Show simple item record

dc.contributor.advisorNugroho, Bramasto
dc.contributor.advisorKartodihardjo, Hariadi
dc.contributor.advisorKolopaking, Lala M.
dc.contributor.advisorBoer, Rizaldi
dc.contributor.authorGamin
dc.date.accessioned2014-10-31T06:59:06Z
dc.date.available2014-10-31T06:59:06Z
dc.date.issued2014
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/69969
dc.description.abstractPenerapan kebijakan kepemilikan lahan sejak era kolonial sampai era Orde Baru telah meninggalkan banyak konflik tenurial yang belum terselesaikan di seluruh Indonesia. Suatu pendalaman dari metode Rapid Land Tenure Assessment (RaTA) digunakan untuk memetakan konflik dalam rangka resolusi konflik. Analisis Gaya Bersengketa (AGATA) digunakan untuk memetakan para pihak berikut sikapnya dalam menghadapi konflik. Analisis kebijakan digunakan untuk mengetahui kinerja kebijakan penyelesaian konflik yang dilaksanakan pemerintah baik berupa aturan main maupun kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan stok karbon (REDD+). Kebijakan-kebijakan penyelesaian konflik terkait penyelesaian hak pihak ketiga, enclave, pelepasan secara parsial, review tata ruang wilayah (RTRW), pemetaan partisipatif, kemitraan antara pengelola dengan masyarakat, dan penegakan hukum didalami dalam penelitian ini. Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan kontestasi kekuatan klaim penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan masih meninggalkan rasa ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya lahan dari perspektif masyarakat. Melalui pendekatan gaya bersengketa diperoleh catatan perlunya kesesuaian gaya pihak yang berkonflik agar dapat ditempuh langkah penyelesaian dan perlunya intervensi pihak ketiga yang tidak terkait konflik. Terdapat empat catatan kritis atas peraturan yang tersedia untuk mengakomodasi permasalahan konflik tenurial yakni : absennya unsur tim yang dapat memfasilitasi dan memediasi penyelesaian konflik dalam Panitia Tata Batas, perbedaan persepsi istilah pemetaan partisipatif, ketidaksepakatan jenis dan komposisi jenis dalam skema pengelolaan lahan bersama masyarakat, dan belum kuatnya hak-hak tenurial termasuk kawasan hutan negara. KPH bukanlah institusi yang dapat menyelesaikan konflik tenurial kawasan hutan akan tetapi KPH memiliki peran penting dalam mengidentifikasi, memfasilitasi dan menentukan pilihan penyelesaian konflik. Penataan hak-hak tenurial terhadap penggunaan kawasan hutan oleh berbagai pihak merupakan langkah penting yang harus ditempuh untuk menyiapkan kondisi pemungkin guna mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan termasuk diantaranya implementasi skema REDD+. Membentuk suatu lembaga penyelesaian konflik yang dapat dijangkau para pihak termasuk masyarakat merupakan pilihan yang layak dipertimbangkan. Strategi resolusi konflik tersebut dapat dilakukan secara internal di Kementerian Kehutanan maupun secara eksternal. Memperkuat peran Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan dengan mewujudkan Unit Pelaksana Teknis Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) merupakan langkah internal. Memperkuat institusi Panitia Tata Batas dengan ii tambahan unsur fasilitator dan mediator penyelesaian konflik merupakan langkah praktis terdekat. Mewujudkan suatu lembaga seperti Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial yang dapat menyentuh konflik tenurial kawasan hutan merupakan suatu alternatif eksternal. Sebagai institusi di tingkat tapak, KPH memiliki peran penting pada semua strategi penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan. Peran KPH tersebut terkait identifikasi konflik, fasilitasi tindak lanjut pilihan, maupun rekomendasi arah penyelesaian konflik. Terlaksananya strategi penyelesaian konflik ini diharapkan dapat membantu mempercepat pemantapan kawasan hutan yang berkontribusi terhadap kepastian tenurial untuk menghadapi tekanan yang makin tinggi kebutuhan lahan di masa depan. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa tidak tepat untuk membenturkan klaim hukum dengan klaim sosial. Penelitian ini setidaknya memiliki tiga implikasi kebijakan. Pertama, resolusi konflik tenurial kawasan hutan hendaknya lebih mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan (out of court) atau (ADR). Kedua, pemerintah perlu membentuk organisasi penyelesaian konflik tenurial di daerah agar dapat dijangkau semua pihak. Ketiga, pemerintah perlu mensyaratkan kriteria penyelesaian konflik dan kriteria kelestarian hutan dalam setiap skema operasional seperti skema REDD+. Dari segi metodologis berimplikasi bahwa penggunaan AGATA akan lebih lengkap bila memperhatikan kekuatan politik, sosiologi politik dan politik hukum yang melandasi para pihak dalam menentukan gaya berkonflik.***en
dc.language.isoid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)
dc.titleResolusi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan Untuk Mendukung Implementasi REDD+en
dc.subject.keywordbukti klaimen
dc.subject.keywordfasilitasien
dc.subject.keywordgaya konfliken
dc.subject.keywordkonfliken
dc.subject.keywordpenguasaan kawasan hutanen
dc.subject.keywordpenyelesaian konfliken


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record