Strategi Kebijakan Dalam Restorasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Studi Kasus Di Wilayah Kabupaten Sukabumi).
View/ Open
Date
2015Author
Hakim, Fahmi
Soekmadi, Rinekso
Nurrochmat, Dodik Ridho
Metadata
Show full item recordAbstract
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memiliki karakter unik dengan adanya koridor yang menggabungkan dua ekosistem pegunungan (G. Halimun-G. Salak) dan melingkupi dua provinsi (Jawa Barat-Banten). Keberadaan Koridor Halimun-Salak (KHS) menjadikan kedua gunung tersebut sebagai kesatuan bentang alam dengan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa dan berfungsi sebagai penghubung ekosistem Halimun-Salak, menjaga tata air dua daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Cianten dan DAS Citarik, wilayah jelajah satwa liar dan memberikan manfaat yang strategis bagi pembangunan sosial-ekonomi. Pengelolaan TNGHS dan area koridor memiliki tantangan pengelolaan yang serius dengan adanya degradasi dan deforestasi hutan melalui penebangan liar, penambangan emas tanpa ijin (PETI), perburuan, perambahan kawasan, kerusakan habitat dan ekosistem. Upaya pemulihan ekosistem secara berkelanjutan diperlukan untuk memperbaiki kerusakan struktur dan fungsi dari ekosistem alami TNGHS dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Jangka panjang aksi restorasi di TNGHS ini akan terwujud jika pengelola mampu mendorong pihak lain yang memiliki kemampuan untuk melakukan inisiatif restorasi di kawasan TNGHS. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kapasitas dan peran para pihak untuk mendukung restorasi dan mengetahui kebijakan dan regulasi yang mendukung dan menghambat aksi restorasi menjadi hal yang strategis dalam jangka panjang restorasi kawasan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan memetakan aktor-aktor dalam aksi restorasi untuk menyusun opsi-opsi kebijakan dalam aksi restorasi di kawasan TNGHS, wilayah Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilaksanakan di TNGHS, lembaga pemerintahan, BUMN/Swasta dan LSM serta lembaga pendidikan yang memiliki aktivitas mendukung restorasi di kawasan TNGHS pada bulan Juni sampai Agustus 2013 dan Mei 2015. Pemilihan lembaga dilakukan secara puposive sampling, yakni lembaga yang berpotensi memiliki program mendukung restorasi di KHS. Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer meliputi identitas, kepentingan dan pengaruh serta data sekunder meliputi kondisi fisik Koridor Halimun-Salak, dokumen kebijakan, dokumen resmi yang terkait dengan aksi restorasi di KHS. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengamatan langsung dan studi pustaka. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, analisis stakeholder dan analisis isi (content analysis). Analisis deskriptif kualitatif pada tahap awal difokuskan dalam penetapan daftar lembaga-lembaga yang potensial yang akan menjadi target survei. Analisis stakeholders dilakukan untuk mengetahui kepentingan dan pengaruh para pihak dan dipetakan ke dalam matriks kepentingan dan pengaruh yang diadopsi dari Reed et al. (2009). Analisis isi (content analysis) dilakukan terhadap aturan formal yang berlaku mulai dari peraturan perundang-undangan hingga prosedur administrasi. Hal ini dilakukan untuk menjadi tinjauan kebijakan aksi restorasi di TNGHS. Kebijakan restorasi ekosistem secara khusus muncul pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 159 Tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Terminologi restorasi di kawasan taman nasional maupun hutan konservasi baru muncul secara eksplisit dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam di pasal 29 yang menyatakan pemulihan ekosistem dilakukan dengan cara mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi. Di bagian Penjelasan, pasal 29 menambahkan bahwa pemulihan ekosistem dilakukan dengan menggunakan komponen spesies asli setempat yang diarahkan untuk mampu mengembalikan struktur, fungsi, dinamika populasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan yang dilindungi. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mendefinisikan restorasi sebagai upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat No. 1 Tahun 2013 juga mengatur mengenai pemulihan kawasan lindung dan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 22 Tahun 2012 menyatakan bahwa rehabilitasi merupakan satu bagian dari strategi penataan ruang. Hasil analisis stakeholder menerangkan bahwa aktor dalam aksi restorasi ekosistem terbagi ke dalam kelompok pemerintah, BUMN/Swasta, organisasi non pemerintah (LSM) dan Lembaga Pendidikan. Teridentifikasi 26 aktor yang termasuk kelompok pemerintah, terdiri dari 13 kantor di Pemerintah Pusat, 3 di Pemerintah Provinsi dan 10 di Pemerintah Kabupaten. Teridentifikasi 15 aktor pada kelompok BUMN/Swasta, 4 aktor kelompok lembaga pendidikan dan 11 aktor organisasi non pemerintah/LSM, sehingga total stakeholders yang teridentifikasi dalam aksi restorasi ekosistem di TNGHS pada wilayah sukabumi adalah 56 pemangku kepentingan (stakeholders). Stakeholders tersebut terpetakan menjadi 2 aktor yang menjadi aktor kunci (keyplayers) dengan kepentingan dan pengaruh yang tinggi, 30 aktor yang menjadi subject dengan kepentingan yang tinggi dan pengaruh rendah, 20 aktor yang menjadi context setter dengan kepentingan rendah dan pengaruh tinggi, 4 aktor yang menjadi crowd dengan kepentingan dan pengaruh yang rendah. Sebagai konsep yang masih tergolong baru, restorasi ekosistem di Indonesia masih sering disamakan dengan rehabilitasi hutan. Hal ini menimbulkan permasalahan secara regulasi dengan UU No. 32 Tahun 2009 dan tidak sesuai dengan definisi ilmiah, lalu persoalan implementasi akan muncul jika restorasi ekosistem KHS dengan menggunakan definisi ilmiah dan UU No. 32 Tahun 2009 yang berarti masyarakat keluar dari kawasan untuk mengembalikan seperti kondisi asli atau tidak lagi dapat memanfaatkan kawasan. Selain itu, inisiatif restorasi ekosistem di TNGHS sudah mulai bermunculan namun belum terintegrasi. Oleh karena itu, opsi kebijakan restorasi di KHS yang dapat disusun adalah dengan menyusun konsep, kebijakan dan regulasi tingkat nasional yang akan menjadi acuan dalam implementasi restorasi ekosistem; menguatkan tata kelola kemitraan dan kebijakan tenurial; dan menyusun strategi mobilisasi sumber daya para pihak dalam restorasi ekosistem.
Collections
- MT - Forestry [1411]