 hari dan 14 hari
pascapemijahan. Vaksin yang digunakan adalah vaksin gabungan sel utuh dan
produk ekstraseluler dari bakteri S. agalactiae. Vaksin disuntikkan sebanyak 0,4
ml per kg ikan dengan konsentrasi vaksin 109 CFU/ml. Level IgM induk, telur,
dan benih dianalisis menggunakan metode indirect ELISA. Hasil pengamatan
perkembangan gonad menunjukkan bahwa awal vitelogenesis (Tingkat
Kematangan Gonad/TKG 2) ditemukan pada pengambilan contoh hari ke 7
pascapemijahan sebelumnya, dan puncak vitelogenesis (TKG 3) ditemukan pada
pengambilan contoh hari ke 14 pascapemijahan. Level IgM (optical density,
ELISA) dari induk yang divaksin pada 7 hari pascamijah dalam telur
(0.165±0.003) dan benih umur 7, 14, 21 dan 28 hari pascapenetasan (berturutturut
0.163±0.002; 0.162±0.006, 0.155±0.006, dan 0.140±0.008) signifikan lebih
tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan telur dan benih yang berasal dari induk yang
divaksin pada 14 hari pascamijah dan induk tanpa vaksinasi hingga akhir
pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa, waktu vaksinasi induk betina ikan nila
secara langsung mempengaruhi akumulasi IgM dalam telur dan benih ikan yang
dihasilkan sebagai imunitas turunan. Waktu vaksinasi induk betina ikan nila
terbaik adalah pada TKG 2.
Kedua, mengevaluasi efektivitas vaksinasi berdasarkan tingkat kematangan
gonad yang berbeda pada induk betina yang menyebabkan transfer imunitas ke
benih yang dihasilkan. Tahap awal yaitu penentuan waktu vaksinasi induk betina
ikan nila berdasarkan TKG. Vaksinasi dilakukan pada TKG 2 dan TKG 3
menggunakan gabungan vaksin sel utuh dan produk ekstraseluler (ECP) dengan
konsentrasi 109 cfu/ml sebanyak 0.4 ml/kg ikan. Kontrol adalah induk ikan yang
tidak diberi vaksin. Tahap kedua adalah uji tantang benih dari induk yang divaksin
dan kontrol melalui perendaman dengan konsentrasi 107 cfu/ml selama 30 menit
menggunakan bakteri S. agalactiae pada umur benih 7, 14, 21, dan 28 hari setelah
menetas. Parameter yang dievaluasi yaitu relative percentage survival (RPS)
induk, telur, dan benih. Dari uji tantang benih dengan bakteri S. agalactiae umur
7, 14, 21, dan 28 hari didapatkan RPS tertinggi pada perlakuan penyuntikan
vaksin TKG 2 berturut-turut sebesar 95.24%, 83.33%, 72.22%, dan 56.02%.
Pemberian vaksin pada induk ikan nila TKG 2 memberikan ketahanan benih yang
lebih baik melalui imunitas maternal terhadap infeksi S. agalactiae.
Ketiga, mengkaji efektivitas vaksinasi benih dari induk betina ikan nila yang
telah diberi vaksin gabungan sel utuh dan ECP bakteri S. agalactiae pada tingkat
kematangan gonad (TKG) yang berbeda. Perlakuan terbagi atas empat kelompok
yaitu benih tanpa vaksinasi dari induk betina tanpa vaksinasi, benih divaksin dari
induk tanpa vaksinasi, benih divaksin dari induk yang divaksin pada TKG 2, dan
benih divaksin dari induk yang divaksin pada TKG 3. Vaksinasi benih dilakukan
melalui perendaman menggunakan vaksin gabungan sel utuh dan produk
ekstraseluler dengan konsentrasi 1 x 107 CFU mL-1. Pengukuran aktivitas lisosim
dan immunoglobulin diukur pada 11 hari pasca vaksinasi. Selanjutnya uji tantang
dilakukan menggunakan bakteri S. agalactiae Isolat N14G dengan konsentrasi 1 x
107 CFU ml-1. Parameter mortalitas dan relative percent survival (RPS) diamati
pada tujuh hari pasca uji tantang. Hasil menunjukkan bahwa mortalitas tertinggi
dijumpai pada benih tanpa vaksin dari induk tanpa vaksin (70.00%) dibandingkan
dengan mortalitas pada perlakuan lain. Mortalitas terendah berasal dari perlakuan
vaksinasi benih dari induk yang divaksin pada TKG 2 (32.67%). Nilai RPS benih
yang divaksin dari induk tanpa vaksin, induk yang divaksin pada TKG 2 dan
induk yang divaksin pada TKG 3 berturut-turut adalah 23.33%, 54.77%, dan
35.84%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, disimulkan bahwa vaksinasi benih
mampu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi bakteri S. agalactiae dan
vaksinasi benih dari induk yang telah divaksin pada TKG 2 memberikan hasil
yang terbaik. | id |