Pengaruh jenis kayu dan bagian batang terhadap sifat pengeringan tiga jenis kayu perdagangan Indonesia
Abstract
Akhir-akhir ini industri kayu mulai menggunakan kayu hutan tanaman dan perkebunan untuk mengatasi masalah kelangkaan bahan baku. Beberapa jenis kayu yang penggunaannya mulai signifikan adalah balsa (Ochroma lagopus), mangium (Acacia mangium), dan sawo (Manilkara kauki). Melalui penelitian ini diharapkan perbedaan fenomena pengeringan yang terjadi pada kayu balsa (mewakili kayu ber-BJ rendah), mangium (BJ sedang) dan sawo (BJ tinggi) dapat diterangkan dengan jelas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara mengeringkan ketiga jenis kayu pada berbagai macam suhu tertentu dengan perlakuan yang sama sehingga akan diperoleh gambaran tentang laju penurunan kadar air (KA) harian, serta cacat pengeringan yang mungkin terjadi. Dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa nilai KA kayu berbanding terbalik dengan BJ kayu serta dipengaruhi sangat nyata oleh bagian batang kecuali pada kayu balsa. Nilai rataan BJ dan KA kayu yang diperoleh pada penelitian ini adalah: 0,81-0,88 dan 49,45-53,86% untuk sawo; 0,43-0,52 dan 63,12-70,13% untuk mangium, serta 0,21-0,29 dan 143,99-180,19% untuk balsa. Laju penurunan KA harian pada sawo dan mangium relatif stabil sampai KA kering tanur, sedangkan pada balsa sangat tinggi sebelum mencapai kadar air kering udara. Adapun besarnya penurunan KA harian ketiga jenis kayu tersebut hingga mencapai kondisi kering udara adalah sebagai berikut: sawo (5,74-6,48% per hari), mangium (9,19-9,96% per hari), dan balsa (43,00-82,57% per hari). Laju penurunan KA harian ketiga jenis kayu tersebut dari kondisi segar ke kondisi kering tanur adalah sebagai berikut: sawo (4,12-4,49% per hari), mangium (5,26-5,84% per hari), dan balsa (12,00-15,02% per hari). Pada pengeringan hingga ke KA kering tanur, bagian batang memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase penurunan KA harian, sedangkan pada pengeringan hingga ke kondisi kering udara, pengaruh bagian batang hanya terlihat pada kayu sawo dan mangium sedangkan pada kayu balsa tidak. Adapun cacat pengeringan yang ditemukan pada pengeringan ini adalah retak pada bagian ujung dan sisi kayu serta honey-combing. Cacat-cacat ini hanya terdapat pada kayu sawo dan mangium dimana intensitas cacat pada sawo lebih tinggi dibandingkan pada mangium. Cacat pada kayu sawo mulai terjadi pada suhu 50°C, sedangkan pada kayu mangium retak baru mulai terjadi pada suhu 70°C. Kayu sawo mengalami keretakan yang ekstrim pada suhu 70°C, sedangkan kayu mangium pada suhu 80°C. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa sifat pengeringan dipengaruhi sangat nyata oleh jenis kayu. Laju penurunan KA dari kondisi segar ke kondisi kering tanur dipengaruhi oleh bagian batang, namun tidak demikian halnya dari kondisi segar ke kering udara kecuali pada kayu mangium dan sawo. Perbedaan sifat pengeringan yang terjadi diduga terkait dengan adanya perbedaan porsi dan macam sel penyusun kayu, kandungan ekstraktif, dan tingkat kedewasaan dinding sel kayu (juvenil dan dewasa) yang terdapat dalam contoh uji.
Collections
- UT - Forest Management [2977]