dc.description.abstract | Sektor pertanian berkontribusi 13.5% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dunia (IPCC 2007). Emisi dari sektor ini umumnya dalam bentuk dinitrogen oksida (N2O) (46%), metana (CH4) (45%) dan karbon dioksida (CO2) (9%) (Baumert et al. 2005). N2O termasuk dalam GRK berumur panjang and memiliki potenti gas rumah kaca (GWP) 300 kali lebih tinggi dibanding CO2. Konsentrasi N2O pada tahun 2005 adalah sebesar 319 ppb dimana konsentrasi ini lebih tinggi 18% jika dibanding konsentrasi sebelum masa industrialisasi (IPCC 2007). Sawit merupakan salah satu komoditas yang berkembang sangat pesat di daerah tropis (Fitzherbert et al. 2008). Malaysia dan Indonesia mulai mendominasi produksi minyak sawit sejak tahun 1966 (Poku 2002) dan Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar didunia sejak tahun 2005. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki 4.1 juta hektar perkebunan sawit atau sekitar 31% dari luas total perkebunan sawit diseluruh dunia (Koh dan Wilcove 2008). Konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit berkontribusi terhadap 10% deforestasi di Indonesia dan Malaysia pada tahun 1990 hingga 2010 (Koh et al. 2011) menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan berkontribusi terhadap perubahan iklim (Murdiyarso et al. 2010, Hergoualc’h dan Verchot 2011). Disisi lain sawit merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber bahan bakar alternatif (Sheil et al. 2009). Gambut diklasifikasikan sebagai lahan marginal karena miskin hara (Murdiyarso et al. 2010, Sabiham 2010). Penambahan nutrisi tanah misalnya pupuk untuk meningkatkan hasil pr oduski dapat meningkatkan oksidasi bahan organik tanah dan meningkatkan emisi CO2 dan N2O dari tanah (Murdiyarso et al. 2010, Hadi et al. 2001). Tujuan penelitian adalah untuk (a) mengukur dampak dosis pupuk nitrogen terhadap emisis N2O tanah (b) mengetahui keterkaitan emisi tanah dengan variabel lingkungan termasuk kelembaban tanah, suhu, pori tanah terisi air (WFPS) dan ketersediaan nitrogen. Selama masa pengukuran 85% flux tanah merupakan flux positif (emisi). Flux negatif dan rendah ditemukan pada pengukuran yang dilakukan pada kondisi kering terutama pada tanggal 23 dan 25 Oktober 2012. Peningkatan emisi N2O terlihat 10 hari setelah pemupukan pada semua perlakuan setelah terjadinya hujan. Puncak emisi terjadi 19 hari setelah pemupukan namun tidak sepenuhnya disebabkan oleh aplikasi pupuk. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara N2O (P=0.05) dengan variabel lingkungan yaitu tinggi muka air, kadar air volumetrik, WFPS, kadar air gravimetrik namun R2 sangat rendah (R2 =0.02, R2=0.08, R2=0.02, R2=0.03). Tidak ditemukan hubungan yang nyata antara emisi N2O baik dengan NH4+ maupun NO3ˉ. Namun, N2O memiliki hubungan yang nyata dengan rasio NO3ˉ/ NO3ˉ+ NH4+ sebelum atau setelah inkubasi (R2= 0.16 P= 0.02, R2= 0.17 P=0.02). Emisi N2O yang ditemukan dalam penelitian ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan literatur dari penelitian terdahulu tentang emisi sawit yang ditanam di daerah gambut (Melling et al. 2007). Penelitian terdahulu menemukan emisi gambut tahunan sebesar 1.2 kg N ha-1 tahun-1 dengan kisaran flux antara 0.9 - 58.4 mg N m-2 h-1 pada perkebunan sawit berusia 4 tahun yang dipupuk dengan nitrogen sebesar 103 kg N ha-1 tahun-1. Penelitian ini menemukan bahwa emisi N2O masing-masing 18, 10 dan 20 kali lebih besar untuk N0, N1 dan N2. Kajian ini mendapatkan emisi dengan nilai yang lebih dekat dengan default value IPCC yaitu sebesar 16 kg N ha-1 tahun-1. | en |