Show simple item record

dc.contributor.advisorSuharjito, Didik
dc.contributor.advisorDarusman, Dudung
dc.contributor.advisorKusmana, Cecep
dc.contributor.advisorHidayat, Aceng
dc.contributor.authorFebryano, Indra Gumay
dc.date.accessioned2014-12-16T07:44:24Z
dc.date.available2014-12-16T07:44:24Z
dc.date.issued2014
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/71689
dc.description.abstractPolitisasi lingkungan telah mendorong kerusakan lingkungan dan marjinalisasi masyarakat yang diakibatkan oleh relasi kekuasaan yang tidak setara antar aktor. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan degradasi lingkungan berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif dengan menggunakan konsep relasi kekuasaan. Konversi mangrove terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan Negara. Pengetahuan dan pemahaman tersebut akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait dalam membuat rekomendasi pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan metode yang digunakan adalah studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis menggunakan pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) untuk mengkaji posisi, peran, dan kepentingan aktor yang terlibat. Pendekatan tersebut selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) untuk mengkaji kekuasaan dan mekanisme yang dijalankan oleh masing-masing aktor. Penelitian kualitatif di dalam penelitian ini didukung oleh penelitian kuantitatif, khususnya dalam menganalisis kelayakan finansial dari beberapa pola penggunaan lahan mangrove, dengan menghitung Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) digunakan untuk menganalisis kelembagaan lokal pengelolaan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme akses struktural dan relasional yang dijalankan pengusaha mampu membuat implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Pesawaran menjadi tidak efektif. Kebijakan ini terkait dengan pengelolaan mangrove secara lestari, tetapi dalam implementasinya Pemerintah Kabupaten Pesawaran lebih mendukung intensifikasi tambak udang, sehingga konversi mangrove dapat terjadi secara masif. Mekanisme tersebut juga mampu meredam gejolak sosial yang muncul akibat dampak negatif dari aktivitas tambak berupa degradasi ekosistem pesisir dan marjinalisasi masyarakat lokal. LSM Mitra Bentala, masyarakat, dan kelembagaan lokal (BPDPM) berupaya menggalang kekuatan dengan membangun jejaring dan kerjasama untuk mencegah konversi terhadap mangrove yang tersisa. Namun, hal ini belum cukup efektif mendorong Pemerintah Kabupaten Pesawaran untuk lebih tegas dalam mengimplementasikan kebijakannya. Beberapa pola penggunaan lahan mangrove yang terdapat di Kabupaten Pesawaran, yaitu tambak udang intensif, pembibitan mangrove, dan ekowisata secara finansial layak untuk diusahakan. Tingginya nilai pola penggunaan lahan untuk tambak udang intensif membuat pengusaha memiliki kepentingan tinggi untuk menguasainya. Bila tambak udang intensif memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, serta pembibitan mangrove yang terkendala oleh pemasaran, maka ekowisata memiliki potensi besar dalam perlindungan mangrove beserta keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya dan pemberdayaan masyarakat setempat. Kelembagaan lokal berperan penting dalam pengelolaan mangrove secara lestari di Pulau Pahawang. Struktur organisasi BPDPM yang menempatkan kepala desa sebagai penasihat dan keterlibatan pengurus dalam kegiatan investor berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat, sehingga menurunkan dukungan dan status kelembagaan lokalnya. Akibatnya kelembagaan lokal menjadi lemah karena ketidaktegasannya ketika berhadapan dengan investor yang merupakan pejabat pemerintahan. Sebagian masyarakat juga ikut melakukan pelanggaran akibat ketidaktegasannya tersebut. Penelitian ini menegaskan pernyataan dari Bryant dan Bailey (1997) mengenai peran politik dari berbagai posisi aktor yang berbeda dalam interaksi manusia-lingkungan di dunia ketiga. Inti dari setiap pemahaman bermakna politik tersebut adalah apresiasi bahwa politik mengenai interaksi aktor-aktor terhadap sumberdaya lingkungan dan pengakuan bahwa aktor, yang lemah sekalipun, memiliki kekuasaan untuk bertindak mendapatkan kepentingannya. Penelitian ini juga menegaskan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang menunjukkan bagaimana orang atau kelembagaan dapat memperoleh manfaat dari sumberdaya, baik orang atau kelembagaan tersebut memiliki hak atau tidak. Selain itu, penelitian ini menegaskan pula konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) yang menunjukkan bagaimana kelembagaan lokal melemah akibat kegagalan kelembagaan lokal dalam memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Ketegasan Pemerintah Kabupaten Pesawaran dalam mengimplementasikan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan mangrove secara lestari dapat didorong dengan memberikan tekanan-tekanan yang lebih kuat melalui jejaring yang melibatkan LSM lokal dan nasional, universitas, lembaga penelitian, dan lain-lain. Kekuatan jejaring ini diharapkan membuat Pemerintah Kabupaten Pesawaran menjadi lebih berpihak pada konservasi dan kelembagaan lokal pengelolaan mangrove. Relasi antara pengusaha tambak udang dengan jejaring di atas dapat dijalin melalui akademisi untuk mengembangkan wawasan pengusaha menjadi lebih terbuka terhadap fungsi dan manfaat mangrove, sehingga lingkungan di sekitar tambak tidak tercemar dan keberlanjutan usaha tambak udang serta mata pencaharian masyarakat menjadi lebih terjamin. Hal tersebut dapat dipadukan dengan tanggungjawab sosial perusahaan di bidang lingkungan. Kelembagaan lokal dapat dijadikan salah satu model pengelolaan sumberdaya mangrove di tingkat lokal. Kelembagaan yang didirikan harus independen, sehingga mampu bertahan dari intervensi aktor lainnya yang mempengaruhi politik di tingkat lokal. Keberhasilan kelembagaan lokal sangat membantu Pemerintah Kabupaten Pesawaran dalam pembangunan masyarakat pedesaan di wilayah pesisirnya. Konservasi mangrove dapat disinergikan dengan menciptakan peluang dalam pengembangan silvofisheri, ekowisata, dan lain-lain; sehingga meningkatkan alternatif mata pencaharian masyarakat dan pada akhirnya akan menurunkan tekanan terhadap mangrove.en
dc.language.isoid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)
dc.titlePolitik Ekologi Pengelolaan Mangrove Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampungen
dc.subject.keywordaktoren
dc.subject.keywordrelasi kekuasaanen
dc.subject.keywordpolitik ekologien
dc.subject.keywordkelembagaan lokalen
dc.subject.keywordmangroveen


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record