dc.description.abstract | Jeruk keprok Garut merupakan salah satu komoditas pertanian unggulan
nasional yang perlu terus dipertahankan dan ditingkatkan kualitas maupun
kuantitas produksinya. Jeruk keprok Garut memiliki daging buah yang lunak,
lembut dan banyak mengandung air. Rasanya manis agak masam yang segar, dan
beraroma khas, karena bijinya sedikit, jeruk ini banyak dinikmati oleh masyarakat
sebagai buah segar. Produksi jeruk keprok Garut setelah tahun 1992 mengalami
penurunan drastis akibat serangan penyakit CVPD dan ditambah perubahan iklim
yang tidak menentu seperti anomali iklim El-Nino yang menyebabkan kemarau
yang lebih panjang sehingga tidak selamanya lahan pertanaman ideal untuk
pertumbuhan. Cekaman abiotik seperti cekaman kekeringan yang berkepanjangan
akibat gejala alam El-Nino turut menjadi faktor pembatas dalam produksi jeruk
keprok Garut. Perakitan varietas pengembangan jeruk keprok varietas Garut yang
memiliki karakter toleran terhadap cekaman kekeringan dapat dilakukan secara
non konvensional melalui induksi mutasi dengan teknik pemaparan radiasi sinar
gamma. Karakterisasi secara molekuler menggunakan marka RAPD dilakukan
untuk melihat keragaman genetik yang terbentuk.
Klon-klon tersebut diharapkan merupakan mutan putatif dan memiliki
karakter morfologi dan fisiologi (toleransi cekaman kekeringan) yang lebih baik
dibandingkan tetuanya. Pengujian toleransi cekaman kekeringan dilakukan
melalui media simulasi polyethylene glycol (PEG). Setelah diperoleh klon-klon
mutan yang memiliki karakter toleran terhadap cekaman kekeringan makan klonklon
tersebut perlu diperbanyak secara klonal in vitro sehingga diperoleh duplikat
dari masing-masing mutan. Klonal in vitro biasanya dilakukan dengan cara
menggandakan tunas baik melalui jalur embriogenesis somatik maupun
organogenesis. Penambahan zat pengatur tumbuh jenis sitokinin thidiazuron
(TDZ) pada level konsentrasi tertentu mampu menginduksi multiplikasi tunas.
Induksi akar pada tunas-tunas klon mutan putatif hasil multiplikasi tunas
dilakukan untuk mempersiapkan kondisi klon-klon mutan putatif toleran terhadap
cekaman kekeringan saat proses aklimatisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh klon-klon jeruk keprok Garut
mutan putative yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Bahan tanaman yang
digunakan adalah klon-klon jeruk keprok Garut hasil iradiasi sinar gamma dan
tetuanya. Penelitian ini terdiri dari karakterisasi secara molekuler keragaman
genetik menggunakan penanda RAPD, evaluasi toleransi klon-klon jeruk keprok
Garut terhadap cekaman kekeringan, multiplikasi tunas menggunakan TDZ
kombinasi BAP, dan induksi perakaran menggunakan NAA kombinasi IBA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi mutasi dengan radiasi sinar
gamma menyebabkan terjadinya keragaman genetik antar klon jeruk keprok Garut
mutan dengan jarak genetik berkisar antara 0-38%. Media yang ditambahkan PEG
konsentrasi 20% dapat dijadikan agen seleksi cekaman kekeringan klon-klon
jeruk keprok Garut mutan. Klon KG 13 dan KG 23 merupakan klon yang
memberikan respon cekaman kekeringan yang lebih baik dengan penurunan
karakter jumlah daun, tinggi tanaman, kandungan klorofil, dan ukuran stomata
(panjang dan lebar stomata, jumlah serta kerapatan stomata) lebih rendah
dibandingkan dengan klon lainnya. Multiplikasi tunas menggunakan kombinasi
zat pengatur tumbuh jenis sitokinin BAP dan TDZ pada konsentrasi BAP 0.1 mg
L-1 dan TDZ 0.2 mg L-1 merupakan konsentrasi yang paling optimum dalam
menginduksi tunas klon jeruk keprok Garut mutan. Klon-klon eksplan jeruk
keprok Garut mutan hasil radiasi sinar gamma pada dua dosis 50 Gray dan 150
Gray memberikan respon yang berbeda pada setiap konsentrasi TDZ yang
ditambahkan ke media kultur. Multiplikasi tunas dengan pemarapan eksplan
dalam media kultur yang mengandung TDZ dalam jangka panjang menyebabkan
tunas yang muncul menjadi abnormal. Induksi perakaran dipengaruhi oleh
interaksi antara klon jeruk keprok Garut mutan dengan empat taraf konsentrasi
NAA yang dikombinasikan dengan IBA konsentrasi 3 mg L-1 yang terlihat dari
peubah pengamatan (waktu inisiasi akar, panjang akar, tinggi tanaman, dan
jumlah tunas). Perlakuan NAA 0.5 mg L-1 kombinasi IBA 3 mg L-1 merupakan
konsentrasi yang optimum terhadap induksi perakaran. Hal ini terlihat dari
penampilan terbaik untuk peubah pengamatan waktu inisiasi akar dan jumlah akar
yang merupakan faktor penting dalam induksi perakaran secara in vitro. | id |