Aplikasi Komparatif Antara FSH Dan PMSG Untuk Superovulasi Pada Temak Sapi Potong Dan Perah
Abstract
meningkat pesat sesuai dengan bertambahnyajumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan akan gizi. Oleh karena itu perIu adanya penyediaan sumber gizi yang diantaranya adalah mengkonsumsi protein hewani. Usaha peternakan dalam hal ini sebagai taktor pendukung penyediaan sumber gizi perlu pula ditunjang oleh kualitas dan kuantitas ternak yang memadai. Banyak teknik-teknik yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak yang memadai, salah satu diantaranya adalah metode transfer embrio (TE). TE merupakan salah satu metode pengembangbiakkan ternak dengan cara memindahkan embrio yang berasal dari betina donor yang unggul dan telah mengalami superovulasi ke betina resipien. Secara garis besar TE merupakan rangkaian proses dari superovulasi dan perkawinan betina donor, koleksi dan identifikasi embrio serta TE pada betina resipien. Superovulasi merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan TE yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan produksi induk betina. Superovulasi pada hewan unipara dapat dirangsang dengan penyuntikan honnon-honnon gonadotropin eksogen. Hormon gonadotropin eksogen yang sering digunakan untuk superovulasl diantaranya adalah pregnant mare's serum gonadotrophin (PMSG), follicle stimulating hormone (FSH) dan humalllllenopause gonadotrophin (hMG). Walaupun honnon-honnon gonadotropin eksogen yang digunakan untuk superovulasi banyak macamnya namun perlu dicarikan hormon yang betul-betul ideal untuk digunakan, oleh karena itu pengkajian ini bertujuan untuk menentukan honnon gonadotropin eksogen yang terbaik untuk superovulasi terhadap sapi potong dan perah khususnya antara FSH dan PMSG. Temak donor yang digunakan adalah temak sapi perah dari bangsa /;j'iesian holstein (FH) sebanyak 74 ekor dengan kisaran umur 3-9 tahun dan sapi potong dari bangsa Brahman, Angus, Brcmgus, Simental dan Limousine sebanyak 31 ekor dengan kisaran umllf 3-9 tahun. Dosis yang digunakan untuk FSH adalah 30, 32, 34, dan 36 I11g sedangkan PMSG menggunakan dosis 3000 ru. Parameter yang diamati dari pengkajian ini adalah respon dan kualitas embrio yang dihasilkan setelah superovulasi dengan FSH dan PMSG. Sapi donor dikatakan berespon terhadap superovulasi jika menghasilkan jumlah corpus luteum (eL) lebih dari satu, karena secara alamiah sapi akan menghasilkan satu ovum dalam satu kali siklus berahi. Secara persentase tenyata FSH memiliki respon yang lebih baik, namun dari segi kualitas embrio layak transfer yang dihasilkan, FSH menunjukkan nilai yang tidak berbeda (P > 0,05) dengan PMSG. Jika kita lihat secara empiris temyata persentase embrio layak transfer PMSG lebih tinggi dibandingkan dengan FSH baik pada sapi potong (41%) maupun perah (50,4%). KuaJitas embrio tidak layak transfer yang dihasilkan dari FSH menunjukan nilai yang Iebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan dengan PMSG, walaupun demikian temyata FSH memiliki potensi menghasilkan jumlah embrio yang jauh lebih baik (P < 0,05). Jika potensi ini dikompilasikan dengan data empiris maka FSH akan tetap menghasilkan jumlah embrio layak transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan PMSG. OIeh karena itu dalam pengkajian ini dapat disimpulkan bahwa FSH merupakan hormon gonadotropin eksogen yang disarankan untuk digunakan dalam superovulasi nalllun dengan catatan perlu diperhatikan Iagi ketepatan dosis dan waktu aplikasinya agar kualitas embrio layak transfer yang dihasilkan dapat Iebih ditingkatkan.