Perampasan Hak Ulayat Pesisir dan Laut Komunitas Suku Bajo (Kasus Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Teluk Tomini)
View/ Open
Date
2015Author
Obie, Muhammad
Soetarto, Endriatmo
Saharuddin
Sumarti, Titik
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian ini bertujuan menganalisis penutupan akses dan teritorialisasi kawasan yang menyebabkan hilangnya citizenship ‘kewargaan’ komunitas Suku Bajo. Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Tomini, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, dengan menggunakan paradigma teori kritis, pendekatan kualitatif, serta strategi studi kasus. Data yang terkumpul berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari para aktor sebagai subjek kasus, baik aktor grassroots di tingkat desa, maupun aktor atas berupa pemerintah daerah, NGOs, anggota legislatif, bahkan sampai aktor pusat. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam (indept interview), observasi partisipasi pasif (passive participation), dan Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen berupa laporan hasil-hasil penelitian sebelumnya, UU, PP, Kepres, Inpres, Kepmen, Perda, dan lain-lain. Analisis data dilakukan melalui deskriptif analitis, yang dilakukan bersamaan selama pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Kredibilitas data diuji melalui triangulasi, yaitu mengecek kredibilitas data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini melibatkan banyak aktor yang berkepentingan, yakni negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, lembaga multilateral, swasta, LSM, serta masyarakat grass roots komunitas Suku Bajo. Suku Bajo yang dikenal sebagai suku pengembara laut telah mendiami kawasan Teluk Tomini sejak tahun 1800- an, jauh sebelum aktor-aktor lainnya memiliki perhatian, bahkan jauh sebelum republik ini berdiri. Penulis mengalisis konflik yang terjadi dengan menggunakan teori akses (Ostrom, 1996; Ribot dan Peluso; 2003; Lund , 2011; dan Li, 2012). Konflik sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini berakar dari pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di satu sisi, serta perlindungan sumber daya di sisi yang lain. Pemanfaatan sumber daya menjadi pintu masuk bagi korporasi untuk mengeksploitasi sebesar-besarnya sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini, sedangkan perlindungan kawasan yang diwujudkan dengan penetapan kawasan sumber daya pesisir dan laut sebagai hutan konservasi menjadi instrumen negara untuk menguasai sumber daya yang ada. Dominasi negara dan korporasi dalam pengelolaan sumber daya tesebut sesungguhnya menegasikan eksistensi komunitas Suku Bajo yang telah lama memupuk sistem sosial dan ekonominya di pesisir Teluk Tomini. Baik pemanfaatan oleh korporasi maupun perlindungan sumber daya pesisir dan laut oleh negara berbenturan dengan kepentingan Suku Bajo, sehingga konflik tidak dapat dihindari. Pemanfaatan dan perlindungan kawasan kemudian melahirkan penggusuran dan program resettlement yang menyebabkan Suku Bajo mendapat desakan untuk meninggalkan permukiman mereka di laut dan dimukimkan kembali ke darat. Konsesi kawasan kepada pihak korporasi telah menyebabkan konflik antara Suku Bajo versus korporasi yang juga melibatkan negara, sedangkan penetapan kawasan konservasi yang disusul dengan desakkan resettlement telah melahirkan konflik antara Suku Bajo versus negara. Perampasan hak ulayat pesisir dan laut Suku Bajo, dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Teluk Tomini, terjadi melalui penutupan akses dan teritorialisasi kawasan, sehingga menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Penutupan akses terjadi karena korporasi menerima konsesi pada kawasan yang sesungguhnya selama ratusan tahun telah menjadi hak kelola komunitas Suku Bajo, jauh sebelum negara dan korporasi berada di kawasan tersebut. Sementara itu, teritorialisasi kawasan terjadi ketika negara menggunakan perannya sebagai pelindung sumber daya alam, menegasikan hak ulayat Suku Bajo yang sudah mendiami kawasan pesisir Teluk Tomini jauh sebelum Indonesia merdeka. Adanya penutupan akses maupun teritorialisasi kawasan dalam pengelolaan sumber daya pesisir di Teluk Tomini, sesungguhnya telah menyebabkan hilangnya citizenship komunitas Suku Bajo sebagai masyarakat adat. Dominasi negara dan korporasi yang melahirkan penggusuran dan program resettlement, menempatkan komunitas Suku Bajo pada posisi yang tercampakkan. Di satu sisi komunitas Suku Bajo sebagai sebuah entitas suku tercerabut dari akar budayanya, sementara itu di sisi yang lain dalam eksistensinya sebagai bagian dari negara bangsa modern (modern nation-state) tetap dipandang sebagai komunitas terasing, terpencil, dan semacamnya.
Collections
- DT - Human Ecology [567]